Berita Terbaru:
Home » » Seperempat Rindu Oud Batavia

Seperempat Rindu Oud Batavia

Written By angkringanwarta.com on Wednesday, May 16, 2012 | 09:23

Oleh Ayu Welirang*

Menunggu bukan hobiku. Hari ini aku tidak ada jadwal. Sengaja, aku kosongkan jadwal, hanya untuk bertemu dengan seperempat rinduku di dalam hatimu. Ketika kau menelponku beberapa hari yang lalu, meminta bertemu, aku mengiyakan saja. Hanya saja aku memberimu satu syarat, kubilang, “Aku kangen. Tapi, aku nggak bisa terus nunggu kamu di bangku stasiun. Aku ini gampang bosan. Jadi, jangan telat.” Aku heran, kenapa kau begitu suka sekali dengan stasiun? Kalau menurutku, mungkin itu tempat kali pertama kita bertemu. Kau dengan kamera dan lensa besarmu, mencuri-curi gesturku yang sedang bersepeda onthel di depan Stadhuis, begitulah orang menyebutnya pada masa Jayakarta dulu.

Kau memang yang terbaik di antara semua lelaki yang kukenal, setelah ayahku. Yang aku sayangkan adalah, kau sering berjanji, tapi jarang kau tepati dan kau selalu tidak tepat waktu. Seratus persen, aku tidak menyukai sifatmu yang itu. Aku selalu menggertakmu dengan berbagai contoh perpisahan karena si lelaki selalu tidak tepat waktu. Tapi aku tidak tega, dan terus sabar menunggumu. Mungkin, ini kali terakhir aku bersabar untuk menunggu.

“Halo, dimana kamu? Aku daritadi udah datang. Sejam yang lalu! Kamu telat lagi, aku capek nunggu terus!” kataku, setengah marah karena lelah.

“Jangan mengeluh terus. Ini aku lagi usahakan supaya cepet sampai sana. Aku naik kereta, habis hunting foto di Jatinegara,” katamu di telpon, tidak merasa berdosa sama sekali.

Aku yang masih kesal, ingin segera mengusirmu dari telpon, walaupun aku yang menelponmu lebih dulu. “Sejam lagi aku tunggu. Kalau kamu nggak datang juga, aku pergi, pergi selamanya dari hidup kamu yang nggak bisa diatur itu.”

Tut.. Tut.. Tut.. Kau menutup telponmu lebih dulu. Semburan kata-kataku barusan, entah bisa kau cerna atau tidak. Aku mulai menahan bendungan air mata karena menelan kesabaranku sendiri.

***

Sesekali aku menyesap kopiku dan lalu memainkan sendok kecil di cangkir kopiku. Aku sudah termangu di kedai kopi ini beberapa jam lamanya. Yang kubilang “sejam lagi aku tunggu” ternyata malah membuatku larut di memori masa silam akan Oud Batavia. Sadar-sadar, ternyata aku sudah duduk dua jam, bahkan lebih. Kopiku sampai dingin.

Kamu kemana? Ah, mungkin kamu tak jadi datang. Oke, aku pergi selamanya.

Aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Maaf, aku sudah tidak bisa membendung sabar lagi. Aku pergi sekarang. Terserah kamu, mau apa ketika aku sampai. Semua keindahan menurutmu, hanya lewat foto. Selebihnya, aku, keaslianku tanpa foto, kesabaranku yang tidak seperti foto, sabar tersenyum menunggu pengabadian gestur, kau lupakan saja. Foto-foto dan dunia fotografimu lebih penting. Meski kita sama-sama mencintai warna dan segala memoar Kota Tua, tapi kau tidak cinta aku.

Aku langkahkan kakiku meninggalkan kedai kopi. Berjalan sebentar, mengambil beberapa hitam putih Kota Tua. Aku tidak mau melewatkan saat terakhir untukku di tempat ini, mungkin, dan itu hampir terjadi. Aku memang cinta kau dan tempat ini, namun aku ingin melupakan—mu.

Ah, selamat tinggal Stadhuis, Oud Batavia. Aku akan merindukanmu. Kau adalah tempatku selalu menghamburkan seperempat rindu. Tiga perempatnya, sia-sia saja. Karena dimiliki oleh seseorang yang… Ah, kau tahu bagaimana ia. Aku tak perlu sebutkan lagi.

***

Aku hendak menaiki taksi yang melintas di stasiun kota, ketika seorang lelaki berambut panjang tak tertata menarik tanganku. Aku melihatmu. Lelaki yang selalu tak tepat waktu. Ya, itu dirimu. Dengan tas tripod di lengan kiri dan backpack cukup besar, menghalau dirimu sendiri yang secara refleks (mungkin) ingin memelukku. Bendungan air mata penantianku pecah seketika. Membanjiri pipiku yang semakin merah tersinari matahari siang itu. Aku kesal. Kau terlambat datang.

“Jangan pergi dulu. Aku benar-benar buru-buru datang, naik kereta. Aku nggak mau kamu pergi, begitu saja, seperti yang kamu bilang,” katamu, lembut. Mengusap pipiku, lebih lembut.

Aku hanya tertunduk dan menangis. Aku masih kuat juga ternyata.

Sebenarnya, aku tak ingin melewatkanmu. Aku ingin bertemu siang itu, memecah rindu. “Kamu lama. Aku capek, kepanasan. Sudah tiga cangkir kopi kupesan tadi.”

“Maaf, aku…” katamu ragu-ragu.

“Kenapa?” kataku spontan, menghentikan tangis dan melihat matamu yang sejuk dan sendu itu.

Kau tak berkata apapun. Diam membisu. Tiba-tiba tanganmu menyambar tanganku. Kau mengambil kotak kecil dari saku bajumu dan berkata, “Ini, buatmu. Maaf aku telat. Aku cari ini dulu kemana-mana.”

“Kamu bohong. Kamu bilang tadi cari foto?” kataku, mencoba menahan tangisku.

“Buka dulu, jangan nangis.” katamu menenangkanku sambil mengelus kepalaku.

Aku buka perlahan kotak itu dan aku terharu, ingin menangis sekencang-kencangnya. Kau memberiku cincin baja dengan ukiran model Jepara bertuliskan namamu di tengah-tengahnya. Aku ingin menangis sejadi-jadinya saat itu. Tak percaya akan kejutanmu, karena aku tahu, kau bukan tipe lelaki pemberi kejutan.

“Maaf ya.” Kau tersenyum, manis sekali dan kau segera menarikku ke sejuknya auramu. Kau peluk aku di tengah teriknya matahari Jakarta.

Bulir demi bulir air mataku mengisyaratkan sisa rindu yang benar-benar meluap dari penampungnya. Sekarang aku nyaman berada di dekatmu. Lelahku sewaktu menunggumu berjam-jam, hilang sudah.

“Kamu benar-benar kangen ya?” tanyamu retorikal. “Pulang yuk? Aku buatkan kamu coklat panas,” katamu lagi.

Kau menggandeng tanganku, memasuki stasiun. Kita pulang, menuju Buitenzorg. Tempat singgahku ketika bosan berkunjung ke Stadhuis, ruang seperempat rinduku, di Batavia.

*seorang penulis fiksi dan karya-karya dapat dilihat http://www.ayuwelirang.com atau http://about.me/ayuwelirang



Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta