Berita Terbaru:
Home » » Koma

Koma

Written By angkringanwarta.com on Tuesday, March 19, 2013 | 13:17

Oleh Kahfi*

Ruas jalan masih membias dengan gerimis, basah dan beraroma debu mengepul. Dengan jiwa yang menindih segala isi kepala, bersama dengan segala rasa kehidupan yang hambar, aku putuskan untuk pergi. Kepergianku ini bukan untuk menghilang, melainkan menuntaskan, kepergianku ini bukan semata mengejar asa, tapi hanya untuk bertatap muka dan berbagi kisah. Semoga semua selesai setelah ini.

Sepekan berlalu, saat seorang kawan dari sekolah menengah dulu menghubungi. “Besok kita kumpul-kumpul. Datang ya, sudah lama gak ada kabar,” begitu pintanya setengah memaksa. Seolah aku inilah orang yang ikut pembuangan ke Digul jaman kolonial dulu. Tak ada kabar, tanpa bekas.

Seingatku juga, acara kumpul-kumpul seperti ini kerap dilakukan kawan-kawan sekolah yang sudah sepuluh tahun aku tinggalkan. Hanya dua orang dari sekian puluh kawanan tersebut yang sampai detik ini masih ingin bercakap denganku. Lainnya mungkin lupa, lebih mungkin lagi coba melupakan.

Bukan tak sabar aku ingin segera sampai di sana, tempat berkumpul itu. Di pelataran samping sekolah, jejeran warung yang penjualnya masih aku ingat rupa, perangai, dan bau apek masing-masing, aku hanya tak sanggup menanggung debar jantung, kala aku bayangkan ragam kabar apakah yang menusuk telingaku nanti. Sepuluh tahun, sudah cukup banyak kisah kehidupan terlewat.

Pada acara kumpul-kumpul inipun, aku tak ingin larut dan hanyut, saling sahut tentang capaian-capaian yang menjadi ukuran masing-masing karib. Bisa jadi, dari ukuran ini pula, mereka bisa saling membunuh. Paling tidak, satu sama lain bisa saling merendahkan, menganggap jabatan, perumahan, serta apapun yang berbenda dan terhitung dengan rupiah, satu-satunya alat ukur pertemanan. Terlebih itulah kesuksesan yang mungkin pula sejak sekolah telah tertanam dalam benak mayoritas siswa.

Kalau saja kumpul-kumpul ini bergaya formal, dengan aneka baju terbagus, kulit termulus, dan acara menghambur-hamburkan uang dengan alasan tak menentu, aku menolak hadir. Tapi, mungkin ini ulah dua orang kawanku tadi, kumpul-kumpul dijanjikan lebih ramah, dengan menengok warung di kantin sesukanya, dan bercengkrama seenaknya. Tak ada pembawa acara, tak ada kata-kata sambutan.

Gerimis terus menguntit perjalananku. Sepeda motor keluaran dua puluh tahun silam miliku, sudah ngosngosan meningkahi air yang merangsek ke mesin. Syukurlah, sepeda motor ini bisa berkompromi juga. Sebagian pakaianku tertimpa air, basah hingga ke kaus dalam, tas dan segala  isi cukup terlindungi dengan jas hujan gembel.

Kembali pikiranku beterbangan. Meski tangan, mata, dan kaki sibuk mengikuti aturan otomatis dari alam bawah sadar dalam mengendarai, melintasi jalan yang itu-itu saja. Sampai kini, jalan inilah yang tetap aku lewati, belasan tahun sudah.

Pertanyaan-pertanyaan berserakan, begitupun jawaban-jawaban. Entah mengapa, mereka menyergap pikiran, menyekap kesadaran. Sampai-sampai aku tak mengetahui hendak ke mana pikiran mengarah. Mereka datang bergiliran, berhimpitan, dan seketika berhamburan.
Pontang-panting perasaanku mendamaikan pikiran. “Kira-kira bagaimana kabar dirinya ? Mungkin ia datang dengan suami, bahkan ia membawa serta tiga, oh bukan, dua anak mungkin,”. Atau mungkin, ia enggan meramaikan acara nanti. Ia lebih memilih menutup diri, oh bukan, menutup segala informasi keluarga mungilnya. Terus menerus itulah yang menghantam benakku bergantian, pertanyaan tentang dirinya begitu dominan.

Tapi sudahlah, aku tak memedulikannya lagi. Kabar terakhir yang aku dengar, dia menikah dengan seorang anak pejabat. Suaminya seorang lulusan universitas swasta ternama. Bekerja di institusi tempat sang orangtua menduduki kursi pimpinan. Oh, baguslah. Semoga ia pun berbahagia, bisa mendatangkan apa yang keluarganya inginkan.

Semakin panjang jalan aku lalui, pikiranku asik berbisik segala tanya sekaligus menjawabnya. Di tengah gelombang tersebut, kesadaranku mencoba menyusur jejak-jejak, ia ingin menggapai makna, namun keinginan-keinginan juga ikut ambil bagian. Keinginan hadir menggugat, ia selalu menangguk bahagia di tiap nestapa. Laksana tangis dan tawa, ia merupakan milik bayi yang baru lahir. Menjerit sekerasnya, tertawa terpingkal selucu-lucunya. Itulah keinginan.

Dengan ketiganya; pikiran, kesadaran, dan keinginan, aku melanjutkan langkah, menghela tiap aroma, menamai segala yang belum terpahami. Semuanya membuatku seakan benar-benar memiliki, aku seolah kerap mencumbui relung jiwa, meraba tiap sudut raga bagai air yang perlahan jatuh dari kepala ke ujung jari. Aku menikmatinya.

Diam-diam ada pikiran lain melayap. Tiap kali aku hendak menikmati segala apa yang terberi, aku merasakan terpelanting segala kenyataan sehari-hari, segenap persoalan yang menumpuk dan siap menimbun harga diri. Mungkin karena itu pula, tak ada habisnya pencuri di negeri ini. Ada keretakan dalam diri manusia, tanpa budaya dan membudaya, manusia di negeri ini lantas muncul bak binatang buas. Segenap kebenaran tak ada yang mau mengakui, kepercayaan berbuah kebohongan hingga menjadi kepercayaan yang membohongi. Semua adalah derita tak kunjung putus.

Pikiran itu berbuah risau. Kala aku asik bermain dengan pikiranku sendiri, bagaimana bila tiba-tiba, ban motorku pecah, atau aspal basah malah melencengkan gerak roda, aku pasti jatuh, helm terbelah dan tubuh penuh cucuran darah. Aku takut. Ketakutan sepertinya benar-benar tampak, aku meringis kesakitan, bergidik aku membayangkan. Seketika aku kurangi kecepatan, pelan-pelan berjalan, tak peduli pada segala genangan air yang berkecipak terlindas kendaraan lain lantas menerpa wajah. Aku sungguh takut.

Tapi hujan tetaplah hujan. Segala romansa, entah di mana mereka sembunyi selama ini, rintik hujan menghanyutkannya hingga hinggap dalam nuansa jiwa. Siluet parasnya, lekuk liuk tubuhnya kala aku merengkuh, dan saat-saat kami berteduh di balik rerimbunan pohon. kami tak peduli pada dahan basah, serta daun-daun basah yang melayang kemudian jatuh menghantam tanah. Tapi dari mana asalnya, aku tak pernah mengetahui, kami tak pernah seremaja itu dalam bercinta. 

Dari layar kaca pun aku tak pernah menjiplaknya, isi televisi hanyalah rentetan kebahagiaan yang menggampangkan kehidupan. Atau paling tidak, acara media sebatas imaji-imaji serta jawaban kehidupan yang juga terkesan sepele. Dalam acara dan berita, perut ku kenyang dengan jawaban dangkal, akal-akalan dari perias, pendrama, penulis yang berkomplot. Kita tidak pernah diajak membuat pertanyaan-pertanyaan, kita dibuat diam oleh jawaban akal-akalan. Justru hujan membuatku bahagia sekaligus bertanya, dan bergembira dengan segala tanya.

Selama perjalanan, pikiran juga perasaan tak pernah berputus. Bersama bayangmu selalu hadir hasrat menggelegak, impian-impian beranak pinak, tapi seolah buih yang menghambur ke pantai, ia berceceran oleh sesal dan kecewa. Sempat aku berpikir, sampai mana semua berakhir, akankah hingga pintu neraka itu aku ketuk. Semoga saja hanya bagai gelap yang mengiringi hujan, dari kegelapan tumbuh keheningan dan kejernihan, dan jika sudah waktunya sinar menembus pekat awan, bayangmu pupus. Dan perjalanan hampir usai.

*****

Pintu gerbang itu melambai sebelah sisi. Deretan pagar besi terpapar dengan bulir-bulir air menggantung. Hujan hampir tuntas, dan  muka bangunan sekolah, membangunkan lagi syaraf-syaraf kenyataan yang tadi tenggelam bersama pandang temaram dari balik kaca helm yang butek. Aku sehatkan raga selepas berkendara dengan menghirup sebanyak udara. Rongga di dada terasa lega, ibarat lemari tua penuh jelaga, aku siap membuka laci memori untuk kumpul bersamamu, kawan-kawan.

Lorong parkir menuju kantin masih seperti dulu. Banyak pasir menyembur dari sela-sela conblock, di tengah-tengah tergeletak begitu saja kotoran binatang liar, kucing dan tikus. Dua binatang pengerat dan kuat itu memang kurang ajar, tidak kalah kelakuannya dengan siswa-siswa sejamanku dulu. Rata-rata, sedikitnya dari gerombolan siswa yang aku kawani, bermulut lancang dan hanya ingin merasakan senang.

Kami, dulu, bosan dengan tetek bengek persekolahan. Di kelas, hidup kami seolah mati. Tiap hari kami tercekoki dengan segala hapalan, itu membuat kegembiraan kami berkurang. Kegiatan ini serupa ritual ibadah, siswa terajin ia bakal masuk surga. Seakan tidak ada pelajaran dari tiap pengetahuan yang guru berikan. Kami tetap terseok meniti hari, kami butuh aroma dupa yang menenangkan, jauh dari angka-angka dan dogma. 

Tapi yang aku tahu dulu, aku harus sekolah. Aku dapat menimba ilmu, mencari teman dan kesibukan. Namun aku tak mengetahui jelas mengapa aku lebih memilih mendengar lirik-lirik John Lennon Cs ketimbang pengetahuan yang dilimpahkan guru ekonomi. Aku juga belum paham mengapa aku lebih menyenangi rokok dan kopi daripada mengikuti tadarus di Mushola kecil itu. Pada masa itu, aku menganggap diriku gagal, anak nakal yang bakal sia-sia hidupnya. 

Bayangan masa depan sungguh misterius. Layaknya kedua orangtua mengarahkan, aku diajak ikut serius memikirkannya. Bagaimana kelak, kerja di mana, gaji berapa, berkeluarga dengan siapa dan bagaimana seterusnya. Masa depan sangat menakutkan. Selagi takut menyelimuti, aku butuh nafas baru, udara segar yang bisa membuatku tegar. Di lapangan bertanah merah, aku raih semua itu. Di sana bila bolos dari pelajaran kelas, kami menikmati bermain sepak bola.

Di emperan toko sebelah sekolah, aku juga ikut menyemangati diri dan karib. Kami bersama, tanpa juntrungan jelas, sibuk nangkring di pepohonan sekitar atau nongkrong di tumpukan botol minuman soda. Kerap hingga larut senja, kami baru beranjak ke rumah. Itulah kami dulu. Kami yang tidak mengenal baik para guru, mungkin sebaliknya pula. Kami yang tak seluruhnya hapal rumus-rumus, kami yang ikut arus untuk menghunus masa depan tapi tak pernah diberikan definisi; Apa itu masa depan?

Tapi kini, dalam benaku, sekolah amat menakjubkan. Ia memang tak melahirkan penulis besar Pramoedya, yang bersinar di usia 20 Tahun, atau diplomat ulung macam Soejatmoko, di usia 23 Tahun sudah mampu melobi diplomat asing yang jauh lebih senior.  Sekolah sekarang lebih mencipta siswa-siswa yang mampu membuat nama bangsa berbangga. Mereka peraih medali emas olimpiade sains, para perakit mobil, para jago komputer. Mereka lebih pintar daripada aku dan siswa sejamanku. 

Begitupun sekolah ku sekarang. Dinding-dinding bercat coklat tua, dan parkiran luas di seberang mataku, membuat pemandangan sekolah jauh berbeda. Parkiran yang panjang dan lebar seluas lapangan futsal sudah cukup mencerminkan, begitu lihainya siswa-siswa berkendara. Lantai atas yang kian meninggi, menggambarkan bagaimana sekolah ini maju tiap hari. Mungkin ada perpustakaan baru, koleksi buku baru yang butuh ruangan baru. Atau laboratorium lengkap dengan alat canggih, itupun butuh lokasi baru, tepatnya lantai tersebut, mungkin.

Lorong parkiran sudah tertinggal jauh di belakang. Aku duduk termangu di depan warung Bu Surti, wajahnya bertambah kerut. Ia sudah tak mengenaliku.  Aku pesan segelas kopi hitam, biar hangat dan santai. Luas kantin memang bertambah, tetapi tidak bagi para pedagang dan konsumen. Entah dari mana asalnya, sekolah ini bisa mencaplok sejumlah meter tanah di bagian belakang kantin. Peruntukan tanah tersebut bagi pendatang baru, mereka menempati belasan warung. Sedangkan tempat makan para pelanggan dan luas tiap warung tidak bertambah semeter pun. 

Melihat hal tersebut, aku tertawa cekikikan. Pasalnya pembangunan ini membuatku berkilas balik dengan buku-buku yang menceritakan tentang era “Pembangunan Orde Baru”. Pembangunan waduk, jalan tol, pusat perbelanjaan, toh bukan malah membuat hati rakyat berbunga, rakyat sebaliknya menderita. Jangankan merasa sejahtera, rakyat justru hidup tidak nyaman dan tidak tenteram. 

Sepertinya kantin inipun demikian. Para siswa, tiap harinya mereka juga tak nyaman makan saling berhimpitan, tidak bisa bercengkrama sambil menikmati segala yang tersedia. Bak sapi di sawah, mereka bersamaan menunduk, sebanyaknya menghabiskan makanan dan kembali ke kelas masing-masing.  Terlalu pengab dan tidak manusiawi untuk berlama-lamaan di kantin ini.

Untunglah, Sabtu kali ini tidak banyak siswa pergi ke sekolah. Sebagian besar mereka yang menyempatkan hadir, tak lain para pegiat ekstrakulikuler. Bagiku, teman-temanku tepat memilih waktu untuk berkumpul, cermat pula mencarikan tempat yang setidaknya aku sepakati. 

Aku bisa sesuka hati memutar rekaman ingatan yang pernah ada di kantin ini. Mulai dari Si A, yang rakus makan tapi tak mau bayar, biasanya ia menyelinap diam-diam kembali ke kelas. Atau kisahku sendiri, aku dengan si Dia senang berduaan hingga sore menjelang di sini. Kami merupakan pasangan siswa yang sederhana, tidak ada nonton bioskop bersama, jalan tamasya berdua. Di kantin ini, kami nikmati mekarnya cinta seperti kami menikmati udara kala sinar mentari pertama menyapa. Hal yang biasa kami lakukan hanya mencibir (kadang menjadi singkatan; mencium bibir) apapun.

*****

Tak putus-putunya rasa bosan menyergap. Sudah sejam berlalu, aku tetap di kantin ini sendiri, tanpa teman yang mendekat. Di mana mereka? Ah, muak aku menerka, sudah beberapa pesan singkat menanyakan kabar mereka, belum lagi terjawab. Tak puas dengan pengiriman pesan singkat, aku yang berang pun  menerjang mereka dengan menelpon berturut-turut. Nihil hasil, tetap tak ada jawaban.

“Mas wartawan ya?”

Pertanyaan seorang dari beberapa orang siswa yang mampir ke kantin untuk membeli minuman memecah kekesalan. Aku bangkit dari kesalku, senyum aku lempar sekenanya.

“Bukan,” aku menjawab enggan.

“Oh! Tapi kok kayak Mas Wartawan yang biasa nongkrong di sini, pakai jaket jins dengan tas ransel, rambutnya gondrong juga,” teman lainnya menimpali percakapan itu.

“Terus, kalau saya wartawan juga, kenapa?” aku menantang. Mereka diam dan segera bubar.

Kali ini Bu Surti yang menghampiri. Sudah semenjak aku duduk, ia mengamati raut mukaku. Sama halnya dengan Polisi yang pernah mem-BAP-ku saat dulu masih mahasiswa, tampangnya hendak menginterogasi orang. Tap untunglah, ternyata Bu Surti mengintrogerasi kenangannya sendiri.

“Oh kamu toh cah lanang,” kata-katanya menyergap telingaku. Ia lantas duduk persis di depanku.

“Iya Bu, masih ingat toh,” jawabku kalem.

“Masihlah cah lanang. Sudah punya istri, oh, atau masih yang dulu itu ya?” Bu Surti terkekeh sendiri.

“Belum Bu, doakan saja sebentar lagi,” tukasku untuk menghentikan pertanyaan lain-lain.
Aku sengaja membelokan omongan Bu Surti dengan pertanyaan lagi.

“Bu, kok kayaknya pada takut sama wartawan ya. Kenapa?” tanyaku sembarang.

“Kemarin itu ramai-ramainya kasus korupsi dana bantuan sekolah di sini. Katanya, Pak Kepala Sekolah ikut terlibat. Sejak itu banyak wartawan yang ke sini,” bisik-bisik Bu Surti serasa membicarakan aib orang di sebelah.

“Kok malah jadi takut, kan mereka cuma mau cari faktanya seperti apa,” aku timpali lagi.

“Bukannya takut, tapi risih. Wartawan itu, kata Pak Parmin, orang dekat Kepsek, berbuat seenaknya. Malah wartawan itu juga berani minta jatah,” terang Bu Surti.

“Wah kalau yang begitu memang gak bener Bu. Tapi tidak semuanya seperti itu Bu,” kataku.

“Iya memang, tapi sulit bedakan mana yang tugasnya memang hanya sekadar mencatat, dengan wartawan yang malah sering mencatut,” Bu Surti terkekeh kembali.

“Kalau catat juga mencatut, gimana Bu?” pertanyaan yang aku harap menyambung ketawa Bu Surti.

“Hehehehe, itu mah sama saja cah lanang,” Bu Surti tergelitik juga dengan tanyaku. Ia kembali sibuk mengurusi dagangan.

Tiba-tiba satu pesan singkat masuk ke telepon genggam. Aku mengharapkan pesan balasan dari teman-teman ku.
Namun dalam layar tampak berderet angka, pesan yang ku terima tanpa nama.

 “Tolong datang ke sini. Lupakan semuanya, kita harus saling memaafkan demi dia,” pesan singkat tersebut dibubuhi nama orang tua yang ku kenal baik waktu dulu.
Sesaat setelahnya, pesan baru pun muncul.

 “Kau harus ikhlas, sempatkan datang, itulah permintaannya,” isi pesan dari temanku. Mereka pun membatalkan pertemuan.


Rawamangun, 2013


Penulis adalah mahasiswa UNJ


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta