Oleh Milliya*
Sabtu [11/5] saya
mengajak seorang teman saya, Hepi, untuk menghabiskan petang jalan-jalan.
Sekadar menikmati senggang sekalian main-main sambil foto-foto. Mumpung dapat
pinjaman kamera.
Dengan
menggunakan sepeda motor, saya dibonceng Hepi, menuju Pulau Serangan. Letaknya
5 km di sebelah selatan kota Denpasar, Bali. Dengan panjang pulau 2,9 km dan
lebar 1 km. 30 menit dari kostan saya di Jl. Sedap Malam-Sanur
Awalnya saya
kebelet ngambil foto Pulau Serangan yang danaunya bening. Nampak tenang dari
kejauhan. Gagal. Sore itu Serangan sedang surut. Nampak tanah basah sisa
genangan air. Berlumut coklat kehitam-hitaman.
Urung dapat
gambar yang sesuai kepengen, Hepi, mengajak saya ke penangkaran Penyu. Letaknya
didalam Pulau Serangan. Saya tidak menolak.
Sore dan matahari
di Bali, masih terik. Saya memasuki pintu gerbang yang tidak berpagar, lantas
memarkir motor di lahan teduh. Ada dua patung penyu besar, dua bangunan serupa
kantor. Satunya kafe.
“Ada penjaga,”
jawab Hepi, singkat.
Dari arah kafe,
lamat-lamat seorang lelaki berperawakan besar menghampiri kami. Ia menyambut
kedatangan kami dengan senyum. “Mau lihat-lihat.” Serunya, sambil mempersilakan
saya dan Hepi, untuk mengikutinya. Saya dan Hepi, manut. Mengikuti langkahnya
dari belakang.
“Ini penyu hijau
dan itu penyu lekang,” unjuknya sambil memainkan air di kolam penyu. Empat
kolam berukuran 1.5m saling berhadap-hadapan. Ada tiga jejer kolam sebagai
tempat penangkaran.
Lelaki yang memandu
saya sore itu namanya, Bli Made. Delapan tahun sudah Ia, bekerja di penangkaran
penyu di Serangan. Sambil melihat-lihat beberapa koleksi penyu yang dirawat
khusus. Bli Made, menuturkan muasal ihwal penyu yang perlahan punah.
“Dahulu, penyu
dikonsumsi sebagai makanan sehari-hari. Baik itu telurnya atau dagingnya
sekalipun.”
Saya merinding
membayangkannya. Mencium bau amis yang menghilangkan selera makan. Telur penyu.
Daging penyu. Isi kepala saya berisi potongan gambar masakan-yang saya pastikan
sangat tidak enak.
“Dasar manusia.
Apa saja serba dimakan,” umpat saya. Hepi, tersenyum. Saya kembali menggerutu.
“Khususnya di
Bali, penyu-kan dipakai untuk kebutuhan upacara. Biasanya, kepalanya saja sih,”
lanjut Bli Made. “Penyu lama bertelurnya. Sedang yang makan setiap hari dan
banyak. Jadilah penyu terancam punah.”
Untuk melindungi
populasi penyu, th 1999 pemerintah mengeluaran UU yang memutuskan bahwa Penyu
adalah hewan yang dilindungi. Meski demikian, penangkaran penyu di Pulau
Serangan ini tidak menerima subsidi dari pemerintah.
“Penangkaran ini
adalah hasil swadaya masyarakat. Pengelolaannya dibawah banjar,” terang Bli
Made.
Butuh 10-25th
untuk penyu bisa bertelur. Lama. [Jadi kalau diusia 25th kamu masih jomblo
santai aja, ada temennya tuh: penyu :D] Sekali bertelur berojolnya 150 butir.
Menetas dalam kurun waktu + 50 hari. Setelah dikubur didalam pasir.
Jam tangan saya
menunjukan waktu pukul lima sore. Setelah mengitari beberapa kolam penyu dan
melihat-lihat isi museum penyu. Saya berpamitan kepada Bli Made. Sebelumnya
cuci tangan dulu, bau amis. Lantas meneruskan perjalanan muterin pulau
Serangan.
* Penulis bermukim
di Bali dan dunia maya http://mymiliyya.tumblr.com/