Oleh Jong*
Aku suka Jaipong/ kau suka disko/ aku suka singkong/ kau
suka keju/ aku dambakan seorang gadis yang sederhana/ aku ini, hanya anak
singkong…
Mungkin bagi anda penikmat musik, lagu "Singkong dan Keju" sempat
begitu terkenal di zamannya (kalau tidak salah tahun 80-an). Lagu yang menunjukkan
dua selera remaja yang berbeda. Laki-laki, digambarkan sederhana, menyukai
tarian Jaipong, menyukai singkong, pokoknya serba kampungan.
Sedangkan yang perempuan, digambarkan mewah. Semua demi
gengsi, sampai-sampai untuk parfum saja harus dari Paris, tas dari Italia,
makanan juga ala barat, yaitu keju pokoknya anak kota banget.
Entah apa yang ingin disampaikan 'Gombloh' dalam lagu
tersebut yang jelas berbicara singkong, mungkin anda kaget saat mendengar sudah
bertahun-tahun Indonesia impor singkong dari China, Vietnam dan Thailand.
Singkong, ubi kayu, ketela pohon, entah apa namanya merupakan
salah satu tanaman yang paling mudah dan gampang tumbuh di mana saja. Artinya,
semua orang dengan sejengkal tanah pun bisa menanam singkong. Dan singkong pun
bisa ditanam di kampung, desa, kelurahan, kota, maupun di mana saja.
Sebagian orang mungkin miris bahwa di Indonesia yang
terkenal dengan lagu ‘Aku anak singkong’ ternyata harus mengimpor singkong. Bisa
jadi lagu “kolam susu” yang dipopulerkan koes ploes pun tidak relevan lagi? Bukankah
tongkat dan kayu bisa jadi tanaman? Lantas, kenapa kita masih mengimpor bahan
pangan yang pada dasarnya Indonesia bisa memproduksinya.
Bagi saya, kejadian ini sungguh memalukan untuk negara
sesubur Indonesia. Jika kejadian ini terus menerus jangan aneh kalau suatu saat
bagi anda penikmat gorengan akan terkejut ketika tukang gorengan dengan bangganya
mengatakan bahwa singkong yang dijualnya adalah singkong goreng dengan bahan
baku import.
Apalagi dijual dengan harga murah, lebih murah dari harga
singkong lokal. Aneh memang negeri ini, bukan hanya produk elektronik, otomotif
dan hasil tekstil yang di import dari China dan dijual dengan harga murah bahkan
singkong pun sama.
Terkadang sempat berfikir, mengapa negeri ini harus
mengimport singkong ya?. Rasanya pertanyaan tadi tidak perlu dijawab. Karena kita
sudah pasti tahu para pejabat yang mengurusi negara ini sudah cukup pintar dan
cerdas dalam menangani hal ini.
Lantas, kenapa juga kita harus repot-repot menanam singkong.
Toh, harga jualnya juga murah ditambah
dengan nunggu panennya lama. Mendingan
petani-petani Indonesia dikirim ke luar negeri jadi kuli bangunan atau jadi
pembantu dan pastinya mereka dapat gelar “Pahlawan Devisa”. Bangga kan?
*Penulis adalah penikmat singkong goreng