Berita Terbaru:
Home » , » Belajar dari Situ Gintung

Belajar dari Situ Gintung

Written By angkringanwarta.com on Friday, February 17, 2012 | 01:40

Sore itu, pukul 15.30 WIB, orang-orang mulai berdatangan. Antara mereka ada yang sekadar meluapkan hobi memancing, bermain biola, habiskan waktu dengan bencanda bersama teman-teman, memandu kasih. Para pengunjung juga tak usah repot untuk urusan air dan makanan, sebab sudah ada para penjual makanan.

Kurang lebih begitu suasana Situ Gintung (16/2). Gintung sekarang tentu berbeda dengan beberapa tahun silam, saat Situ Gintung jebol, sebuah tragedi yang meluluhlantahkan bangunan hingga melenyapkan nyawa. Tepatnya peristiwa itu terjadi, 27 Maret 2009 Jum’at dini hari.

Gintung waktu itu, menimbulkan rasa mencekam, horor, menakutkan. Namun seperti dalam dunia sulap, pesulap dengan kemampuannya menyulap merubah Gintung menjadi ramai kembali layaknya sebelum tragedi terjadi, bahkan mungkin lebih ramai.

Situ Gintung yang terletak di perbatasan antara Tangerang Selatan (Tangsel) dengan Daerah Khusus Ibukota (DKI). Yang tepatnya berada di kawasan Desa Cireundeu, Kecamatan Ciputat Timur. Hanya dengan mengucurkan anggaran yang dipajang di papan info tercatat sebuah anggaran mencapai Rp 91.773.756.000 yang bekerjasama dengan PT. Nindya Karya (Persero), PT. Bumi Karsa KSO, anggaran yang diambil dari pajak.

Sebuah harga yang mungkin cukup realistis untuk menjadikan Situ Gintung saat ini, sebuah bendungan yang nampak lebih kokoh dengan batu-batuan dan mesin pembuka air, tembok-tembok-tembok yang membentang sebagai pembatas antara air dan dara dengan warna putih dengan desertai coretan-coretan tangan jahil, sisa-sisa puing bangunan diterpa aliran air berubah menjadi lapangan, dan di tengahnya terdapat lempengan-lempengan berwarna perak layaknya tugu.

Namun dari suasana tersebut, sepertinya tak menunjukkan sebuah tanda, bahwa pernah terjadi tragedi peristiwa yang menewaskan hingga mencapai 100 orang. Entah karena dengan alasan bahwa hidup terus berlalu, maka lupakan sejarah. Sebab kita hidup ke depan, atau sebenarnya sudah terdapat tanda, cuma tak terlihat saja.

Tapi, setidaknya Soekarno pernah mengungkapkan, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya."

Begitu pula seorang budayawan pernah berujar, "Setiap kejadian baik kecil maupun besar perlu dibangun sesuatu yang menunjukkan peristiwa tersebut. Hal itu, tak lain bertujuan bukan hanya sebagai pengingat, tapi membuat kita menyadari bagaimana kita harus bersikap terhadap alam?" Sebuah ungkapan yang begitu saja terlintas dalam benak saat menyaksikan tembok-tembok penuh dengan coretan-coretan.

Dan kala meninggalkan tempat itu, terasa kesukaran untuk membuang gelas plastik sisa kopi hitam yang kami nikmati.

Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta