Konflik agraria yang terjadi di tanah air ini nampaknya
tidak bisa dianggap enteng. Pasalnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN)
menyebutkan, masih ada sekitar 8000 kasus konflik pertanahan yang belum
terselesaikan di penjuru Indonesia.
Pembaruan Agraria (PA), yang selama ini dijanjikan presiden
tidak pernah menyentuh akar persoalan. Bukti Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP) tentang Reforma Agraria atau Pembaruan Agraria (PA), yang selama ini
dijanjikan presiden pun tidak pernah ada.
Menyikapi begitu banyak konflik agraria di Indonesia, Kamis
(7/1/13) lalu di Jakarta sekitar 130 an yang terdiri dari akademisi, peneliti
dan pemerhati studi agrarian membentuk Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria.
Sejumlah intelektual yang konsen dibidang agraria, seperti
Prof. Sediono Tjondronegoro, Prof Gunawan Wiradi, Prof Maria Sumardjono, Prof
Hariadi Kartodihardjo, turut bergabung dalam forum ini. Juga sejumlah pengajar
dan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga bergabung
dalam barisan intelektual ini.
Forum tersebut membuat sebuah petisi yang ditujukan langsung
kepada Presiden RI. Dalam petisi itu, ada 11 poin usulan yang meminta Presiden
turun tangan dalam penyelesaikan konflik-konflik ini secara tutas.
Diantaranya, pertama,
mendesak Presiden SBY segera melaksanakan seluruh amanah Ketetapan MPR RI No.
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara
konsisten.
Kedua, mendesak Presiden segera membentuk lembaga independen
untuk penyelesaian tuntas konflik agraria yang bersifat massif dan berdampak
luas di masa lalu dan masa kini.
Dibentuknya Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria ini patut
kita apresiasi. Dengan keterlibatan mereka, setidaknya angin desakan
penyelesaian konflik agraria bisa bertiup lebih kencang lagi. Maklum, sampai
sekarang ini pemerintah, terutama Presiden SBY, terkesan belum punya itikad
baik untuk menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi.
Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) Agus Jabo Priyono
pernah menegaskan, konflik agraria yang terus meningkat tidak terlepas dari
kebijakan rezim SBY yang makin liberal dan pro-neoliberalisme.
Oleh karena itu, disamping menuntut langkah cepat untuk
penyelesaian konflik yang sudah ada, kita mendesak agar pemerintahan SBY segera
mengembalikan politik agraria Indonesia sesuai garis konstitusi, yakni pasal 33
UUD 1945 dan UUPA 1960.
Bila hal ini terus dibiarkan, korban jiwa akan terus
berjatuhan. Rakyat, khususnya kaum tani, juga makin tambah susah. Bahkan, jika
negara tetap dibiarkan menggunakan cara-cara represif, konflik agraria ini bisa
menyulut terjadinya konflik yang lebih luas dan besar.
(Ahmad)