Berita Terbaru:
Home » » Ketika Ketidakadilan Menyebabkan Banjir

Ketika Ketidakadilan Menyebabkan Banjir

Written By angkringanwarta.com on Saturday, January 19, 2013 | 16:16


Banjir memang menjadi persoalan besar bagi Jakarta. Hujan deras terus mengguyur yang Jakarta nyaris tanpa jeda.  Jalan-jalan protokol pun tak luput dari genangan air. Bahkan, Istana Merdeka turut terendam banjir.

Hampir setiap tahun Ibukota negeri ini diterjang banjir. Banjir juga membawa kerugian materil yang tidak sedikit dan seringkali menelan korban jiwa. Meskipun Gubernur DKI Jakarta sudah silih-berganti, tetapi penyelesaian soal banjir tak kunjung usai. Tak heran, warga DKI Jakarta menempatkan banjir sebagai salah satu problem pokok.

Berbagai proyek penanganan banjir sudah pernah dilakukan, seperti proyek kanal banjir barat dan timur, tanggul banjir, normalisasi sungai, interkoneksi, sistem drainase perkotaan, sistem polder (waduk dengan pompa), pintu air pasang, dan pintu air pengatur.

Memang, banjir di Jakarta juga bukanlah cerita baru. Di jaman kolonial pun Batavia sering jadi langganan banjir. 

Sebenarnya, banjir di Jakarta tak terlepas dari model pembangunan yang sangat kapitalistik. Model pembangunan seperti ini menciptakan konfigurasi pusat kota dan pinggiran kota. Bagian pusat kota dijadikan pusat bisnis, perkantoran, apartemen, dan lain-lain. 

Bagian pusat kota seperti ini menjadi kota impian bagi kelas menengah dan atas. Bagian pusat kota ini juga seringkali memiliki layanan publik paling lengkap.

Sebaliknya, di daerah pinggiran kota, ditempati kaum miskin perkotaan, seperti pinggiran sungai, pinggiran rel kereta api, dan lain sebagainya. Biasanya daerah pinggiran seperti ini sangat beresiko. bahkan fasilitas dan layanan publik kota jarang tersentuh.

Tidak aneh model pembangunan kota seperti ini menciptakan 'ketidakadilan'. Mereka yang punya uang, yang punya kesanggupan membeli, bisa tinggal di daerah aman dan dilengkapi fasilitas publik. Sementara orang-orang miskin harus hidup di tengah berbagai ancaman. Akibatnya, ketika terjadi hujan deras, maka orang miskinlah yang paling rentan terkena banjir.

Banyak kawasan hijau, taman kota, dan rawa-rawa yang disulap menjadi pusat perbelanjaan, pemukiman elit, apartemen, dan lain-lain.

Menurut data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dalam 10 tahun terakhir, daerah resapan air di Jakarta berkurang hingga 50 persen. Akibatnya, dari curah hujan di Jakarta yang mencapai dua miliar m3 setiap tahunnya, hanya 36 persen yang terserap. Sebagian besar sisanya terbuang ke jalan beraspal, selokan, dan sungai.

Realitas tersebut diperparah lagi dengan jumlah drainase atau saluran air semakin berkurang atau menyempit. Banyak drainase dan gorong-gorong yang tertimbun proyek-proyek pembangunan ruko, pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya. Belum lagi, sebagian besar sungai-sungai di Jakarta mengalami sedimentasi dan tertimbun sampah.

Untuk itulah, penanganan banjir di Jakarta perlu terobosan radikal, yakni mengubah model pembangunan ekonominya. Pembangunan kota Jakarta harus lebih memperhatikan kepentingan seluruh rakyat di kota Jakarta. Pengelolaan kota harus dibawah kendali warga kota, bukan lagi di tangan segelintir elit dan pemilik modal.


(RJJ)


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta