Berita Terbaru:
Home » » Kampusku Mewah, Tapi..?

Kampusku Mewah, Tapi..?

Written By angkringanwarta.com on Monday, December 03, 2012 | 17:32




Oleh Jong*

Suatu kebanggaan tersendiri bagi mahasiswa ketika melihat berbagai kemegahan yang dmiliki suatu perguruan tinggi. Lebih-lebih tempat seperti itu ada dan dirasakan oleh kita sebagai mahasiswa. Sebut saja UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kita pun sepakat, untuk tataran universitas Islam di Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah lah yang paling megah.

Namun, dibalik itu semua hanyalah kebanggaan yang semu, dalam artian tanpa ada suatu kepuasan pelayanan yang baik terhadap apa yang menjadi kebutuhan mahasiswa itu sendiri. Berbagai hal yang dikumandangkan mahasiswa hanyalah angin lalu, berbagai macam aspirasi hanyalah dianggap sampah.

Mahasiswa tidak pernah dilibatkan dalam mengambil kebijakan kampus. Sekalipun ada, mahasiswa sebagai pendengar setia belaka. Dalam hal ini mahasiswa dijadikan “Kerbau yang dicucuk hidungnya” sehingga mahasiswa cuma bisa nurut, nurut dan nurut. Pendidikan berdemokrasi pun di bungkam.

Tri Dharma Perguruan tinggi hanyalah sebuah kamuflase lembaga, tanpa diimplementasikan ke ranah sivitas akademik maupun masyarakat. Istilah “pengkerdilan intelektual mahasiswa” telah tersistem secara apik oleh kebijakan kampus. Daya kritis mahasiswa nampaknya terbius oleh nyanyian “nina bobo” yang dilantunkan para pejabat kampus. Pada akhirnya mahasiswa yang pragmatis tumbuh dengan subur.

Berbicara kampus, tentunya tidak lepas dari peran serta pihak-pihak yang ada di dalamnya. mulai dari rektor hingga mahasiswa. Dalam hal ini ada hak-hak mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademik berperan dalam membangun lingkungan kampus yang lebih baik.

Pada kenyataanya, khususnya di UIN Syarif Hidayatulah Jakarta tidak ada ruang dimana mahasiswa dan pihak kampus duduk bersama untuk menghadapi persoalan kampus, baik persoalan internal maupun eksternal. Sekalipun ada, pejabat kampus masih bersikap represif.

Bahkan yang lebih parahnya lagi, sikap kritis mahasiswa dianggap sebagai representasi sikap antipati mahasiswa terhadap lembaga. Lalu, apakah pantas kita sebagai mahasiswa membiarkan fenomena ini begitu saja?

Sebagai pejabat kampus yang baik, sikap kritis mahasiswa tidak serta merta dianggap sebagai sikap antipati, melainkan harus menganggapi dan menilai suara-suara mahasiswa secara arif dan bijaksana. Bukan menanggapi dengan sikap arogansi.

Memang pada akhirnya pejabat kampus mempunyai hak dalam mengambil kebijakan. Tapi, bukan serta merta suara mahasiswa diabaikan. Bukankah mahasiswa itu layaknya rakyat yang berada di dalam miniatur politik yang mempunyai sendi-sendi demokrasi pada suatu negara? Atau mahasiswa benar-benar layaknya “Kerbau yang dicucuk hidungnya”?  



*Penulis adalah mahasiswa UIN dan penikmat tongkrongan


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta