Berita Terbaru:
Home » » Pagelaran "Ken Dedes Wanita Di Balik Tahta"

Pagelaran "Ken Dedes Wanita Di Balik Tahta"

Written By angkringanwarta.com on Saturday, January 19, 2013 | 21:42



Pergelaran , Kolosal & Spektakuler
“KEN DEDES WANITA DI BALIK TAHTA”
Produksi Tri Ardhika Production & Swargalola Art and Culture Foundation

Kesenian tradisi yang menyimpan nilai estetik nan luhur -- terlebih yang telah terpuruk langka -- patut digali, direkonstruksi, direvitalisasi dan dibanggakan di tengah lingkungan komunitasnya serta dalam publik lebih luas. “Era baru semestinya tak melumpuhkan karakter bangsa. Termasuk semangat memperkuat karakter masyarakat melalui kesenian tradisi. Semangat ini pula yang coba kami tawarkan melalui seni pertunjukan yang sebentar lagi akan kami gelar,” papar Eny Sulistyowati SPd, SE dalam percakapan usai latihan di Sanggar Swargaloka, di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, Sabtu (12/01).

Melalui kibaran Tri Ardhika Production bekerjasama dengan Swargalola Art and Culture Foundation, Eny Sulistyowati SPd, SE, akan mementaskan opera sejarah bertajuk ”Ken Dedes Wanita di Balik Tahta.” Pertunjukan akan berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Sabtu 2 Februari 2013 pukul 20.00 WIB mendatang.

Pementasan ini, terang Eny, melibatkan tak kurang dari 150 seniman tradisi dari Surakarta, Yogyakarta, Semarang  dan Jakarta. Didukung oleh para bintang panggung dari Alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Yogyakarta, diantaranya; Ali Marsudi (Pu Purwo),  Agus Prasetyo (Ken Arok), Irwan Riyadi (Loh Gawe), Siti Maryuni ( Nyai Gede Mirah) dan Achmad Dipoyono (Tunggul Ametung). Disamping juga akan diperkuat oleh penari dan penyanyi bersuara emas Dewi Sulastri, yang akan berperan sebagai Nyi Purwo, dan bertindak sebagai Sutradara.

”Opera sejarah ”Ken Dedes Wanita di Balik Tahta” menampilkan pembaharuan gerak tari, musik, teater, rias busana, tata cahaya, dan tata panggung, yang dipadukan dengan seni multi media. Sehingga diharapkan dapat menyajikan sebuah totonan klasik, kolosal dan spektakuler,” papar Eny, yang dalam pertujukan ini berperan sebagai Ken Dedes, serta bertindak sebagai Eksekutif  Produser.

Master musik dunia, Dedek Wahyudi, komposer yang sudah melalang-buana ke berbagai negara dengan karyanya, juga turut mendukung pergelaran ini. ”Dedek akan lebih mengeksplor musikalisasinya. Seperti penggabungan beberapa unsur musik etnik, klasik dan modern. Digarap lebih kolosal dengan perkusi dan sentuhan orchestrasi yang kental. Perpaduan musik gesek, gamelan dan instrumen musik-musik modern. Selain itu, tidak hanya para seniman tradisi yang kami libatkan di sini, melainkan juga ada pekerja seni lainnya, diantaranya penyanyi Inul Daratista yang memerankan tokoh Ken Dara,” terang Eny.

Opera sejarah ”Ken Dedes Wanita di Balik Tahta” papar Eny, mengangkat sejarah kerajaan Singasari yang menceritakan seorang wanita cantik jelita berbudi luhur dan bercita-cita tinggi bernama Ken Dedes. “Pertunjukan ini sebuah renungan tentang kebesaran Ken Dedes di bawah asuhan dan didikan pekerti luhur sang Empu Purwo. Inilah yang akan disajikan dalam bentuk opera. Obyektifitas sejarah atas kebesaran kemuliaan Ken Dedes sebagai simbul wanita nusantara yang rahimnya melahirkan raja-raja besar. Pergelaraan ini mengajak kita semua untuk merenungi ajaran-ajaran luhur yang tersimpan dalam sejarah,” tukas Eny.

Di tengah terjangan budaya global sekarang ini, tambah Eny, pemberdayaan dan penguatan terhadap keberadaan seni tradisi perlu terus diupayakan secara berkesinambungan. “Melakukan reposisi kultural terhadap nilai-nilai tradisi untuk menemukan posisi dan maknanya yang baru. Reposisi ini bukan dalam pengertian ekstrim pembongkaran dan penghancuran, melainkan melalui reinterpretasi dan inovasi. Pemikiran ini dilandasi bahwa kesenian adalah merupakan proses kebudayaan yang selalu dinamis dan akan berpeluang  eksis dalam sanggaan kreativitasnya,” ungkapnya.

Latar Belakang
Ken Dedes, wanita asal wanwa (desa) Panawidyan itu menjadi tonggak awal kisah besar di bhumi Jawa selama delapan abad. Bahkan, bisa jadi masih akan berlanjut hingga ke tahun-tahun berikutnya. Ken Dedes adalah seorang “Stri Nareswari” atau “Ardhanareswari” yang berarti wanita paling utama (uttama hadating stri) atau perempuan termulia (adimu-kyaning stri). Pustaka gancaran Pararaton memuat pernyataan Dhang Hyang Logawe dan Bango Samparan, bahwa “...,. siapa saja yang memperistrinya, akan dapat menjadi maharaja (.., pan iku asing aderwe rabi, katekan dadi ratu anyakrawati)”.

Ken Dedes bukan hanya tersohor di masyarakat Indonesia. Lebih dari itu kebesarannya juga diikenal di manca nagara, utamanya di kalangan masyarakat Eropa dan Asia. Arca perwujudannya sebagai pantheon Buddhis berbentuk “Dewi Prajnyaparamita”, yang merupakan salah sebuah masterpice ikonografi masa Singhasari, yang membuat takjub para seniman dan para ahli yoga (acarya) dunia. Karya pahat ini bukan semata daya khayal atau imaji pematung (silpin) Jawa, melainkan sebuah arca potret (de potrait beelden) dan sekaligus refleksi raga-jiwa Sang Ken Dedes itu sendiri. Konon dari “rahim emas (golden germ)”-nya lahir raja-raja besar Singhasari maupun Majapahit. Mereka adalah para pengukir kemasyhuran Nusantara lama. Ken Dedes oleh karenanya layak dipredikati sebagai “ibu sekalian para rajad Jawa” masa Hindu-Buddha (XIII-XVI M). 


Ken Dedes tak sekedar cantik lahiriyah (hayu anulus, listu hayu), namun elok pula kepribadiannya. Seorang perempuan yang perilaku (karma)nya tercerahkan. Kitab Pararaton mengisitilahkan sebagai telah “memperoleh karma amamadangi” ”berkat kegenturannya menjalankan “enam (sad) -paramita” dalam kehidupannya, yang terdiri atas dana-, sila-, ksanti-, virya-, dhyana- dan prajnaparamita. Bukan hanya itu, pada segi politik pun, lewat garis ganeologisnya, Nusantara lama yang sempat terpuruk pasca runtuhnya Mataram pada masa Sailendravamsa serta Isanavamsa (abad VII-XI M) mampu ditegakkan kembali.

Sayang sekali, peran historis dan keluhuran budinya itu acap luput dari perhatian publik. Atau terkadang perilakunya dilencengkan dalam kisah-kisah sejarah pada masyarakat masa kini. Ironisnya, Ken Dedes dipersepsikan keliru sebagai wanita berperilaku tercela (asubha karma). Demikian halnya Pu Purwa, ayahandanya. Pu Purwa sejatinya adalah rokhaniawan Mahayana Buddhis (bhujangga Boddhasthapaka) di Mandala Panawijyan (Panawiken), yang sudah barang tentu mempunyai pekerti mapan dan tertata.

Kebesaran Ken Dedes di bawah asuhan atau didikan ayahandanya itulah yang bakal disajikan sebagai suatu legenda dalam bentuk pertunjukan ”Opera sejarah ”Ken Dedes Wanita di Balik Tahta” Dengan topangan data sejarah tentang kebesaran dan kemuliaan Sang Ken Dedes sebagai simbol wanita Nusantara, yang dari rahim emasnya lahir raja-raja besar. Hanya dengan budi pekerti yang luhurlah sebuah bangsa akan mencapai kejayaannya.

Opera sejarah ”Ken Dedes Wanita di Balik Tahta” ini mengajak kita merenungi siratan ajaran luhur yang tersimpan lama dalam sejarah. Sebagai bekal untuk bangkit dari keterpurukan dengan jalan memperbaiki moralita dan perilaku keseharian. Semoga./***

Jakarta 12 Januari 2013
Media Communication
Eddie karsito // 08121979799
Adey Sucuk Zakaria Bahar // 083876626420

Twitter      : @PentasKENDEDES
Facebook    : KEN DEDES I
Email       : info@ken-dedes.com


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta