ilustrasi |
Oleh Evi Idawati*
Subuh
adalah safir yang memantulkan doa-doa ke penjuru langit. Bila senyumnya
merekah, kokok ayam akan terdengar, desah kabut merapat dan beribu malaikat
mengetuk rumah sambil membawa berkah. Ia seperti Azalea, bunga surga yang mekar
jika subuh tiba.
Tidak
banyak orang yang tahu, begitu berartinya subuh bagiku. Aku selalu menjemputnya
di depan pintu rumahku dengan membaca seluruh pujian kepada semesta. Aku akan
menyambutnya dengan segenap jiwa yang dipenuhi rindu. Tak ada yang lebih
berarti bagiku, selain bertemu dengan subuh, bertawajuh dengannya hingga
rinduku tandas dan tiada. Namun seperti oase, kerinduan itu tak pernah surut,
semakin menggelegak, meruah dan tumpah.
“Siapa
namamu?” aku berbisik padanya saat kabut merampas hasrat hingga menjadikan
kematian dunia.
“Aku
Azalea, bunga yang kau tanam di dalam surga” jawabnya lirih.
“Surga
yang mana?” aku kembali bertanya padanya.
“Surga
yang memberimu rumah di dalam cahaya” katanya lembut sambil merekahkan dirinya
dan harum bunga merebak ke semua arah. Aku menggigil. Ini adalah kali pertama
pertemuanku dengan Azalea, aku hanya mendengar suaranya setiap pagi, mengucap
salam di pintu rumahku, tapi tak pernah kulihat sosoknya. Hingga subuh ini,
ketika peraduanku luruh di dalam doa-doa yang melesat dan berlompatan ke segala
arah menuju rumah yang selalu dituju,
mengarah pada tepi yang memberi limpahan berkat untuk tinggal dan menyemayamkan
tubuh dunia, yang rapuh dan harus berhenti jika ajal menjemput nanti.
Azalea,
membuatku tak menginginkan apapun lagi. Bunga subuh yang terus mekar di dalam
cahaya. Temaram ataupun benderang. Berkarib dengannya, aku merasakan kematian
hasrat yang mendesak-desak dada agar ia keluar dan menjauh dari tubuhku. Ada
sebagian dari badan yang mencabik-cabiknya hingga menariknya keluar. Hasrat
adalah debur laut yang kukuh memukul-mukul dada hingga berulangkali menancapkan
nyeri. Maka aku merayakan kematiannya saat Azalea bersikukuh menjadi penghuni bagi rumah yang
kubangun dengan doa-doa dan nyeri. Bersamanya aku menyenandungkan segala
kebaikan bagi yang merindui dan mencintai kami.
Begitulah,
hari-hariku tumbuh dan hidup bersama Azalea, bunga subuh yang memberiku
kehormatan untuk bersahabat dengannya. Pernah dia bertanya padaku apakah aku
menginginkan dia menjadi milikku saja. Aku tertegun menatap matanya. Aku
menemukan diriku di sana di dalam matanya. Hanya diriku. Hanya diriku. Ia
menjadi cermin yang memantulkan apa yang ada di dalam tubuhku. Aku melihat
hatiku, jantungku, pikiran-pikiranku juga mimpi-mimpi yang bertumpuk seumur
hidupku. Aku mencoba membacanya satu-persatu. Aku mengambil pisau, menelanjangi
diriku sendiri, membelah dadaku. Di sebelah kanan, aku melihat dosa, kesalahan,
pikiran buruk dan keinginan-keinginan kurang ajar. Aku mengambilnya satu
persatu dan melemparkannya jauh dariku. Nyaris tak perduli kemana mereka
berhenti, aku terus saja mencabut akar-akarnya hingga urat-uratku terputus dan aku tak ingin
menyambungnya.
Sementara
di sisi yang berbeda, mimpi-mimpiku berdesakan ingin mendapat perhatian.
Seperti gonggong anjing yang bersahutan menyalak, saat tuannya datang. Berebut
ingin mendapat elusan, tetapi aku tak menyapanya. Aku tak pernah menjadi tuan
bagi mimpi-mimpiku. Aku tetap mengambil dan melemparnya jauh dariku. Di mana ia
berhenti, di mana ia akan tumbuh, aku tidak mau tahu.
Tetapi
setelah semuanya pergi, tak ada yang menghuni tubuhku. Memang aku tidak
merasakan kesakitan, kesepian bahkan kesendirian yang ditakutkan oleh banyak
orang. Aku meneguhkan janji dan hatiku untuk selalu bersama Azalea yang memberiku
ketabahan untuk mensetiai kebaikan yang diberikan subuh bagiku. Azalea
menunjukkan padaku siapa yang selama ini menjadi penghuni tubuhku. Jantung yang
seumur hidup akan berdenyut, hati yang senantiasa menjadi samudera untuk
ketiadaan dan keberadaan, hanya berisi mimpi-mimpi duniawi. Maka ia membantuku
merobohkan hingga membuangnya jauh dariku. Setelah kejadian itu, Azalea
bertanya kepadaku,
“
Apa yang kamu rasakan?”
“
Kematian”
“
Kematian dari apa?”
“
Kematian dari mimpi dan keinginan.”
“
Pernahkah engkau menyentuhnya selama ini?”
“
Tidak”
“
Lalu mengapa engkau biarkan dia hidup di dalam tubuhmu?”
Azalea, bunga subuh seperti lagu
yang mendayu. Ia datang bersama angin. Menyentuh kulitku. Menggigilkan hatiku.
Haru biru seakan air hujan yang datang sejenak lalu meninggalkan tanah yang
basah. Ia memberitahuku bahwa hasrat dan mimpi adalah sungai dengan deras
air yang menyeretku menjauh dari rumah
yang akan kami huni bersama.
“Engkau melihat bulan, subuh
ini” tanyanya saat kami duduk bersama
merayakan kegembiraan dengan tasbih dan doa-doa yang berkumandang dari
kekhusukan semesta.
“Aku tidak melihatnya” aku
menjawabnya lirih sambil menunduk. Aku tidak menggerakkan kepalaku untuk
menoleh, atau mencari-cari bulan di langit. Aku
menunduk. Aku hanya melihat tanganku dengan jari-jari yang bergerak
terus menerus, melepas dan meraup biji teratai yang menjadi penanda cinta di
tangan kananku.
“Angkat kepalamu” perintahnya.
“Tidak. Aku sedang bertasbih”
jawabku lirih.
“Bagaimana kau bisa melihat bulan,
jika tidak mau mengangkat kepala melihat langit?” tanyanya lagi.
“Aku
menunduk untuk melihat langit, aku menunduk untuk melihat rembulan. Aku tak
akan menggerakkan kepalaku atau berdiri meninggalkan tempatku berdiam untuk
mencari-carinya. Bulan akan tetap ada di tempatnya, aku akan tetap ada di
tempatku, ia akan datang di depanku jika aku memang ditakdirkan untuk
melihatnya.” Suaraku menggigil sampai subuh pergi, sampai jerit pagi memecah kesunyian yang semakin
tenggelam. Aku masih berdegub di dalam rumah tempat kami berdiam.
Azalea
mendekatiku. Ia menyentuh daguku dan mencoba mengangkatnya berulang, tapi aku
tetap menunduk. Lidahku terlipat aku hanya mendengar deguban jantungku yang
lirih memanggil-manggil pemilik jiwaku. Aku menggigil. Tubuhku menggigil.
Mataku terpejam tetapi ada yang memaksaku untuk membuka mata, aku tak kuasa
melawannya. Hingga kulihat Azalea berubah. Ia berputar dengan cepat, membentuk
lingkaran yang terus menerus berputar. Aku terpaku, nyaris tak percaya, tapi
gerakannya semakin cepat, cepat, cepat, lalu melambat, seiring menyibaknya
langit, ia menjadi terang, benderang lalu ia melesat, mengarah ke dadaku. Deg!
Aku tersentak. Ada yang menancap di dadaku tanpa rasa nyeri. Aku mendekapnya
erat, sambil berurai airmata.
“Azalea...”
aku berbisik memanggil namanya. Aku rubuh dan terjatuh. Di depanku hanya
terlihat langit. Biru, bening dan putih.
Imogiri
2013
*Penulis pemilik akun @eviidawati