Berita Terbaru:
Home » » Hari-hari Terakhir itu, Bergantung Dari Langkah Awal

Hari-hari Terakhir itu, Bergantung Dari Langkah Awal

Written By angkringanwarta.com on Sunday, March 11, 2012 | 02:55

Oleh Syaif Hakim*

Di malam yang hening dengan suara-suara hembusan napas yang mengap-megap, aku teringat akan pendapat umum yang mengatakan, orang-orang yang berdatangan pada saat acara pernikahan itu sudah jamak, tetapi kalau yang datang melayat berbondong-bondong yang meninggal pasti manusia yang mempunyai arti besar dan mempunyai pengaruh sosial terhadap lingkungannya. Begitu pun sebaliknya, kalau yang datang melayat hanya segelintir orang, pasti yang meninggal manusia yang tidak mempunyai pengaruh sosial terhadap lingkungannya. Selain itu ia memiliki sifat yang tidak baik terhadap lingkungannya. Jadi segalanya memang alamiah dan memang sudah digariskan dari sana-Nya.
***
Setiap hari disudut-sudut kampung, sudut-sudut warung, di jalan-jalan, di pojokan gang, di rumah, dan di semua tempat yang biasa digunakan untuk bercengkerama, yang dibicarakan pasti Pak Suwoso. Ia seorang yang kaya raya. Sosoknya sudah di kenal warga kampung. Seorang yang memiliki kehidupan seperti dalam mimpi. Selain tempat tinggalnya yang supermewah, pesta-pesta yang selalu dibuatnya bersama teman-teman dan saudara-saudaranya yang sederajat dengannya, prilaku setiap harinya, selalu menjadi bahan pembicaraan.

Aura kesombongannya sebagai orang yang kaya raya memang terpancar dari sorot mata dan garis wajahnya yang kuat. Wajahnya tampak menganggap remeh kami, warga sekitar. Selain itu ia tidak pernah bertegur sapa dengan kami. Seharusnya ia sebagai warga pendatang tak semestinya berbuat seperti itu, dalam hidup bermasyarakat ia harus saling menghormati dan bersikap sopan-santun.

Pernah suatu kali ketika salah seorang warga meninggal dunia, Pak Suwono tak datang melayat atau bertajiah. Kami pada mulanya berprasangka baik, mungkin saat itu ia sedang keluar kota. Namun ternyata semua prasangka baik itu salah, karena di saat tak terduga pernah salah seorang warga mendengar sendiri alasannya kenapa ia tidak datang melayat atau bertajiah, menurutnya suatu hari nanti, saat ia meninggal, ia tidak akan mengharapkan bantuan dari kami karena ia yakin pada teman-teman yang sederajat dengannya akan datang melayat dan bertajiah sebagaimana mestinya.

Seperti yang aku katakan, ia sering kali mengundang teman-teman, saudaranya yang sederajat dengannya untuk berpesta. Sedangkan ia tak pernah sekali pun bersedia pabila diantara kami sampai masuk ke dalam rumahnya yang supermewah.

“Aku tidak sudi bila warga kampung masuk ke dalam rumahku”
“Kenapa?” Tanya Istrinya
“Mereka berbeda dengan kita, kita kaya dan memiliki segalanya, sedangkan mereka hanya sampah masyarakat yang selalu meminta belas kasihan,”jawabnya. “Lebih baik kita mengundang teman-teman dan saudara-saudara kita yang jelas-jelas sederajat dengan kita.” Begitulah percakapan yang sering kali kudengar.

Masa itu berlangsung bertahun-tahun lamanya. Tak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, aku segera menengurnya. Namun, ia seolah tak peduli dengan teguran yang aku sampaikan. Sejak saat itu aku tak lagi memperdulikan pabila warga berbuat sesuatu yang diluar akal sehat.
***
Dua pekan aku kehilangan kabar para tetangga dekat maupun jauh. Begitu pun kabar Pak Suwoso tak pernah kudengar lagi. Semua ini karena aku di tugaskan keluar kota sehingga aku tak bisa shalat berjamaah di masjid. Setiap hari tidak shalat berjamaah di masjid semakin aku penasaran dengan keadaan sekitar dan kabar mengenai Pak Suwoso yang aura kesombongannya selalu terpancar dari sorot matanya dan garis wajahnya.

Waktu shalat isya tiba, masjid satu-satunya di kampungku mengumandangkan azan, kali ini aku mesti shalat berjamaah dan kembali menyambung tali silahturahmi antar sesama. Begitu sampai di masjid seorang petugas masjid mengumandangkan iqamat sebagai tanda akan dilaksanakan shalat berjamaah. Aku memilih saf terdepan karena orang tuaku sering kali menasihatiku bahwa yang shalat berjamaah dan berada di posisi saf terdepan akan mendapatkan pahala yang paling besar. Untuk itu aku tidak ingin membiarkan orang lain mendapatkan saf terdepan.

Selesai shalat berjamaah, tampak orang-orang satu persatu-satu menghampiriku, kemudian mereka menanyakan keadaanku selama dua pekan yang menghilang tanpa kabar. Maka aku pun menjawab apa adanya, bahwa selama dua pekan aku ditugaskan keluar kota.


Beberapa menit kemudian, kami sudah asyik bercakap-cakap segala persoalan kehidupan. Dari persoalan kehidupan meloncat ke soal hawa, soal cuaca, soal musim rambutan, tapi semua itu hanya sepintas lalu saja, sebab pada akhirnya kami pun menceritakan Pak Suwoso, karena menurut kabar beberapa hari ini ia jarang terlihat. Bahkan teman-teman, saudaranya yang sederajat dengannya tak lagi mendatangi rumahnya untuk berpesta seperti biasanya. Maka, kami pun beranggapan bahwa ia sedang disibukan dengan kerja dan tugas-tugasnya.

Sebentar kemudian untuk kesekian kalinya aku menyerah. Rasa lelah tak dapat ditolak dan rasa kantuk tak dapat dihadang, maka pada akhirnya malam itu kuambil putusan untuk segera pulang dan menghakhiri perbincangan malam ini.

Sesampainya di rumah dengan lesu kuhempaskan diri ke atas tempat tidur. Berbaring menengadah ke langit-langit rumah dengan berbantal tangan. Cecak-cecak berkejar-kejaran. Bercerecek suaranya. Ada yang berebut-rebutan nyamuk, ada yang bercumbu-cumbuan, dan waktu tengah malam telah lama lewat sambil tertidur aku berdoa semoga Pak Suwoso di berikan hidayah oleh Tuhan dan terus berdoa sehingga akhirnya pun jatuh tertidur pula.
***
Aku bangun sepuluh menit sebelum azan Subuh berkumandang. Aku masih punya kesempatan untuk buang hajat dan sikat gigi. Setelah itu mengambil air wudhu. Kemudian masjid mengumandangkan azan sebagai tanda waktu shalat subuh. Aku jadi terburu-buru datang ke masjid. Begitu sampai di masjid, aku langsung menempati tempat kosong pada saf terdepan. Lalu salah seorang petugas masjid mengumandangkan iqamat sebagai tanda akan dilaksanakan shalat berjamaah.

Selesai sholat berjamaah aku segera pulang. Maka aku pun meninggalkan kebiasaanku bercakap-cakap dan meminta nasihat sebagaimana layaknya yang muda harus meminta nasihat dengan seorang ulama yang memiliki asam garam kehidupan.

Dalam perjalanan ke rumah aku melihat istri, anak-anaknya Pak Suwoso berkumpul di teras rumahnya. Pada awalnya aku bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Akan tetapi saat itu aku tidak pedulikan dan tetap melangkah masuk ke dalam rumah.

Selang beberapa jam kemudian aku mendengar suara seorang petugas masjid yang sering kali mengumandangkan azan: “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, diberitahukan kepada seluruh jamaah Masjid Al Mu’minin bahwa salah seorang jamaah Masjid, H. Suwoso telah meninggal dunia…….”

Tak lama berselang setelah aku mendengar berita tersebut, aku segera ke rumahnya, mencoba memastikan berita tersebut. Kemudian sesampainya aku di rumahnya, tampak terlihat anak-anaknya, istrinya sedang merubung jasad yang terbujur kaku. Maka tanpa pikir panjang aku segera menyelesat mempersiapkan segala kebutuhan proses pemakamannya.

Sejenak aku bertanya-tanya sendiri, kenapa kali ini yang menghadiri dan membantu hanya enam orang saja. Hal ini tidak seperti biasanya, tatkala salah seorang warga meninggal dunia maka para warga yang lain, baik muda maupun tua berduyun-duyun berdatangan ke rumah sahibul musibah. Mereka akan membantu mempersiapkan segala keperluan untuk pemakaman. Ada pula yang mendoakan almarhum. Maka dari itu tanpa pikir panjang aku segera meminta bantuan mereka yang hadir untuk segera memandikan, mengkapani dan memakamkan jasad manusia tersombong—begitu ia dipanggil orang sekampung, itu pun harus kubujuk terlebih dahulu.

Lalu setelah proses pemakaman selesai, mereka yang membantuku meminta imbalan karena mereka jelas-jelas tidak ikhlas membantu keluarga Pak Suwoso. Aku bisa mengira mungkin mereka masih menyimpan amarah terhadap Pak Suwoso, yang semasa hidupnya selalu membanggakan dirinya sebagai orang terkaya.

Aku sangat terenyuh melihat apa yang aku alami. Sungguh dalam hati aku bertanya, ke mana gerangan mereka yang berpredikat para raja, ratu, pangeran, putri dan pribadi yang kaya raya yang selama ini menghadiri acara dan pesta-pesta yang sering diadakan Pak Suwoso? Pada mulanya aku berprasangka baik, mungkin karena kesibukan kerja jadi mereka tak bisa menghadiri proses pemakaman. Akan tetapi prasangka baik itu seketika hilang begitu saja karena sesungguhnya hari ini, hari libur dan seharusnya mereka memiliki waktu luang untuk menghadiri proses pemakaman.

Sejenak aku teringat akan salah seorang warga dari kampung sebelah, Pak Jumet—begitu ia di panggil orang sekampung. Jumet di kenal warga sebagai pribadi yang baik. Pak Jumet juga dikenal sebagai orang yang selalu menolong orang lain. Selain itu ia juga memiliki tutur kata yang ramah. Sifatnya yang selalu menolong orang lain, membuat kami merasa kehilangan sosok seperti dirinya. Aku pun merasa kenapa Tuhan terlalu cepat mengambil orang baik seperti dirinya. Apa pun alasannya aku hanya mendoakannya agar ia di tempatkan di Surga Firdaus.

Saat Pak Jumet meninggal dunia warga kampungku berduyun-duyun berdatangan ke rumah sahibul musibah. Kami membantu mempersiapkan segala keperluan untuk pemakaman. Ada pula yang membantu mendoakan almarhum. Bahkan jumlah pelayat yang hadir berbeda jauh dengan apa yang aku alami sekarang ini. Seketika aku pun percaya akan pendapat umum yang mengatakan hari-hari terakhir itu bergantung dari langkah awal. Mau sehat atau mau sakit itu juga berawal dari langkah pertama. Mau punya banyak musuh atau banyak sahabat juga ditentukan sejak awal. Dengan kata lain, kualitas hidup macam apa yang diinginkan harus ditentukan sejak awal.

Nah, itulah cerita yang aku tulis yang berhubungan dengan kenyakinannku. Jika hari-hari terakhir itu bergantung dari langkah awal. Maka, sekarang aku mengerti kalau di pemakaman aku nanti yang hadir hanya enam orang atau kurang dari itu. Mereka yang melayat bisa di pakai sebagai tolak ukur bagaimana aku mengelola hidup selama ini. Aku sangat tahu, kalau menabur hanya segelintir kebaikan, ya, yang dituai hanya segelintir pula. Untuk itu aku berdoa, semoga kita mampu mengelola hidup dan menabur kebaikan sebanyak-banyak, sehingga di hari-hari terakhir, kita akan menuainya. Amien.
Tanah Baru, 21 Desember 2011

*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta, penggiat sastra di Komunitas Sastra Kampoeng Seni UIN Syarif Hidayatullah, dan Penggiat Sastra di Komunitas Sastra Majelis Kantiniyah UIN Syarif Hidayatullah

Share this post :

+ komentar + 1 komentar

March 14, 2012 at 7:43 PM

wahh.. salut buang bang Ujang heheh :D

ceritanya bagus..

Post a Comment

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta