Berita Terbaru:
Home » » Kolam Ingatan

Kolam Ingatan

Written By angkringanwarta.com on Sunday, February 12, 2012 | 20:47

Oleh Rahma Distyani*

Arung menatap lekat-lekat kolam itu. Seperti menatap sesuatu yang terindah yang pernah ia lihat. Permukaan kolam dihiasi riak-riak halus. Ikan-ikan berenang di bawahnya. Ikan-ikan yang bercahaya. Arung merasakan matanya menjadi hangat dan basah, terpapar cahaya lembut keperakan dari tubuh ikan-ikan itu. Ia memejamkan mata. Meresapi ketenangan yang merasuk ke dalam raganya. Membiarkan rasa damai itu menjalar lewat pembuluh darahnya, menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia hirup halimun yang mengepung di sekeliling. Dingin udara pagi, membuat paru-parunya lebih sejuk dan segar dari biasanya. Ia lihat lagi kolam itu. Airnya sudah berubah menjadi merah darah.

Ia ingat mimpinya tadi malam. Belakangan ia sering bermimpi. Melihat kolam. Kolam yang tak berisi ikan-ikan. Melainkan bangkai manusia. Lalu, ia melihat kolam itu seketika menjadi lebar dan semakin lebar. Melebar dan meluas menjadi sebuah danau. Bangkai manusia yang mengapung di permukaan pun bertambah banyak. Bangkai-bangkai manusia itu seakan muncul dari dasar kolam maupun jatuh dari langit. Kolam yang sudah berubah menjadi danau itu lalu melebar dan meluas lagi nyaris menyerupai sebuah laut. Dan, tentu saja, dengan lebih banyak lagi bangkai manusia yang mengapung di permukaannya.

Arung melihat pemandangan yang luar biasa mengerikan. Ia ingin segera bangun dari mimpinya itu. Tapi tidak bisa.

Langit merah saga. Awan bergulung-gulung serupa ombak darah yang berkejeran di laut penuh bangkai manusia itu. Arung menahan napas. Ia menengadahkan kepala. Langit memuntahkan bangkai-bangkai manusia begitu saja. Seperti hujan mayat! Tubuh-tubuh manusia yang sudah tak bernyawa itu jatuh dari ketinggian dan terhempas di permukaan laut. Membuat air laut terciprat ke wajah Arung. Bau amis. Tubuhnya lemas. Ia sendirian di situ. Bersama sebuah kolam kecil yang meluas menjadi sebuah laut berisi bangkai manusia. Dinaungi langit merah darah dan awan yang bergerak cepat seakan hendak memangsa.

Arung memanggil-manggil ibunya. Tapi tak ada siapapun yang menyahut. Yang ada lautan manusia itu bertambah luas dan semakin luas. Sampai memakan habis seluruh daratan. Arung tak menyadari, tempat ia berpijak sudah menjadi permukaan air. Di sebelahnya sepotong tangan dan kepala manusia mengapung, terombang-ambing.

Ibuuuuuuu!!!


Sekali lagi. Tak ada suara ibunya menyahut. Malah suara keramaian yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Suara itu semakin lama semakin jelas dan mendekat. Begitu riuh dan gaduh. Seketika orang-orang, ratusan, ribuan orang muncul. Bukan mayat, melainkan orang hidup.

Orang-orang itu seakan terpisah menjadi dua bagian. Sebagian memakai baju zirah, membawa tameng dan pedang, serta kendaraan tempur berukuran raksasa yang menembakkan gas. Sebagian orang yang lain memakai pakaian seperti Arung. Mengenakan ikat kepala berwarna merah. Membawa bilah-bilah bambu dan kayu. Beberapa menenteng parang, arit, dan pisau pemotong daging. Arung melihat di antara mereka ada juga anak-anak seumur dirinya, berteriak-teriak sambil mengacungkan potongan pipa besi. Mereka berlarian di atas permukaan laut. Bertemu satu sama lain lantas saling menyerang dan membunuh.

Arung sebentar tak yakin dengan apa yang dilihatnya. Tapi ia percaya ibunya ada dalam kerumunan itu. Mengenakan daster motif bunga-bunga yang biasa dipakainya di rumah, sambil menggenggam sebilah pisau dapur. Seseorang dari kumpulan pasukan berbaju zirah bergerak mendekatinya dan mengayunkan pedang, mengenai perutnya. Ibunya tak menangis apalagi menjerit, ia malah semakin berang dan menerkam orang berbaju zirah itu dengan pisau dapurnya. Diincarnya celah penutup kepala yang terbuat dari perak itu, hingga pisaunya berhasil menembus mata orang itu. Lalu ibunya bergerak ke arah pasukan berbaju zirah yang lain.

Arung ingin berteriak memanggil ibunya. Tapi suaranya tak mau keluar.

“Bajingan! Jangan gusur kami!!”
***


Halimun tebal. Dingin. Seakan mencair dan menetes-netes di permukaan kulit Arung. Hening. Sepi. Hanya ada dirinya sendiri. Tak ada orang lain. Tak ada ibunya. Tak ada keriuhan. Tak ada suara..

Yang ada hanya sebuah kolam kecil dan ikan-ikan berenang dengan damai di dalamya.

“Ikan, kenapa ya orang-orang itu mau menggusur tempat tinggal kami?”

“Kami kan sudah bertahun-tahun hidup di sana.”
“Teman-temanku sampai berpuluh-puluh tahun.”
“Lagipula kami tak membuat masalah.”
“Apalagi mengotori kota.”
“Kau tahu, orang-orang itulah yang justru senang membuat kekacauan.”
“Mengajak berdamai tapi membawa-bawa pentungan.”
“Dan senjata lainnya.”
“Ada banyak di dalam kendaraan mereka itu.”
“Ikan, kau tak bakal menyangka kan di dalam sana teman-temanku menemukan botol-botol minuman keras?”
“Makanya teman-temanku tak suka dan membakarnya.”
“Menurutmu, mereka salah?”
“Hei, kau jangan diam. Seperti pemimpin orang-orang itu saja.”
“Kau menyalahkan teman-temanku ya?”
“Ibuku juga?”
“Kau ini menyebalkan sekali. Diajak bicara bisanya diam saja.”
“Ibuku sama sekali tak bersalah, kau tahu. Ibuku hanya ingin hidup tenang bersama suami dan anak-anaknya. Bersamaku. Sama seperti orang-orang yang lain.”
“Sama seperti kau juga!”

Suara angin berdenging di telinga. Dari ruang dan waktu yang berbeda, ia melihat ibunya terbaring tertelungkup. Sebilah pedang tertancap lurus di punggungnya. Tak ada yang membawa ibunya pergi dari kerumunan orang-orang itu. Mereka terlalu sibuk saling serang dan bunuh.

Terdengar letusan yang keras. Bau gas. Sangit dan menyengat. Arung menutup hidungnya. Matanya berair.

“Manusia tak bermoral! PEMBUNUH!”
“Pergi kalian ke neraka jahanam!”
“Bangsaatt!!”

Arung tak bisa lagi membedakan wajah orang-orang berikat kepala dengan hamparan laut yang mereka pijak. Yang ia pijak. Sama-sama merah. Sama-sama mengerikan. Mata mereka sama seperti gumpalan awan, seakan ingin menerkam apa yang ada di hadapan. Arung sendiri melihat gumpalan awan itu seolah menganga hendak memakannya.

Dari langit, api berjatuhan. Seperti hujan yang biasa. Tapi bukan air, melainkan api. Hujan api. Setelah melihat hujan mayat, Arung sekarang menyaksikan hujan api. Api seperti ditumpahkan begitu saja ke bumi. Bumi yang sudah berubah menjadi hamparan laut yang luasnya tak terkira lagi.

Laut. Lautan darah. Lautan api!
Ibuuuuuuu!!!!
***


Seisi kelas bertepuk tangan. Wajah mereka berseri-seri dan terlihat puas mendengarkan cerita Arung. Sebagian murid perempuan menangis karena ketakutan. Ibu guru meletakkan tangannya di pundak Arung.
“Cerita yang bagus, Arung. Tapi kenapa kamu bisa bermimpi seperti itu? Tidak pernah ada penggusuran di kota kita. Kota kita ini penuh dengan kedamaian. Seperti kolam ikan yang ada di belakang halaman sekolah. Begitu tenang airnya, dan ikan-ikan hidup dengan damai di dalamnya.” ujar ibu guru sambil bergaya seolah sedang membaca puisi. “Jadi, bagaimana kamu bisa bermimpi seperti itu, Arung?”

“Nggak tahu, Bu. Namanya juga mimpi.” Ibu guru tersenyum. “Ah.. ya, tentu saja.”

Perlahan, bayangan teman-temannya menjadi lamur di matanya. Suara ibu guru menjadi berat dan lambat. Sayup-sayup suara letusan senjata dan teriakan orang-orang.

Tubuh-tubuh bergelimpangan di jalan. Ada yang sudah tak berdaya tapi tetap dipukuli saja. Darah merembes dari kepala yang bocor, mengucur dari dada yang tertembus peluru, mengalir dari paha yang tersabet arit. Darah dimana-mana. Orang dimana-dimana. Api dimana-mana.

Ia seketika teringat akan mimpinya yang belakangan ini menghantui pikirannya. Arung menatap lekat-lekat sebuah kolam kecil di sebelahnya. Seperti menatap sesuatu yang terindah yang pernah ia lihat. Ia merunduk dan duduk. Permukaan kolam dihiasi riak-riak halus. Ikan-ikan berenang di bawahnya. Ikan-ikan yang bercahaya. Arung merasakan matanya menjadi hangat dan basah, terpapar cahaya lembut keperakan dari tubuh ikan-ikan itu. Ia memejamkan mata. Meresapi ketenangan yang merasuk ke dalam raganya. Membiarkan rasa damai itu menjalar lewat pembuluh darahnya, menyebar ke seluruh tubuhnya.

Halimun tebal dan udara begitu dingin. Ia ingin sekali bermimpi, kerusuhan dan peristiwa penggusuran itu hanya menjadi sebuah cerita karangan yang ia kumpulkan sebagai tugas sekolahnya.

*Penulis pernah aktif dilembaga presma dan sekarang selain bergelut dengan rutinitas seperti manusia pada umunya, masih menyempatkan diri menulis cerpen

Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta