Belum lama ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seakan menunjukkan taringnya dengan menetapkan Menpora Andi Mallareng dalam dugaan kasus korupsi proyek Hambalang. Penetapan itu, publik dibuat percaya bahwa hukum tak pernah berpihak kepada siapa pun.
Namun, sebuah peristiwa membawa pada kesadaran masyarakat bahwa hukum di Indonesia masih tebang pilih. Bagaimana tidak, seorang buronan terpidana kasus korupsi, Bupati Kepulauan Aru, Maluku, Theddy Tengko di bandara masih bebas berkeliaran.
Bahkan sang lembaga hukum, Kejaksaan Agung tak sanggup untuk menyentuhnya. Sebagaimana beberpa media memberitakan kegagalan Jaksa Agung dalam mengeksekusi terpidana Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu (12/12/2012) malam.
Dikatakan Kejagung, Basrief Alief, Tim Intelijen kalah jumlah dibanding pendukung sang bupati. Kegagalan tersebut menjadi pembelajaran tersendiri."Mereka lebih banyak personilnya jika dibandingkan PAM ataupun kita sendiri," ucap Basrief, Jumat (14/12/2012).
Hal itu tentunya sungguh mengherankan dan yang lebih mengherankannya, yakni saat keputusan Pengadilan Negeri mengkaji ulang keputusan Mahkamah Agung (MA) yang sebelumnya telah menganulir keputusan Pengadilan Negeri dengan memutuskan terpidana bersalah dan dijatuhi hukuman.
Hasilnya, Pengadilan memutuskan, keputusan MA yang menyatakan terpidana bersalah dan harus dihukum adalah sebuah keputusan yang tidak sah atau tidak bisa dilaksanakan.
Putusan MA pun kembali dianulir putusan Pengadilan Negeri. Lantas, untuk apa para koruptor disidangkan sampai tingkat MA, dan dijatuhi hukuman, kalau ternyata Pengadilan Negeri bisa menyatakan bahwa putusan dan hukuman bisa tidak dijalankan.
Maka sebaiknya ada pemeriksaan terhadap para hakim di Pengadilan Negeri Kepulauan Aru. ada apa di balik semua ini? Karena sejak awal mereka memutus bebas dan setelah MA membatalkan keputusan itu, serta menjatuhkan hukuman pada koruptor, kok berani membuat sidang lagi yang menganalisa putusan MA dan menyatakan putusan MA bisa tidak dijalankan.
Makanya tak mengheranankan, kejaksaan gagal menangkap buron terpidana korupsi, mereka berhadapan dengan pengacara dan preman dalam jumlah yang banyak, dan meski banyak para polisi dari Polres Bandara Cengkareng Jakarta (entah mereka di pihak jaksa atau di pihak preman & ikut lindungi borunon sang terpidana korupsi bupati kepulauan Aru Theddy Tengko), akhirnya jaksa milih mundur karena situasi tidak aman bagi keamanan diri jaksa jika mau melaksanakan tugasnya, yakni menangkap buron di mana negara?
Sang pengacara, Yusril Ihza Mahendra dengan santainya menyatakan, kliennya tak bersalah. Bahkan Yusril membantah Kejaksaan yang mengaku melakukan penjemputan sesuai dengan prosedur hukum yang harus dijalani. Pendekatan hukum tetap harus dilakukan demi keadilan. "Prosedurnya sudah jalan, prosedur hukum bukan prosedur preman, pelaksanaan eksekusi tentu menurut hukum ketentuan," ujarnya.