Berita Terbaru:
Home » , » AZALEA BUNGA CAHAYA

AZALEA BUNGA CAHAYA

Written By angkringanwarta.com on Sunday, January 19, 2014 | 17:09


ilustrasi
Oleh Evi Idawati*

Subuh adalah safir yang memantulkan doa-doa ke penjuru langit. Bila senyumnya merekah, kokok ayam akan terdengar, desah kabut merapat dan beribu malaikat mengetuk rumah sambil membawa berkah. Ia seperti Azalea, bunga surga yang mekar jika subuh tiba.

Tidak banyak orang yang tahu, begitu berartinya subuh bagiku. Aku selalu menjemputnya di depan pintu rumahku dengan membaca seluruh pujian kepada semesta. Aku akan menyambutnya dengan segenap jiwa yang dipenuhi rindu. Tak ada yang lebih berarti bagiku, selain bertemu dengan subuh, bertawajuh dengannya hingga rinduku tandas dan tiada. Namun seperti oase, kerinduan itu tak pernah surut, semakin menggelegak, meruah dan tumpah.

“Siapa namamu?” aku berbisik padanya saat kabut merampas hasrat hingga menjadikan kematian dunia.
“Aku Azalea, bunga yang kau tanam di dalam surga” jawabnya lirih.
“Surga yang mana?” aku kembali bertanya padanya.
“Surga yang memberimu rumah di dalam cahaya” katanya lembut sambil merekahkan dirinya dan harum bunga merebak ke semua arah. Aku menggigil. Ini adalah kali pertama pertemuanku dengan Azalea, aku hanya mendengar suaranya setiap pagi, mengucap salam di pintu rumahku, tapi tak pernah kulihat sosoknya. Hingga subuh ini, ketika peraduanku luruh di dalam doa-doa yang melesat dan berlompatan ke segala arah menuju  rumah yang selalu dituju, mengarah pada tepi yang memberi limpahan berkat untuk tinggal dan menyemayamkan tubuh dunia, yang rapuh dan harus berhenti jika ajal menjemput nanti.

Azalea, membuatku tak menginginkan apapun lagi. Bunga subuh yang terus mekar di dalam cahaya. Temaram ataupun benderang. Berkarib dengannya, aku merasakan kematian hasrat yang mendesak-desak dada agar ia keluar dan menjauh dari tubuhku. Ada sebagian dari badan yang mencabik-cabiknya hingga menariknya keluar. Hasrat adalah debur laut yang kukuh memukul-mukul dada hingga berulangkali menancapkan nyeri. Maka aku merayakan kematiannya saat Azalea  bersikukuh menjadi penghuni bagi rumah yang kubangun dengan doa-doa dan nyeri. Bersamanya aku menyenandungkan segala kebaikan bagi yang merindui dan mencintai kami.

Begitulah, hari-hariku tumbuh dan hidup bersama Azalea, bunga subuh yang memberiku kehormatan untuk bersahabat dengannya. Pernah dia bertanya padaku apakah aku menginginkan dia menjadi milikku saja. Aku tertegun menatap matanya. Aku menemukan diriku di sana di dalam matanya. Hanya diriku. Hanya diriku. Ia menjadi cermin yang memantulkan apa yang ada di dalam tubuhku. Aku melihat hatiku, jantungku, pikiran-pikiranku juga mimpi-mimpi yang bertumpuk seumur hidupku. Aku mencoba membacanya satu-persatu. Aku mengambil pisau, menelanjangi diriku sendiri, membelah dadaku. Di sebelah kanan, aku melihat dosa, kesalahan, pikiran buruk dan keinginan-keinginan kurang ajar. Aku mengambilnya satu persatu dan melemparkannya jauh dariku. Nyaris tak perduli kemana mereka berhenti, aku terus saja mencabut akar-akarnya hingga  urat-uratku terputus dan aku tak ingin menyambungnya.

Sementara di sisi yang berbeda, mimpi-mimpiku berdesakan ingin mendapat perhatian. Seperti gonggong anjing yang bersahutan menyalak, saat tuannya datang. Berebut ingin mendapat elusan, tetapi aku tak menyapanya. Aku tak pernah menjadi tuan bagi mimpi-mimpiku. Aku tetap mengambil dan melemparnya jauh dariku. Di mana ia berhenti, di mana ia akan tumbuh, aku tidak mau tahu.

Tetapi setelah semuanya pergi, tak ada yang menghuni tubuhku. Memang aku tidak merasakan kesakitan, kesepian bahkan kesendirian yang ditakutkan oleh banyak orang. Aku meneguhkan janji dan hatiku untuk selalu bersama Azalea yang memberiku ketabahan untuk mensetiai kebaikan yang diberikan subuh bagiku. Azalea menunjukkan padaku siapa yang selama ini menjadi penghuni tubuhku. Jantung yang seumur hidup akan berdenyut, hati yang senantiasa menjadi samudera untuk ketiadaan dan keberadaan, hanya berisi mimpi-mimpi duniawi. Maka ia membantuku merobohkan hingga membuangnya jauh dariku. Setelah kejadian itu, Azalea bertanya kepadaku,
“ Apa yang kamu rasakan?”
“ Kematian”
“ Kematian dari apa?”
“ Kematian dari mimpi dan keinginan.”
“ Pernahkah engkau menyentuhnya selama ini?”
“ Tidak”
“ Lalu mengapa engkau biarkan dia hidup di dalam tubuhmu?”
            Azalea, bunga subuh seperti lagu yang mendayu. Ia datang bersama angin. Menyentuh kulitku. Menggigilkan hatiku. Haru biru seakan air hujan yang datang sejenak lalu meninggalkan tanah yang basah. Ia  memberitahuku bahwa  hasrat dan mimpi adalah sungai dengan deras air  yang menyeretku menjauh dari rumah yang akan kami huni bersama.
            “Engkau melihat bulan, subuh ini”  tanyanya saat kami duduk bersama merayakan kegembiraan dengan tasbih dan doa-doa yang berkumandang dari kekhusukan semesta.
            “Aku tidak melihatnya” aku menjawabnya lirih sambil menunduk. Aku tidak menggerakkan kepalaku untuk menoleh, atau mencari-cari bulan di langit. Aku  menunduk. Aku hanya melihat tanganku dengan jari-jari yang bergerak terus menerus, melepas dan meraup biji teratai yang menjadi penanda cinta di tangan kananku. 
            “Angkat kepalamu” perintahnya.
            “Tidak. Aku sedang bertasbih” jawabku lirih.
            “Bagaimana kau bisa melihat bulan, jika tidak mau mengangkat kepala melihat langit?” tanyanya lagi.
           
“Aku menunduk untuk melihat langit, aku menunduk untuk melihat rembulan. Aku tak akan menggerakkan kepalaku atau berdiri meninggalkan tempatku berdiam untuk mencari-carinya. Bulan akan tetap ada di tempatnya, aku akan tetap ada di tempatku, ia akan datang di depanku jika aku memang ditakdirkan untuk melihatnya.” Suaraku menggigil sampai subuh pergi, sampai jerit  pagi memecah kesunyian yang semakin tenggelam. Aku masih berdegub di dalam rumah tempat kami berdiam.
           
Azalea mendekatiku. Ia menyentuh daguku dan mencoba mengangkatnya berulang, tapi aku tetap menunduk. Lidahku terlipat aku hanya mendengar deguban jantungku yang lirih memanggil-manggil pemilik jiwaku. Aku menggigil. Tubuhku menggigil. Mataku terpejam tetapi ada yang memaksaku untuk membuka mata, aku tak kuasa melawannya. Hingga kulihat Azalea berubah. Ia berputar dengan cepat, membentuk lingkaran yang terus menerus berputar. Aku terpaku, nyaris tak percaya, tapi gerakannya semakin cepat, cepat, cepat, lalu melambat, seiring menyibaknya langit, ia menjadi terang, benderang lalu ia melesat, mengarah ke dadaku. Deg! Aku tersentak. Ada yang menancap di dadaku tanpa rasa nyeri. Aku mendekapnya erat, sambil berurai airmata.
           
“Azalea...” aku berbisik memanggil namanya. Aku rubuh dan terjatuh. Di depanku hanya terlihat langit. Biru, bening dan  putih.

Imogiri 2013
*Penulis pemilik akun @eviidawati 



Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta