Pengamat politik, Alfan Alfian mengingatkan, seorang pimpinan tak boleh hanya mengandalkan popularitas. "Popularitas tidak penting, popularitas perlu tapi tidak segala-segalanya," ujarnya dalam seminar 'Kepemimpinan politik dan problematik demokratisasi pasca Soeharto', di Gedung LIPI, Jakarta, (10/10).
Masih dalam kesempatan yang sama, pengamat politik sekaligus dosen FISIP UI, Firman Noor mengkritik gaya blusukan Jokowi dalam memimpin Jakarta.
Kritikan tak kalah pedas juga diarahkan pada kebiasaan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang gemar menciptakan lagu.
Menurutnya, apa yang dilakukan mereka sama tidak punya kejelasan visi untuk memimpin Indonesia. "Pemimpin itu bukan hanya melakukan blusukan atau membuat lagu, tapi juga harus mempunyai visi yang jelas. Tidak ada kejelasan pemikiran. Apa visi ini kemajuan, apa kemunduran? Visi ini belum jelas, ini mengkhawatirkan," ujarnya dalam seminar 'Kepemimpinan politik dan problematik demokratisasi pasca Soeharto', di Gedung LIPI, Jakarta, (10/10).
Ia juga menambahkan, terjadinya krisis kepemimpinan disebabkan para petinggi di negara ini tak dapat mengimplementasikan visinya, termasuk mengajak rakyatnya untuk loyal dan mengikutinya.
"Pemimpin itu punya kemampuan mengimplementasikan visi itu dan efeknya. Punya kemampuan memotivasi sehingga orang paham dan sepakat. Dia juga aspiratif, punya program yang membumi, punya komunikasi yang baik. Serta harus mewakili konstitusi negara dan cerminan budaya," lanjutnya.
(Red)