Berita Terbaru:
Home » » Abramovich Memilih Masa Lalu

Abramovich Memilih Masa Lalu

Written By angkringanwarta.com on Monday, March 05, 2012 | 19:51

Oleh Ahmad Makki*

BRIAN CLOUGH barangkali pelatih terbaik yang pernah dilahirkan Inggris. Tapi September 1974 merupakan periode terburuk hidupnya. Satu hari di ruang rapat Brian Clough berdiri di antara jajaran direksi dan perwakilan pemain Leeds United. Ia mesti menjelaskan hasil buruk yang dialami klub. “Kalau tuan Clough mau keluar sebentar, mungkin kami bisa cerita apa yang terjadi,” kata Billy Bremner, sang kapten tim. Maka dari pintu yang tertutup sayup-sayup Clough mendengar Bremner berbicara hal-hal buruk tentang dirinya.

Dekade 1970-an adalah era kejayaan Leeds United. Di bawah asuhan Don Revie, mereka menjuarai Liga Inggris lewat permainan keras. Brian Clough, kala itu menangani Derby County, menyebut permainan semacam itu bukan hanya kasar, tapi ilegal. Maka ketika beberapa tahun sesudahnya Clough menggantikan Revie di Leeds, para pemain menyambutnya dingin. Ia mengajak pemain berpikir modern, bermain indah lewat operan-operan pendek. Tapi yang diterima malah tekel keras Bremner di sesi pertama latihan.

Pada akhirnya Clough dipecat setelah hanya 44 hari menangani Leeds. Beberapa tahun kemudian ia justru sukses membawa klub medioker Nottingham Forest menguasai Inggris dan Eropa. Sekelumit kisah di atas yang bisa disimak di film The Damned United menjadi cerita klasik dalam sejarah sepakbola. Saat ini, barangkali kita baru saja melihat pengulangan kejadian serupa pada diri Andre Villas-Boas di Chelsea.

ANDRE VILLAS-BOAS seperti lahir dari berkah para dewa. Sejak kecil ia dianugerahi intelejensi dan kecermatan dalam sepakbola. Setiap laga klub Porto, klub idolanya, tak hanya disimak, tapi juga dibuatkan laporan tertulis yang komprehensif dan detail. Taktik, kelemahan, bahkan sampai pergantian pemain, semua masuk perhatiannya. Melihat bakatnya, Bobby Robson yang menangani Porto mengajaknya menjadi staf pada usia 16 tahun.

Nama Villas-Boas menanjak sejak 2002, saat ia menjadi staf Mourinho di Porto. Ia mengikuti Mou saat pindah ke Chelsea dan Inter Milan. Spesialisasinya adalah mengamati para calon lawan. lawan. Tentu ada alasan logis yang membuat pelatih Real Madrid ini begitu percaya padanya.

Villas-Boas begitu teliti mengamati. Setiap pemain lawan mendapat perhatian spesifik darinya, cara dribling, tinggi lompatan, area pergerakan favorit, sudut tendangan terakurat, semua masuk hitungannya. Di bawah asuhan Mourinho, tiap pemain Chelsea dan Inter Milan bakal mendapat beberapa lembar laporan kekuatan musuh yang disusun Villas-Boas, beberapa hari jelang laga.

Tahun 2010 Villas-Boas diangkat menangani Porto. Orang baru betul-betul sadar isi kepalanya lewat permainan cantik Porto. Tak seperti Mourinho yang terobsesi dengan pertahanan, Villas-Boas menyukai gaya menyerang. Jika Mou penganut sepakbola pragmatis, Villas-Boas lebih dekat dengan mazhab Marcelo Bielsa, Pep Guardiola, juga Brendan Rodgers. Mereka memainkan sepakbola atraktif dengan risiko tinggi dan detail-detail yang akurat. Merekalah yang kini mendefinisikan bagaimana cara memainkan sepakbola indah.

SAAT BERMAIN di AC Milan, Marco van Basten bertanya kepada pelatihnya, Arigo Sacchi. “Bos, kenapa kita selalu bermain dengan cara yang melelahkan seperti ini?”. Sacchi memang pelatih yang terobsesi dengan pressing. Ia membangun timnya sebagai organisasi. Bermain seperti ini, seperti diakui Paolo Maldini belakangan, amat melelahkan.

Menjawab pertanyaan Basten, Sacchi menunjukkan majalah France Football dan World Soccer. “Di daftar 10 tim terbaik sepanjang masa, Milan kita menempati urutan ke-4. Tiga di atasnya adalah tim nasional,” kata Sacchi. “Inilah alasannya kenapa kita perlu bermain seperti itu. bukan hanya untuk menang, tapi menang secara spesial”.

Dekade 1950-an Real Madrid melakukan hal yang tak pernah bisa disamai klub lain, menang Piala Champion 5 kali berturut-turut. Tapi sejarah mengingat mereka sebagai timnya Alfredo di Stefano, atau timnya Ferenc Puskas. Berbeda dengan Milan di bawah Sacchi atau Barcelona di bawah Pep Guardiola. Para pemain mereka kesohor, tapi mereka selalu dikenang sebagai sebuah tim yang memainkan sepakbola indah.


Sepakbola indah. Inilah hal yang selalu dikenang orang dalam sepakbola. Tapi mungkin tidak di Chelsea. Luis Felipe Scolari dan Carlo Ancelotti adalah para pengusung keindahan sepakbola. Tapi di tangan Roman Abramovich nasib mereka berakhir dengan memalukan. Dan kini mereka melakukan hal yang sama dengan Andre Villas-Boas.

Seperti pemilik klub lainnya, Abramovich terobsesi dengan trofi. Ia gelontorkan uang dalam jumlah besar untuk membeli kejayaan. Tapi hal terpenting justru tak ia miliki, visi dan kesabaran. Barangkali orang seperti Mourinho membuatnya senang. Bagi klub yang paceklik gelar, menang dengan cara yang buruk pun sah-sah saja. Tapi tidak dengan klub yang ada di level Chelsea saat ini. Hal seperti inilah yang coba dibangun orang-orang seperti Scolari, Ancelotti dan Villas-Boas. Tapi sang pemilik memang tak pernah benar-benar paham sepakbola.

Andre Villas-Boas datang di tim yang penuh lelaki renta dan terus bernostalgia dengan kejayaan masa lalu. John Terry, Frank Lampard, Didier Drogba, Petr Cech, Ashley Cole, Michael Essien, tak diragukan, merekalah generasi terbaik Chelsea sepanjang masa. Bersama mereka klub ini menuju titik puncak sejarahnya. Tapi ketika usia mereka menua, dan tim-tim pesaing terus memproduksi generasi-generasi baru, para boyband Chelsea itu menganggap saat ini masih era awal 2000-an.

Barisan boyband inilah yang membuat Villas-Boas tak nyaman di tempatnya. Dengan arogan dan manja mereka menentang otoritas pelatihnya. Mereka tahu, perubahan yang dibawa pelatih ini bakal menggusur generasi mereka.

Sejak awal kabar tak akurnya Villas-Boas dengan barisan boyband ini memang kencang terdengar. Tapi kejadiannya tak pernah seburuk belakangan ini. Insiden tertinggalnya kertas taktik pelatih ini di sebuah hotel di Naples, jelang laga Liga Champion melawan Napoli, boleh dicurigai sebagai upaya pemberontakan para pemain senior ini. Di lapangan mereka enggan mengikuti instruksi sang pelatih.

Kejadian tak patuhnya pemain terulang dalam laga melawan West Brom. Ini membuat Roman Abramovich murka. Sayangnya ia menunjuk hidung orang yang salah. Saya membayangkan kejadian yang dialami Brian Clough sekitar 22 tahun lalu di Leeds, terulang pada diri Villas-Boas. Para boyband Chelsea merengek dengan manja kepada Abramovich, mengadukan perilaku Andre Villas-Boas yang mengancam nama besar mereka. Persis seperti pemilik Leeds kala itu, Abramovich tersentuh dengan rengekan anak-anaknya, lalu memecat pelatihnya.

Ia, Abramovich, lebih memilih para boyband. Ia lebih memilih masa lalu.

*Penulis adalah penulis Kolom Bola Angkringanwarta

Share this post :

+ komentar + 1 komentar

Anonymous
March 7, 2012 at 12:23 AM

mantapz nih tulisan...inspiratif!!!

Post a Comment

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta