Berita Terbaru:
Home » » Lenyapnya Peluru Retorika kala Ricuh Dalam Aksi

Lenyapnya Peluru Retorika kala Ricuh Dalam Aksi

Written By angkringanwarta.com on Sunday, January 15, 2012 | 17:30

Oleh Dede

Terdapat beberapa peristiwa yang membuat kita bertanya-tanya pada nurani, peristiwa membuat kita merasakan miris melihatnya, coba mari kita melihat pihak yang disebut sebagai pengaman, pihak yang disebut sebagai pengayom masyarakat kala terjadi Mesuji, kasus Bima, atau pada kasus-kasus yang lainya.

Bagaimana kasus terjadi, saya rasa beberapa media sudah mengulasnya. Para pakar politik berbicaranya, para intelektual menyikapinya dengan kedamaian. Tapi, satu hal yang membuat saya bertanya-tanya bertanya bagaimana kekerasan begitu mudah terjadi, bahkan sudah menjadi hal yang biasa.

Kekerasan antara pihak keamanan dan masyarakat merambat pada dalam sebuah universitas. Dalam sebuah Universitas yang merupakan kumpulan para yang mengagap dirinya sebagai intelektual, namun apa yang terjadi saat ba’da sholat Jum’at di Universita Islam Negeri Jakarta (UIN Jakarta)?

Kala itu, ratusan mahasiswa berkumpul untuk menuntut dicabutnya SK, tuntutan mahasiswa yang dikawal oleh pihak keamanan kampus. Dan pada acara aksi terdapat kericuhan terjadi antara satpam dan mahasiswa.

Kericuhan yang terjadi membuat beberapa mahasiswa mengalami luka dan harus mengalami perawatan yang cukup serius hingga terdapat salah satu yang harus mendapatkan rawat inap. Atas kasus tersebut adakah yang patut kita persalahkan, apakah kita mempermasalahkan aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa, atau kita menyalahkan satpam yang dibantu dengan pegawai, atau kita akan menyalahkan pihak Universitas sendiri.

Terlalu sukar untuk mencari kambing hitam untuk semuanya, tapi setidaknya mempertanyakan kenapa harus memunculkan konflik itu sendiri, pada tahapan ini, F. Budi Hardiman mengulas dengan cukup bagus bagaimana konflik itu terjadi, bagaimana manusia merupakan zona politik.

Lalu seandainya, Jika melihat dari teori partisipasi politik, tentunya kita akan mengetahui bagaimana bentuk-bentuk dari partisipasi politik, salah satunya dengan demostrasi untuk menyalurkan aspirasinya. Sebuah aspirasi yang dibalut dalam bentuk aksi yang bertujuan untuk mendapatkan kesapakatan dalam antara kedua belah pihak antara mahasiswa dan Rektor, mengenai hal tersebut saya merasa benar-benar yakin, bahwa Universitas lebih memahami akan hal tersebut.

Mereka lebih memahami bagaimana retorika agar terhindarnya konflik, mereka lebih menguasai teori komunikasi, dengan segudang pengetahuan-pengetauan lainya. Lantas kemanahkah retorika dengan seganap analisis yang dikuasaii, saat seganap kemampuannya yang dimiliki saat terjadia konflik dan kenapa harus terdapat konflik, jika pada tingkatan dialog bisa diselesaikan. Apalagi setiap individu-individu yang ada tentunya tak mau untuk mendapatkan lebel sebagai cara-cara preman. Lantas atau memang sudah diperlukan bentuk kekerasan dalam penyelesaikan masalah?

Penyelesaian masalah dengang cara keributan hanya merupakan makanan preman, mereka para intelektual yang pernah terlibat dalam forum-forum diskusi untuk mengkaji dengan segala macam penelitiannya tentang konflik yang terjadi atau memaparkan kembali perihal artikel yang pernah dibaca dalam bentuk seminar-seminar.

Tapi, saat suasan massa berkumpul membentuk kesatuan, saat itu juga seperitinya ada yang terlewatkan, yakni bagaimana ia mampu mendapatkan implikasi dari ribuan-ribuan buku yang tertampung di perpustakaan, atau hasil penelitiannya sehingga bisa diterapkan dalam realitas. Sebab kita tak sekadar berbicara untuk mengulang teori kembali terhadap kasus-kasus di luar kampus dengan kemampuan retorika yang begitu unggul, tapi bagaimana retorika tersebut lenyap begitu saja, saat mahasiswa adu fisik dengan keamanan. Para ahli retorika tak sanggup membuat bisa diterpakan dalam kehidupan sehari-hari.

Kehidupan yang demokratis, kehidupan tentang nilai-nilai, kehidupan yang akan berdampak pada sekitanya, nanum amat disayangkan, apabila semua hanya menjadi sekadar menjadi sandang pembalut. Sebuah sandang yang hanya berfungsi dalam imej, bukan untuk prilaku. Apalagi UIN Jakarta dengan para pendekar kemanusiaanya tentunya akan menciptakan orang-orang yang penuh kebijaksanaan, orang yang bukan menciptakan Tuhan-Tuhan baru dalam membentuk pola kebenaran.



Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta