Berita Terbaru:
Home » » Sudah Lima Tahun, Warga Rumpin Hanya Tersenyum Kecut

Sudah Lima Tahun, Warga Rumpin Hanya Tersenyum Kecut

Written By angkringanwarta.com on Friday, March 01, 2013 | 20:00


Warga Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor akhirnya hanya bisa pasrah menerima semua kejadian yang terjadi 21 Januari 2007. Secuil harapan untuk menemukan keadailan dari lembaga hukum sepertinya hanya sia-sia. Soalnya, sudah lima tahun lamanya peran Kepolisian atau pemerintah sama sekali tak terlihat dalam mengusut bentrokan aparat TNI-AU dengan warga seperti menguap.

“Masyarakat tidak tahu lagi, entah ke mana harus mengadu. Pemerintah sibuk dengan urusan dirinya sendiri, dan sibuk mencuri uang rakyat. Masyarakatpun dibiarkan terlantar,” kata Mansur, Ketua RT warga Rumpin.

Mangsur (42), berusaha mengingat kenangan pahit itu, waktu itu sejumlah rombongan truk dan alat berat milik TNI AU mendatangi lokasi Water Training. “Saat itu kami menolak pembangunan Water Training karena tanah tersebut dianggap masih menjadi milik warga rumpin,” teranganya.

Ia menambahkan, penolakan kami mendatangi mereka dengan maksud menyampaikan penolakkan. “Tiba-tiba ada yang melempar batu yang disusul suara tembakan. Warga pun berlari ketakutan,“ lanjutnya, “Ada yang kena tembak, namanya Acep,” ujar Mangsur.

Tak sampai disitu, imbuhnya, pada malam harinya, sekitar pukul 21.00, wib, sejumlah anggota TNI AU bersenjata lengkap mendatangi rumah warga. Orang yang dianggap vokal menentang proyek itu ditangkap dan diculik. “Hal itu, membaut warga semakin ketakutan serta kebingungan mengadu kepada siapa,” kata dia lagi.

Dalam sekejap, ia menceritakan kondisi Rumpin berubah menjadi  sangat tegang. Salah satu tokoh masyarakat, Daryanto entah kemana. Menurut keluarganya, Daryanto baru ditemukan keesokan harinya dalam kondisi babak belur dan badannya dipenuhi lumpur.

Kejadian itu semakin membuat warga penuh ketakutan. Warga merasa seperti penjahat yang tengah diburu. Sebagian dari warga, khususnya para laki-laki pada lari ke hutan. Yang tersisa tinggal  wanita dan anak-anak, mereka pun sangat ketakutan dan mengunci pintu rapat-rapat. “Saya pun waktu itu merasa takut, saking takunnya saya dan beberapa kawan yang lain melarikan diri ke hutan,” katanya.

Kejadian itu berlansung seminggu lebih, para  aparat TNI terus mengancam dan memaksa warga untuk diambil alih tanahnya. Saat itu pihak TNI AU mematok harga Rp500 per meter. Dan warga yang benar-benar resah dan tidak kuat dengan keadaan seperti itu akhirnya mau menjual tanahnya.

Menurut warga, kata dia, tanah yang mereka tempati adalah tanah yang sengaja  disengketakan bukan tanah sengketa. “Kita semua warga disini punya sertifikat yang sah,” tegas Mangsur. Bahkan, lanjut Mangsur, tanah tersebut merupakan tanah warisan turun-temurun sejak sebelum Indonesia merdeka.

Usai tanah itu lepas, warga Rumpin yang sebagian besar bekerja sebagai petani dipaksa  kehilangan mata pencaharian. Sekitar 1.000 hektar sawah miliknya diklaim oleh TNI AU. Selama bertahun-tahun pula nasib mereka menggantung nasib di tanah tersebut.

Untuk bertahan hidup, warga Rumpin terpaksa mengadu nasib sebagi kuli bangunan. “Warga di sini sebagian besar sudah tidak bertani, meraka terpaksa memilih keluar untuk mencari pekerjaan lain seperti kuli bangunan, bahkan ada yang pergi ke kota untuk mengadu nasib,” kata Mangsur. (Jong)



Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta