Mungkin sebelum nonton film ini, kita bisa mebayangkan bahwa
apa yg di tonton nanti merupakan tandingan dari film G30S/PKI 1965 versi
pemerintah. Ternyata tidak, film tersebut menampilkan kesadaran seorang Algojo
atau lebih tepatnya preman bioskop bernama Anwar Congo yang menceritakan dan
mereka ulang bagaimana menghabisi nyawa orang-orang PKI tanpa merasa bersalah.
Film berdurasi 158 menit itu menceritakan tentang bagaimana
para pembunuh massal, bukan hanya bisa berbangga mengenai bagaimana mereka
membunuh orang-orang PKI dengan rincian secara mengerikan, tetapi juga
bagaimana perbuatan yang digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan itu
justru oleh publik, dianggap sebagai sebuah perbuatan heroik.
“Saya menghabisi orang-orang PKI dengan gembira,” kata Anwar
dalam sebuah adegan. Dalam adegannya, ia terlihat naik mobil terbuka menyusuri
jalan-jalan di Medan bersama rekan sesama algojo ’65. Ia bernostalgia ke
tempat-tempat di mana ia pernah menyembelih banyak warga keturunan Tionghoa.
“Setiap ketemu orang keturunan China, langsung saya tikam,” katanya.
Film ini bisa membuat siapa saja terperangah. Ada heroisme
di situ. Anwar menegaskan bahwa dengan melakukan tindakan tersebut dirinya
dianggap penyelamat bangsa. Anwar yang dalam film terlihat brutal, secara
diam-diam terlihat mengalami pergolakan batin tentang apa yang diperbuatnya.
Mungkin sebagian dari kita bertanya-tanya mengapa
orang-orang ini mau terbuka dan terus terang tentang kejahatan yang mereka
lakukan?
Dalam cerita sang Algojo, ia tak melihat pembunuhan yang dilakukan
dulu sebagai kejahatan. Sama halnya dengan adegan seorang anggota Pemuda
Pancasila yang dulu memperkosa anggota Gerwani yang muda-muda sama sekali tidak
merasa bersalah. Bahkan dianggap sebagai “surga dunia” rasanya bila bisa
mendapat wanita yang berumur 14 tahun.
Disepanjang film tersebut, Anwar ada kalanya seperti
menyesali perbuatannya. Rasa heroik dan bersalah bersitegang di dalam diri
mantan algojo tersebut.
Pada awalnya pembuatan film ini untuk kepentingan studi sang
sutradara, Joshua Oppenheim dalam menyelesaikan program doctor di bidang seni,
University of Art London, Inggris. Karena merasa ada orang yang memberikan
perhatian mempelajari sejarah bangsa Indonesia, dan mendokumentasikan
perjalanan hidupnya, Anwar Congo tertarik untuk membantu Joshua terlebih Anwar
dijadikan pemeran utama dalam film ini.
Saat menonton film ini sangat terasa apa yang ingin disampaikan.
Konon katanya saat The Act of Killing diputar di Festival Film Toronto. Pers
Barat menyebut film itu mengerikan dan mengguncang batin. Itu karena Anwar
tampak bangga dengan tindakannya.
Terakhir, film ini memberikan kita masukan mendalam untuk
melihat sejarah 1965 secara garis besar dan bukan dilihat secara hitam-putih
saja, namun film ini membawa kita ke tataran paling personal tentang dampak
panjang yang dihasilkan oleh kekerasan massal terhadap hidup dan kejiwaan
masing-masing orang dalam masyarakat Indonesia, sampai sekarang. Rasanya film
ini wajib untuk di tonton masyarakat Indonesia.
(Jong)