Berita Terbaru:
Home » » Melihat Hoegeng, Melihat Diri

Melihat Hoegeng, Melihat Diri

Written By angkringanwarta.com on Saturday, February 18, 2012 | 13:03

Oleh Dede Supriyatna

Sebuah patung polisi berdiri tegak di depan gedung di samping jalan raya Pasar Jum'at. Patung itu, memakai peci khasnya, memegang tongkat persis sama dengan yang polisinya yang kita jumpai di jalan raya atau di TV.

Dan untuk jelasnya bagaimana patung polisi itu, baik dari bentuk, posisi, dan segala hal yang menyangkutnya tinggal dilihat saja, apalagi secara kebetulan melintas di pasar Jum'at tengokkan pada arah samping kiri, maka akan dijumpai sebuah patung. Memang patung itu, bukan hanya satu-satunya patung polisi.

Kala melihatnya, saya teringat pada sebuah obrolan siang hari di Pujasera, Sanggrahan, tetapnya samping UIN Jakarta. Sebuah obrolan yang terjadi kira-kira satu bulan yang lalu. Seusai membasahi ujung lidah dengan cairan kopi hitam, ia mengukapkan tentang candaan Gus Dur. Dalam candaanya, matan Persiden mengukupkan, ada tiga polisi yang baik, pertama patung polisi, polisi tidur, dan yang terakhir Hoegeng.

Siapa Hoegeng?Ternyata Hoegeng disebut-sebut juga dalam satu buku karya Asvi Warman Adam, berjudul Menguak Misteri Sejarah, terbitan Kompas. Pada halaman 14, Ahli penelitian Utama pada Pusat Penelitaan Politik LIPI menuliskan tentang candaan Abdurrachman Wahid perihal polisi.

Dipaparkan pada pembukaan kolom tentang Hoegeng dengan sebuah tulisan "Negeri ini ada dua polisi yang tidak bisa disuap yakni pertama "polisi tidur" dan kedua, Hoegeng. Hoegeng ternyata merupakan seorang Jenderal yang lahir di Pekalongan, 14 Okteber 1921, nama aslinya adalah Imam Santoso.

Nama Hoegeng bermula dari sebutan waktu kecil yang dipanggil bugel (gemuk), berlanjut mengjang bugeng dan akhirnya hugeng. Nama hugeng mungkin karena perebuhan fisiknya yang menjadi kurus saat dewasa hingga menembuskan nafas terkahirnya pada 14 Juli 2004.

Pada buku setebal 292 terdapat lima halaman yang khusus membicarakan tentang perjalanan Polisi Hoegeng. Sedangkan pada halaman-halaman lainya terdapat kisah-kisah lainya yang bisa dijadikan sebuah panutan.

Tapi, pada catatan ini bukan sekadar ingin berbicara tentang siapa Hoegeng, begitupula dengan perjalanan tokoh-tokoh lainya yang terdapat pada buku tersebut. Melainkan lebih menyimak dan merenung, sebagaimana yang diungkapkan pada catatan Hoegeng, Asvi menutup tulisannya, "Hoegeng Iman Santoso telah pergi. Makin habislah orang-orang jujur di negeri ini."

Kalimat yang mengukapkan "Telah habis orang-orang jujur di negeri ini." Apa yang diungkapkan Asvi, begitupula candaan Gus Dur perihal polisi yang tak bisa disuap, yakni patung polisi, polisi tidur, Hoengeng. Dari keduanya adalah benda mati, dan hanya Hoegen yang merupakah hidup. Apabila disimpulkan dari sekian banyaknya polisi hanya satu polisi yang jujur, dan kala polisi itu telah meninggal, lalu masihkah ada yang jujur?

Tentunya jawabannya bukan sekadar ada atau tidak ada, melainkan sebuah sikap atau tindakan itu sendiri. Sebagaiamana Hoegeng yang tak pernah berbicara, bahwa dia adalah jujur, melainkan sebuah tindakan. Dan atas sikap-sikap tersebut, menjadikan pribadi dinilai jujur.

Apabila melihat polisi bagaimana penilain terhadap polisi? Tak usah dinilai, sebab tiap-tiap orang punya penilaian sendiri. Tapi, apa yang dilakukan pollisi tentunya tak bisa dilepaskan dari sipil. Sebab keberadaan polisi tak lain bertujuan menegakkan hukum, membantu masyarakat. Dua hubungan antara Penegak hukum dengan masyarakat. Apalagi hubungan polisi lalu lintas dengan para pengedara?

Jadi apabila melihat Polisi tak jujur atau banyak yang disuap, adakah masyarakat yang lepas dari acara suap-suapan? Dan saya sebagai warga sipil, sejujurnya saya bukan termasuk orang yang benar-benar jujur,bahkan jauh dari jujur, atau bisa dikatakan pembohong.

Terutama dalam berkendaraan, banyak hal yang dilakukan bertentangan dengan rambu-rambu lalu lintas, semisal menyerobot rambu lalu lintas yang seharusnya berhenti, pernah mencoba menyuap polisi karena sebuah kesalahan, merampas hak pejalan kaki, ugal-ugalan.

Memang apabila polisi tak mau disuap tentunya tak ada acara suap-menyuap, begitu juga dengan masyarakat. Maka tak bisa dikaatakan salah juga, apa yang diungkapkan Asvi, bahwa semakin hilang orang-orang jujur di negeri ini.

Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta