Kakek, aku adalah cucu mu, anak dari bangsa yang porak poranda. Aku adalah anak yang tumbuh dalam penjara modernisme. Aku mengingat engkau sebagai pejuang kakek. Aku mengenang engkau sebagai pahlawan. Namun tahukah engkau kakek, semua sudah berubah sekarang. Banyak orang yang mengenang engkau, namun mereka mengenang sebagai sebuah representasi kemasan seremonial dan simbol. Supaya mereka mempunyai alasan yang masuk akal untuk bisa menyebut diri mereka sebagai pejuang kebenaran. Seringkali tindakan seremonial mereka hanya kemasan kakek , karena dalam hati tujuan dari aktivitas tersebut adalah kekuasaan. Kakek, maafkanlah orang-orang tersebut. Aku mengetahui engkau tidak dekat dengan kekuasaan, aku mengetahui kebenaran dari mu kalau kebenaran bukan persoalan kekuasaan. Aku mengetahui itu dari tinta yang kau tumpahkan pada kertas-kertasmu kakek.
Kekuasaan merubah manusia kakek, kekuasaan membuat mereka lupa. Kekuasaan membuat mereka menjadi hantu yang dapat berubah bentuk kakek. Jarang aku menemukan manusia dimasa aku hidup yang berkata, "Keadaan seluruh dunia berubah. Sekarang apa? Negara-negara komunis pun mengakomodasi kapitalisme. Perang Dingin tidak ada lagi. Saya sendiri tetap seperti dahulu, menentang ketidakadilan dan penindasan. Bukan sekadar menentang, tetapi melawan! Melawan pelecehan kemanusiaan. Saya tidak berubah". Keteguhan hati dan keyakinan yang kuat melekat dalam karaktermu kakek. Melawan bukan dengan motif dendam. Melawan kesombongan dan keserakahan dengan kesucian hati untuk sebuah perubahan.
Dalam tulisan yang berjudul Bumi Manusia engkau telah memperingatkan kami kakek. Engkau berkata "Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya" . Namun kami begitu tersipu dengan cahaya dan gemerlapnya Jabatan dan materi kakek. Dunia mu begitu luas, sedangkan dunia kami begitu sempit.
Sempit dengan tujuan hidup yang berkutat pada uang dan kekuasaan. Ada seorang seniman yang merumuskan gaya hidup kami dengan alegori "hidup untuk sekolah, berkerja dan mati". Itu dunia kami, itu lah kami kakek. Kami begitu seragam, satu pandangan namun saling bunuh membunuh untuk tujuan tersebut. Kami tidak sempat berfikir mengenai apa itu bumi dan manusia seperti dirimu kakek. Lebih parahnya kami menyebut cara itu manusiawi dengan landasan tradisi.
Kakek, engkau adalah seorang pejuang seperti Che dan Franklin, namun engkau pejuang yang berperang dengan tinta dan kertas. Kecintaan pada perdamaian mengisi kehidupan mu. Teguhnya pendirianmu pada nilai yang engkau anggap benar membuat engkau layaknya batu karang, yang selalu berusaha berdiri dalam terpaan ombak. Semoga di waktu istirahatmu Kedamaian menjadi penarang dan kebenaran menjadi penuntunmu dalam menghadap Sang Pecipta. Engkau berkata tidak pada kekuasaan bukan untuk berkuasa, engkau berkata tidak sebagai pertanyaan sikap pada kata penguasa dan kekuasaan, yang berarti kesombongan dan keserakahan. Engkau melakukan apa yang engkau yakini, engkau telah menunaikan kewajiban manusia adalah menjadi manusia, bukan menjadi penguasa.
Ciputat 30 April 2013,
Al Muhdil Karim