Berita Terbaru:
Home » » Hujan Malam Hari

Hujan Malam Hari

Written By angkringanwarta.com on Sunday, August 05, 2012 | 02:34

Oleh : Ahmad Dahnyang



Perempuan itu memandangmu sayu dari jendela. Memandangmu yang terus saja berdiri di tengah hujan. Hujan malam hari. Tanganmu terentang dengan punggung menghadap bawah serta telapaknya menatap hujan turun dari atas.

Rintiknya kian menari. Sesekali terdengar lengkingan para dari langit.

Pemilik mata tua dan sayu itu tampak terus memerhatikanmu. Lalu ia melangkah mendekat sembari tangannya memegang sebuah payung,

“Nduk, kamu kenapa? Ayo masuk ke rumah lagi bersama ibu, nanti kamu sakit,” ajaknya, tapi tetap saja bergeming.

Dan perempuan itu pun meninggalkanmu di tengah rintik hujan. Entah, barangkali ia kesal karena sedari tadi tidak kau gubris.

Tak lama, hujan reda dan kau pun kembali ke rumah. Sejenak, matamu bertaut pada dua buah mata yang berair, merah dan sesekali menitikkan air mata itu. Ah, pikirmu, andai perempuan itu mengerti, dan memang tidak pernah bisa mengerti.

Kakimu pun melangkah ke kamar mandi, dan membersihkannya. Lalu direbahkanlah tubuh yang sudah bersih dan kering itu di tempat tidur. Kamu raih secarik kertas dan pulpen yang berada tak jauh dari tempat tidurmu.

Malam ini, kamu menemuiku dua kali. Alangkah bahagianya hatiku malam ini. Biarlah semua orang menganggapku gila karena perbuatanku ini, biarlah semua orang menertawaiku. Hanya aku yang bisa memahami semua ini. Biarlah aku yang tahu, biar aku dan hanya aku.

Secarik kartas itu kau lipat seperti sebuah pesawat terbang. Lalu kamu membuka jendela dan meluncurkan pesawat kertas dengan tanganmu. Pesawat itu pun melayang-layang lalu, dan dengan tiba-tiba sebuah angin membawanya terbang lebih tinggi, tinggi. Dan menghilang menghilang dari balik jendela yang sengaja kau buka.

**

Keesokan harinya, tak seperti biasanya kamu bangun lebih pagi. Wajahmu nampak lebih segar dari biasanya. Kamupun beranjak dari tempat tidurmu menuju sebuah cermin besar yang terletak di kamar mandi. kamu memerhatikan wajahmu di cermin dengan seksama. Kamu tersenyum. Lagi-lagi sebuah senyuman manis meluncur dari bibirmu dan kamu bisa melihatnya dengan jelas lewat pantulan cermin.

Sekarang kamu sudah siap untuk berangkat. dilangkahkanlah kakimu keluar kamar, sebelum sampai pintu sayup-sayup kamu dengar bapak dan ibumu sedang memperbincangkan dirimu di dapur. Kamu pun berhenti dan mendekat ke arah mereka untuk menguping apa yang mereka bicarakan.

Di balik tembok samping dapur dengan jelas kamu dapat memdengarkan pembicaraan mereka.

“Pak, aku khawatir dengan keadaan Murni akhir-akhir ini,” ujar ibu kepada bapakmu yang sedang membetulkan kompor gas dapur yang sedang rusak.

“Khawatir kenapa, Bu, kelihatanya Murni baik-baik saja.”

“Itu lo, akhir-akhir ini ia nampak aneh dengan dan membingungnkan, ia selalu hujan-hujanan kalau ada hujan malam hari, tapi kalau ada hujan pada siang harinya ia tak pernah berbuat seperti itu. ibu jadi bingung melihatnya. apalagi tadi malam, ibu sedih, Pak.”

“Serius!”

“Apa anak kita mengalami gangguan jiwa, Pak.”

“Huss…jangan ngawur kamu.”

“Tapi ibu khawatir dengan keadaan murni pak, soalnya semakin lama ia semakin aneh. Dia tidak mengenal waktu pokoknya kalau ada hujan malam hari Ia langsung pergi dan berdiri di tengah-tengah hujan. Tak peduli walau itu tengah malam sekalipun, atau kita bawa ke Psikiater saja.”

“Emm…jangan dulu bu, kalo gitu coba Murni panggil ke sini bapak akan coba ngomong sama dia.”

Mendengar bapakmu mau memanggilmu. Kamu pun buru-buru pergi meningggalkan rumah tanpa pamitan terlebih dahulu pada kedua oarng tuamu.

#_#

“Waduh sampai malam gini belum kelar juga ya,” sergah Andi, temanmu.

“Iya, nih saya juga pingin pulang apalagi mendung baget malam ini. Mau hujan kali.” Ungkap Ningsih, temanmu sekampung sekaligus teman kuliahmu kepadamu. Kamu pun hanya tersenyum sembari terus mencatat setiap gerakan katak dalam lemari kaca yang sedang kamu teliti.

Kamu dan temanm-temanmu pun kian larut dalam penelitian. Nampak di sana seekor katak yang di taruh di dalam lemari kaca serta beberapa tabung materi di sampingnya. Di luar awan kian pekat tertanda hujan akan segera turun.

Tik…tik..tik…

Hujan pun turun membasahi bumi. Dari jendela matamu tajam memandangi hujan dari dalam. Secepat kilat kamu melepas baju praktek berwarna putih yang sedari tadi menyelimutimu. Tanpa memerhatikan teman-temanmu, kamu pun langsung berlari ke luar laboratorium. Teman-temanmu heran kepada tingkahmu. Dengan cekatan mereka membuntutimu dari belakang karena takut terjadi apa-apa denganmu.

Kini kamu telah berdiri di tengah hujan malam hari. Matamu terpejam dengan kedua tanganmu yang merentang. Kamu sangat menikmati hujan malam hari tanpa memedulikan teman-temanmu yang saling pandang keheranan melihat lakumu. Mereka saling bertanya-tanya tentang lakumu.

“Murni, kamu ngapain nanti kamu sakit cepat ke sini!” teriak temanmu dari teras laboratorium. Kamu hanya diam sambil terus memejamkan mata menikmati seluruh guyuran air hujan yang terus membasahi sekujur tubuhmu.

Mereka pun saling memandang.

Temanmu, Ningsih, yang juga tetanggamu berseloroh,”Iya, saya dua kali melihat dia bertingkah laku seperti itu, hujan-hujanan pada malam hari, ketika kutanya dia juga tidak menjawab, aneh anak itu padahal dulu kan ia tidak begitu.”

Salah satu temanmu datang menghampirimu yang sedang berdiri di tengah hujaan sambil membawa dua buah payung—yang satu temanmu pakai—salah satunya kan di berikan padamu.

“Murni, ini paying, kamu jangan hujan-hujanan seperti itu,” pintanya ke padamu. Kamu pun membuka kelopak matamu. Kamu menyunggingkan senyum ke arahnya, tapi kamu malah berlari menerjang hujan malam hari yang lebat.

Teman-temanmu bertambah bingung dengan sikapmu itu. mereka semua kini tergerak untuk berlari mencarimu. Temanmu yang tadi paling dekat denganmu—temanmu yang tadi menawarkan payung—berlari, mengejarmu dari belakang. Namun, ia tidak bisa mengejarmu, seolah-olah kamu hilang di telan hujan malam hari.

Malam itu Ningsih, menghubungi kedua orang tuamu dan menceritakan kejadian yang menimpamu malam ini. Mereka pun bingung dengan keadaanmu, mereka khawatir denganmu. Apalaagi ibumu yang menangis mendengar apa yang kamu alami. Bapakmu pun terus menghisap rokok yang entah sudah habis berapa bungkus untuk menunggumu.

Bulan sudah kelihatan menggantung kembali di atas sana setelah tadi tertutup awan pekat. Kamu pun pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup. Tiba-tiba ibu memelukmu sambil sesenggukan, sedang bapakmu masih duduk sambil menyulut kembali rokok dan terus memerhatikan lakumu dengan tatapan mata yang melotot. Kamu bingung—tak tahu apa yang terjadi.

“Murni, duduk! Bapak mau bicara denganmu!” perintah bapakmu dengan nada menggertak.

Kamu pun langsung duduk di depannya. Di samping ada ibumu yang terus memegang tanganmu dengan lembut. Kamu menundukan kepala. Sorot mata bapakmu menelanjangimu dari ujung kaki sampai rambut.

Lalu ia melontarimu pelbagai pertanyaan yang kamu tak mampu menjawabnya. Akhirnya, kesabaran mereka habis melihatmu yang hanya diam. Kamu pun di marahi habis-habisan. Kamu hanya terdiam, tertunduk lesu sambil mengucurkan air mata dari kelopakmu.

Maafkan aku bapak, ibu aku tak kuasa menceritakan kepadamu apa yang kualami, hanya aku yang tahu, katamu dalam hati.

Hari terus berjalan dengan cepat. Lakumu semakin lama semakin meresahkan kedua orangtuamu. Tiap turun hujan malam hari, kamu tetap berdiri di tengahnya sembari merentangkan tangan dan mata terpejam. Bahkan kamu sekarang lebih banyak diam. Akhirnya, orang tuamu pun mengajakmu berobat ke seorang Psikiater.

Di sana. Psikiater memintamu untuk menceritakan segala yang kamu alami dan rasakan. Tapi, kamu masih terus diam. Psikiater terus memberimu pertanyaan dan rangsangan supaya kamu mau bercerita lebih tentang dirimu.
Sudah dua jam kamu bersamanya.

Akhirnya, psikiater mengambil sebuah kesimpulan bahawa kamu tidaklah gila, kamu hanya butuh istirahat dan menenengkan diri, kata psikiater itu. Kamu di berinya resep obat penenang diri tuk kamu tebus di toko obat.
Kamu pun pulang.

Kamu tidak berubah. Orangtuamu semakin gelisah. Tidak ada perubahan yang berarti walau kamu sudah di bawa psikiater. mereka pun membawamu kembali ke psikiater-psikiater lain. Kamu bahkan di bawa ke paranormal dan dukun. Namun, hasilnya tetap saja sama. Negatif. jika hujan malam hari kamu terus di tengahnya sembari merentangkan tangan dan mata terpejam.

Orangtuamu sudah kehabisan akal meleraimu lakumu. Mereka bersepakat untuk membawamu rehabilitasi ke rumah sakit jiwa. Mereka kasihan denganmu, tiap hari kamu semakin parah.

Kini. Dua orang petugas berbaju putih memaksamu naiki mobil putih betuliskan RSJ Bina Masyrakat. Kamu berontak. Berkali-kali kamu berteriak-berteiak dan mengatakan kamu tidak gila. Namun, kamu tidak kuasa melawan dua petugas yang terus mengelendengmu dan memaksamu naik mobil. kamu terus menegaskan pada semua orang bahwa kamu tidak gila. Tidak gila.

#_#

Sudah satu bulan ini kamu menjalani hidupmu di RSJ. Tidak ada perkembangan yang signifikan dalam dirimu. Para perawat pun terus menyelidiki penyebab lakumu. Pihak rumah sakit pun menugaskan seorang Dokter khusus untuk menemanimu tiap hari. Tiap hari si dokter selalu mengawasimu. Si dokter teus mengajakmu ngobrol dan berbingcang-bincang. Tapi, kamu hanya diam. Membisu.

Kamu duduk di bangku taman RSJ bersama dokter.

Kini. Seeesekali kamu menjawab pertanyaan dokter. Si Dokter gembira dan ia yakin bahwa kamu sebenarnya tidak gila, penelitianya tentangmu selama ini membuat dia yain akan hipotesisnya itu. Kamu dengan dokter mulai akrab. Kamu mulai membuka diri dengganya. Malam kian larut, bulan sudah tiada lagi terututp awan pekat. Kamu masih duduk di taman bersama dokter.

Tik…tik…tik…

Tiba-tiba hujan turun pada malam itu. Sesungging senyum meluncur dari bibirmu. Kini kamu beranjak dari tempat dudukmu. Kamu berdiri, menengadahkan mukamu ke atas sambil tangamu di rentangkan. Matamu perlahan-lahan terpejam. Kamu tersenyum menikmati tiap tetes air hujan yang terus membasahi dirimu.

Dokter yang tadi bersamamu pun ikut berdiri menemanimu menikmati hujan, hujan malam hari.

Ia berkata padamu,”Aku sudah menemanimu. Tolong ceritakan kepadaku, apa yang kamu rasakan.”

Kamu masih terdiam tak menjawab sepatah kata pun. dokter berkata lagi padamu,”Baiklah aku tahu, kamu tidak gila, berikan kamu satu kata yang bisa meyakinkan bahwa kamu benar-benar tidak gila.”

Kamu menoleh. Tersenyum. Lalu kembali menengadahakan mukamu ke air hujan yang turun. Mulutmu sedikit terbuka, lalu kamu menoleh kembali pada dokter. Kamu berkata padanya,”Ini bukan tentang kamu, ini juga bukan tentang aku, tapi tentang dia,” sambil mengacungkan tanganmu ke atas langit.

Dokter pun tersenyum mendengarmu akhirnya mau bicara, dalam hati ia berucap,”Hanya kamu yang tahu Murni apa yang kamu rasakan.”

Begitulah, ia hanya mau bercerita padaku. Entah kenapa, padahal aku hanyalah hujan. Hujan yang datang pada malam hari.

Ciputat, 2009-2011

Ahmad Dahnyang, adalah nama lain dari Dedik Priyanto, penikmat sastra, tinggal di pinggiran Jakarta.






Share this post :

+ komentar + 1 komentar

August 5, 2012 at 6:48 AM

mantabh dik, lanjutkan...ku tunggu karya-karyamu kawan...

Post a Comment

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta