Berita Terbaru:
Home » » AC Milan 1-1 Juventus: Blunder Conte dan Sayap Juve

AC Milan 1-1 Juventus: Blunder Conte dan Sayap Juve

Written By angkringanwarta.com on Monday, February 27, 2012 | 11:23

Oleh Ahmad Makki*

Di bawah asuhan Massimo Allegri, lini tengah AC Milan bertransformasi drastis. Dari tempat berkumpulnya para playmaker, menjadi daerah kekuasaan para petarung yang mengandalkan fisik. Imbasnya, Milan minim kreativitas. Dalam konteks itulah Prince Boateng merupakan pemain kunci dalam sistem Allegri. Ia seorang trequartista dengan kualitas fisik yang tak dimiliki pemain sejenisnya.

Sementara Ibrahimovic adalah monster di lini depan Milan. Aerial power yang tinggi membuatnya harus dikawal oleh lebih dari seorang bek. Ia menjadi pemantul yang bagus ketika teman-temannya membuka ruang. Kehilangan Boateng dan Ibra dalam laga melawan Juve tentu bukan hal yang diimpikan Massimo Allegri

3 bek Juve dan pressing ketat gelandang Milan
Keputusan Conte memainkan formasi 3-5-2 kemungkinan berangkat dari fakta absennya Boateng dan Ibrahimovic. Ada beberapa alasan yang membuat pilihan ini rasional buat Juve.

Pertama, jumlah pemain belakang yang diperlukan adalah jumlah striker lawan plus 1. Formasi 3 bek Juve adalah pilihan ideal menghadapi 2 striker. Absennya Ibra menghilangkan ancaman aerial power bagi bek Juve.

Kedua, formasi 3-5-2 dengan lentur bisa bertransformasi menjadi 5-3-2 saat tim kehilangan bola. Dalam hal ini kedua sayap Juve menambah jumlah pemain bertahan dengan mundur menjadi bek sayap.

Ketiga, pola 4-3-2-1 yang dimainkan Milan secara natural riskan terhadap serangan sayap. Karena hanya dua bek terluar yang menjaga. Jika sisi lapangan mereka diekspliotasi, para gelandang terpaksa melebar untuk melindungi. Ini membuat keunggulan jumlah gelandang Milan atas Juve, 4 vs 3, menjadi cair. Kondisi ini memudahkan Pirlo mencari ruang.

Faktanya Allegri meminimalisasi keuntungan Juve lewat pendekatan berani. Meski di atas kertas Milan bermain dengan dua striker, namun di lapangan hanya Pato yang bergerak statis. Robinho konsisten bergerak melebar ke kedua sisi lapangan. Dalam kondisi Milan menguasai bola, tiga bek Juve malah menghadapi jumlah yang sama, karena pergerakan Emanuelson ke sisi kiri.

Situasi ini bisa diantisipasi Juve jika kedua sayapnya bertransformasi dengan baik saat menyerang dan bertahan. Sayangnya Lichsteiner dan Estigarribia gagal mempraktikkan kelenturan ini. Mereka selalu berada di posisi terlalu tinggi saat lawan menguasai bola. Milan malah berkali-kali menerobos sisi kanan Juve lewat manuver Antonini.

Opsi lain bagi Juve adalah menginstruksikan satu gelandang untuk menjaga Emanuelson. Namun Allegri menginstruksikan Muntari dan Nocerino mem-pressing sampai ke depan kotak penalti lawan, memaksa Vidal dan Marchisio mundur untuk membantu. Gol Milan jelas menggambarkan hal ini. Prosesnya memang berawal dari kesalahan Bonucci mengoper kepada Robinho. Tapi posisi Nocerino dan Muntari yang konsisten menekan ke depan memudahkan mereka menempatkan diri membuka ruang tembak, tanpa blocking dari gelandang Juve.

Bagaimana dengan Pirlo? Tak seorang pun ragu ia masih salah satu yang terbaik dalam mengolah serangan dan mengirim umpan. Namun secara natural Pirlo tak punya fisik da kemampuan untuk bertahan dengan baik. Ia jarang sukses dalam upaya merebut bola atau menjaga pemain lawan. Saat tim ditekan dan kehilangan bola, Pirlo tak banyak membantu. Karenanya, alih-alih menekan Pirlo, Emanuelson malah leluasa bermanuver ke ruang yang ditinggalkan Lichsteiner.

Nocerino dan Muntari dengan cerdik memusatkan perhatian pada Vidal dan Marchisio. Sementara Bommel menjaga kedalaman. Emanuelso hanya sesekali menjaga Pirlo kala ia menguasai bola. Toh sehebat apa pun Pirlo mendistribusi bola, ia tak akan mampu berkreasi ketika rekan-rekannya berada dalam jangkauan penjagaan lawan.

Faktor lain yang membantu Milan adalah tipikal dua penyerang yang dipasang Juve, Quagliarella dan Borriello. Keduanya merupakan tipikal striker murni yang tak terbiasa mencari bola ke lapangan tengah. Ini membuat Bommel tak punya rival di tengah. Meski tak sehebat Pirlo, ia punya waktu dan ruang yang cukup untuk mengatur alur permainan. Posisi rekan-rekannya yang konsisten di daerah pertahanan Juve membuat operan-operannya lebih berarti ketimbang Pirlo.

Di babak pertama strategi Allegri terbukti lebih tepat. Meski Juve unggul tipis dalam penguasaan bola, Milan lebih cakap dalam mendeterminasi pertandingan.

Pergantian pemain

Kedua tim mengawali babak dengan pergantian pemain. Juve mengganti Estigarribia dengan Pepe, sementara Milan menarik Pato yang sulit berkembang dengan El Shaarawy. Keduanya memberikan pengaruh positif di babak kedua.

Masuknya Pepe mengubah formasi Juve menjadi 4-4-2. Conte berusaha menghindari pressing para gelandang Milan dengan bermain kian melebar. Chiellini yang pindah menjadi fullback kiri mendukung Pepe dengan manuvernya ke daerah pertahanan lawan. Perubahan ini memaksa lini tengah Milan bermain lebih dalam untuk melindungi lini belakangnya.

Di sisi lain El Shaarawy menunjukkan diri sebagai pesaing serius buat Pato. Meski tanpa dukungan maksimal lini tengah yang kian mundur, umpan-umpan dan pergerakan tanpa bola Shaarawy membuat lini belakang Juve tak bisa berkonsentrasi total membantu serangan. Sayang semakin lama ia kian jarang mendapat pasokan.

Persoalan Milan di babak kedua adalah minimnya alternatif pemain untuk mengatasi tekanan sayap Juve secara permanen. Conte secara cerdik memilih menguatkan sisi kiri sayap Juve. Meski Milan punya Emanuelson yang mampu bermain melebar, tapi sisi naturalnya berlawanan dengan posisi Pepe dan Chiellini.

Perubahan penting lainnya dilakukan Conte dengan memasukkan Vucinic dan Matri. Keduanya memberi efek pada laga ketika Conte melakukan lagi perubahan formasi menjadi 4-3-3. Matri dan Pepe bergantian sisi di lebar lapangan.

Perubahan pamungkas Conte ini merupakan respon atas masuknya Ambrosini menggantikan Emanuelson, satu-satunya gelandang Milan yang mampu main melebar. Bukan kebetulan jika gol Juve yang dicetak Matri berawal dari umpan Pepe di sisi kanan, sisi yang sebelumnya dijaga Emanuelson.

Kesimpulan

Mustahil membahas hasil akhir pertandingan ini tanpa menyebut insiden tak disahkannya gol kedua tim. Namun analisis ini berkonsentrasi pada taktik yang dimainkan kedua tim. Peristiwa nonteknis mungkin berpengaruh pada hasil akhir, tapi tak relevan dengan bahasan ini.

Di sisi Juventus, kesalahan Conte meracik strategi di awal laga adalah hal wajar yang bisa terjadi pada pelatih paling hebat sekalipun. Pertanyaannya, kenapa ia menunggu sampai babak kedua untuk mengubah formasi jadi 4-4-2 dengan menarik Lichsteiner menjadi fullback? Pilihan bermain dengan dua striker yang statis membuat Juve kalah jumlah di lini tengah.

Sementara di sisi Milan, meski berhasil mencukur Arsenal empat gol tanpa balas, kelemahan Milan menghadapi serangan sayap belum sepenuh bisa diatasi. Menambah gelandang yang sanggup bermain melebar seperti Emanuelson mungkin akan lebih berguna menghadapi lawan seperti Juve.

*Penulis adalah penulis khusus Kolom Bola

Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta