Oleh Jong*
Suatu
kebanggaan tersendiri bagi mahasiswa ketika melihat berbagai kemegahan yang
dmiliki suatu perguruan tinggi. Lebih-lebih tempat seperti itu ada dan
dirasakan oleh kita sebagai mahasiswa. Sebut saja UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kita pun sepakat, untuk tataran universitas Islam di Indonesia, UIN Syarif
Hidayatullah lah yang paling megah.
Namun,
dibalik itu semua hanyalah kebanggaan yang semu, dalam artian tanpa ada suatu
kepuasan pelayanan yang baik terhadap apa yang menjadi kebutuhan mahasiswa itu
sendiri. Berbagai hal yang dikumandangkan mahasiswa hanyalah angin lalu, berbagai
macam aspirasi hanyalah dianggap sampah.
Mahasiswa
tidak pernah dilibatkan dalam mengambil kebijakan kampus. Sekalipun ada,
mahasiswa sebagai pendengar setia belaka. Dalam hal ini mahasiswa dijadikan “Kerbau
yang dicucuk hidungnya” sehingga mahasiswa cuma bisa nurut, nurut dan nurut. Pendidikan
berdemokrasi pun di bungkam.
Tri Dharma Perguruan
tinggi hanyalah sebuah kamuflase lembaga, tanpa diimplementasikan ke ranah
sivitas akademik maupun masyarakat. Istilah “pengkerdilan intelektual mahasiswa”
telah tersistem secara apik oleh kebijakan kampus. Daya kritis mahasiswa
nampaknya terbius oleh nyanyian “nina bobo” yang dilantunkan para pejabat
kampus. Pada akhirnya mahasiswa yang pragmatis tumbuh dengan subur.
Berbicara kampus,
tentunya tidak lepas dari peran serta pihak-pihak yang ada di dalamnya. mulai
dari rektor hingga mahasiswa. Dalam hal ini ada hak-hak mahasiswa sebagai
bagian dari sivitas akademik berperan dalam membangun lingkungan kampus yang
lebih baik.
Pada
kenyataanya, khususnya di UIN Syarif Hidayatulah Jakarta tidak ada ruang dimana
mahasiswa dan pihak kampus duduk bersama untuk menghadapi persoalan kampus,
baik persoalan internal maupun eksternal. Sekalipun ada, pejabat kampus masih
bersikap represif.
Bahkan yang
lebih parahnya lagi, sikap kritis mahasiswa dianggap sebagai representasi sikap
antipati mahasiswa terhadap lembaga. Lalu, apakah pantas kita sebagai
mahasiswa membiarkan fenomena ini begitu saja?
Sebagai pejabat
kampus yang baik, sikap kritis mahasiswa tidak serta merta dianggap sebagai
sikap antipati, melainkan harus menganggapi dan menilai suara-suara mahasiswa
secara arif dan bijaksana. Bukan menanggapi dengan sikap arogansi.
Memang pada
akhirnya pejabat kampus mempunyai hak dalam mengambil kebijakan. Tapi, bukan
serta merta suara mahasiswa diabaikan. Bukankah mahasiswa itu layaknya rakyat
yang berada di dalam miniatur politik yang mempunyai sendi-sendi demokrasi
pada suatu negara? Atau mahasiswa benar-benar layaknya “Kerbau yang dicucuk
hidungnya”?
*Penulis adalah mahasiswa UIN dan penikmat tongkrongan