Oleh
Aditia Purnomo*
Orang
bilang tanah kita tanah surga, tongkat batu dan kayu jadi tanaman. Begitulah
penggalan lirik lagu milik Koes Plus yang menggambarkan kekayaan alam bumi
nusantara. Keragaman hayati, kesuburan tanah, samudra yang kaya raya, dan
melimpahnya sumber daya mineral membuatnya disebut tanah surga.
Namun
sayang, di negeri yang permai ini, di
tempat padi terhampar, para penghuninya justru tak seperti hidup di surga.
Berjuta rakyat bersimbah luka, anak kurus tak sekolah, serta pemuda desa tak
kerja, begitu ungkapan John Tobing dalam lagu darah juang ciptaannya.
Ya,
begitulah Indonesia. Di negeri yang kaya ini, rakyat dirampas hak hidup
sejahteranya. Kekayaan alam hanya dinikmati segelintir orang saja. Tak peduli
konstistusi bicara apa, tanah, air, dan udara dikuasai untuk kepentingan para
pemodal saja. Cita-cita sejahtera sejak tahun ‘45 jadi “katanya” saja.
Coba
tengok saudara-saudara di Papua sana, gunung emas mereka dirampok oleh para
pemodal asing. Atau lihat bagaimana minyak dan gas di pulau Sumatra sana
diambil sebesar-besarnya guna kepentingan para penguasa.
Jika
untuk melihat ke daerah sana kita belum sanggup, cobalah intip desa Tegallega
yang berjarak hanya sekitar 100km dari ibukota. Di kawasan perbukitan yang
sebenarnya asri ini, keberadaan tambang batu dan tanah bagi keperluan
kontraktor membangun kota-kota besar menyebabkan kerusakan lingkungan yang
cukup besar.
Keberadaan
perusahaan tanbang ini tidak hanya memberikan dampak kerusakan lingkungan bagi
hutan-hutan dan perbukitan, tapi juga rusaknya akses jalan menuju pemukiman
masyarakat di daerah tersebut. Bayangkan saja puluhan hingga ratusan truk
bermuatan puluhan ton hasil tambang melewati jalan yang masih beralas tanah dan
kerikil?
Belum
lagi dampak sosial ekonomi akibat kehadiran tambang di desa agraris ini. Mata
pencaharian warga yang awalnya banyak berkebun semakin menipis akibat janji
manis hasil pertambangan yang merusak. Keberadaan ladang yang tadinya banyak
kini semakin menipis akibat minimnya orang yang mau bertani. Dan hal ini
diperparah dengan hama yang merajalela akibat semakin tipisnya lahan dan orang
yang bertani.
Begitulah
Indonesia, ketika desa-desa di sekitar ibukota masih merana, pemerintah justru
merancang jalur penghubung pulau Sumatra dan Jawa yang tentu akan menguntungkan
para pengusaha. Sungguh, alangkah lucunya negeri ini.
Entah,
apa yang membuat pemerintah begitu sulit untuk setidaknya mengedipkan matanya
ke daerah ini meski daerah ini tergolong masih di bawah standar kelayakan hidup
sejahtera. Bayangkan saja, disaat pemerintah sibuk mengurusi kurikulum 2013
yang perdebatannya begitu panjang, para pelajar yang kelas tiga sekolah dasar di
desa Tegallega ini, jangankan mengikuti kurikulum ini, untuk belajar baca tulis
hitung pun masih terbata-bata.
Padahal
Iwan Fals dalam lagunya yang berjudul desa telah mengungkapkan bagaimana
pentingnya posisi desa dalam pembangunan ekonomi nasional. Bagaimana desa harus
menjadi kekuatan ekonomi agar warganya tak lagi hijrah ke kota. Ya, semoga saja
Presiden RI yang katanya juga musisi ini pernah mendengar lagu ini.
Tentu
saja, saat desa telah jadi kekuatan, pembangunan yang merata dan pendidikan
yang baik bagi masyarakat desa impian hidup sejahtera dapat terlaksana. Sekalipun
kota menjadi pusat peredaran uang dan pertumbuhan, desa dan kota tetap tak
terpisahkan. Desa sebagai basis kekutan pembangunan ekonomi harus lebih
diperhatikan agar hidup sejahtera tak lagi menjadi mimpi belaka.
Penulis
aktiv berkicau @dipantara_adit