Berita Terbaru:
Home » » Pram Mampir di Sunda Kelapa

Pram Mampir di Sunda Kelapa

Written By angkringanwarta.com on Wednesday, February 15, 2012 | 14:51

Oleh Dede Supriyatna*

Saat itu, tepatnya entah kapan? Yang jelas seorang sahabat berbicara mengenai Pramoedya Ananta Toer atau biasa disapa Pram. Sepertinya, ia baru saja menghabiskan karya-karya Pram, maka tak heran, apabila ia akan berbicara tentang Pram secara terus-menerus. Sebagaimana yang sudah-sudah, bahwa apa yang pernah dibacanya akan menjadi bahan obrolannya.

Pada kasus itu, bukan hanya terjadi pada sosok Pram saja, sudah ada beberapa sosok yang akan selalu ia obrolkan secara terus-menerus. Beberapa sosok yang akan menjadi bahan referensi saat berbincang dengannya.

Sebelum Pram, terdaftar nama-nama sosok bahan obrolan, yakni tentang pendekar pena, sebuah julukan untuk Mahbub Djunaidi. Bahkan ia pernah menulis secara khusus untuk Mahbub. Untuk selanjutnya, ia pernah selalu berbicara tentang Ajib Rosidi, tentunya sebelum ia umpat karena merasa kecewa atas ungkapan sastrawan Sunda itu.

Saat itu, tak terdengar ucapannya tentang kedua tokoh, selain Pram. Perihal Pram masih saja terdengar dari mulutnya, bahkan hingga kami sampai di sebuah pelabuhan bernama Sunda Kelapa. Nama Pram pun ikut singgah di tepi pelabuhan Sunda Kelapa.

Bahkan sebelum singgah, tentang Pram terus saja diungkapkan sepanjang perjalanan. Memang tak hanya Pram yang diungkapkan, ia juga berbicara tentang mana saja letak-letak peristiwa tempo dulu, sambil mengarahkan jemarinya. Ia sudah layaknya peneliti saja. "kapan-kapan kita kesini lagi," ungkapnya.

Mungkin sudah hampir sebagian orang mengenal siapa Pram? Pram yang banyak berbicara melalui karya-karya tentang sejarah, Pram juga berkomentar tentang maritim, ia juga mengukapkan tentang Indonesia merupakan negara maritim, maka yang harus dikuatkan adalah perairan. Pernah suatu ketika saat Pram berada di atas perahu menyaksikan seseorang yang mabuk laut. Melihat yang demikian, Pram pun tertawa terbahak-bahak.

Berbicara mengenai Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau yang dikelilingi perairan, hal yang demikian juga pernah diungkapkan seorang pendiri Siklus, yakni nama untuk sebuah kajian. Atas dasar bacaannya, ia mengukapkan, bahwa Indonesia merupakan hamparan perairan yang ditaburi pulau-pulau, sambil menggerakkan kedua tangannya.

Ada satu lagi yang kiranya perlu dicatat pada catatan ini, yakni sebuah lagu, lagu yang sudah tak asing lagi bagi kita semua, terutama terutama bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan Taman Kanak-kanak (TK). Sebuah lagu dengan lirik,

"Nenek moyangku seorang pelaut...
Menembus badai, ia tak takut
Menerjang ombak, sudah biasa."

Salah satu lagu yang pernah saya nyanyikan dengan penuh semangat. Dan hingga kini, tergambar sebuah gambaran orang dulu kala mengarungi samudera. Dari dulu kita sudah dekat dengan laut, maka tak mengherankan Pram tertawa saat melihat seorang yang mabuk laut. Dan seandainya Pram masih hidup, ia akan kembali tertawa terpikal-pikal sambil memedam rasa yang sangat marah, kala melihat para nelayan tak melaut, karena takut badai. Selanjutnya Pram akan berkata, negara kita adalah maritim, maka kuatkan di laut.

Dan hal itu merupakan kesalahan Indonesia, Pram pernah berbicara tentang bagaimana seharusnya Indonesia untuk melihat apa yang terjadi pada hancurnya kerajaan Majapahit, maka sudah seharusnya Indonesia sebagai negara maritim dengan laut sebagai penghubung antar pulau, maka yang harus kuat adalah perairan, bukan darat.

Sebab darat adalah sebagai pemisah antar pulau, maka saat darat yang kuat, tak mengherankan munculnya gerakan-gerakan kemerdekaan, sebagaimana gerakan Aceh Merdeka, Papua Merdeka, dan lain-lainnya.

Serasa belum juga ingin menuntaskan ucapannya, sahabat saya masih saja mengulang apa yang pernah dikatakan Pram, coba tengok apa yang terjadi dengan kerajaan Majapahit saat menjelang runtuhnya kerajaan terbesar. Keruntuhannya, diakibatkan terjadinya desersi di kalangan AL Majapahit hingga daerah-daerah yang lain mulai melepaskan diri dari Majapahit. Tapi, sebelumnya kerajaan Majapahit begitu besar, Majapahit terus menyebarkan wilayah kekuasaan dengan armada yang begitu kuat dengan menggunakan kapal yang kokoh, konon kapal itu terbuat dari pohon yang besar dan begitu kuat.

Ia yang baru pertama kali berkunjung ke Sunda Kelapa begitu menikmati hembusan angin laut, sambil menatap para kuli pelabuhan memanggul dari truk ke kapal. Walaupun demikian, keluh kesahnya belum juga reda semenjak perjalanan dari "Kota Tua." Ia terus mengumpat, bahwa "Saya adalah orang yang menyesatkan."

Kami memang, sebelum sampai ke Sunda Kelapa, kami menyudahi naik Angkutan Umum (KOPAJA) dari Lebak-Bulus. Lalu memutuskan untuk berjalan kaki, apabila ia mengumpat wajar saja, sebab jalan yang ditempuh dari kawasan "Kota Tua" cukup lumayan jauh, diperkirakan sampai 1 jam apabila ditempuh dengan jalan kaki, (itu belum dengan acara kesasar).

Tepat di museum Bank Mandiri, samping stasiun Kota, kami turun dari KOPAJA P. 86. Museum itu, merupakan tempat tujuan akhir dari Angkutan Umum. Dan di sana telah berdiri bangunan-bangunan yang masuk dalam kawasan yang diberi nama "Kota Tua", kenapa kawasan tersebut disebut "Kota Tua"? Mungkin, karena kawasan itu, dipenuhi oleh bangungan-bangunan tua. Dan setidaknya itu, alasan-alasan yang pernah saya dengar dari tiap-tiap orang yang menjawab pertanyaan tentang "Kota Tua".

Memang tak salah juga, apabila melihat dari bangungan-bangunan yang ada di kawasan tersebut, dan sudah dipastikan bangungan-bangunan itu sudah berdiri dari puluhan tahun silam.
Untuk kawasan "Kota Tua" tak hanya terdiri dari bangunan-bangunan yang menua, di sana juga terdapat museum Wayang, museum Keramik, dan paling utama, yakni museum Fatahillah.

Ia begitu terpana kala melihat museum Wayang, seakan museum itu memiliki daya pikat yang begitu kuat terhadapnya. Karena begitu kuat daya pikatnya, membuatnya dia bertanya pada seorang yang berada di balik jendela museum, ia juga melihat secarik tulisan dengan warna merah menyala, tulisan itu berjalan lalu menghilang dan berganti dengan tulisan selanjutnya. Sebuah tulisan yang tertempel pada dinding tepat di atas pintu museum tersebut. Biar lebih enak tulisan itu mirip dengan tulisan yang terpajang di papan-papan reklame di pinggir jalan.

Ia salin ulang tulisan itu, pada buku catatannya, dan kini di dalam bukunya sudah terdapat tulisan sebuah jadwal pertunjukan Wayang. Ia melanjutkan langkahnya, lalu sejenak duduk di benda besar dengan bentuk seperti bola, tepat serong dari arah pandangannya sudah terdapat bangunan tua, dengan berkibar sebuah bendera berwarna merah di atas dan putih di bawah. Sebuah bangunan itu, tak lain sebuah museum bernama Fatahillah.

Kini obrolannya tentang nama Fatahillah dengan silsilah kerajaan, tentang penyerbuan Fatahillah di Sunda Kelapa. Tentang kerajaan, dan tentang lainnya yang masih bersangkut paut dengan Fatahillah.

*Catatan ini merupakan kenangan bersama Abdullah Alawai (Abah)


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta