Nasib jurnalisme kampus atau Pers Mahasiswa (Persma) sungguh
memprihatinkan. Di tengah maraknya media massa yang tumbuh subur belakangan ini
membuat produk Persma nyaris sama sekali tidak terdengar. Padahal produk Persma
di Indonesia pernah mengalami masa keemasan.
Setidaknya, di awal tahun 1970-an produk-produk lembaga pers
mahasiswa seperti Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI dan Mimbar Demokrasi, yang
pembacanya bukan hanya dari kalangan mahasiswa, tetapi diminati masyarakat umum
dengan oplah berkisar 30.000-70.000 eksemplar.
Lantas bagaimana nasib Persma sekarang?. Menarik dicermati,
sebab sekarang ini Persma di kalangan mahasiswa sendiri tidak populer. Bahkan
tidak banyak mahasiswa yang tahu tentang keberadaan pers mahasiswa. Kecuali segelintir
saja, yaitu orang yang bergelut di dalamnya dan sesama aktivis mahasiswa, baik
di lingkungan kampusnya maupun di kampus lainnya.
Legalitas Persma
Belum Jelas
Berbicara status Persma sendiri sampai sekarang masih “belum
jelas”. Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, menyampaikan, Persma atau Pers Kampus
tidak dilindungi UU no 40 tahun 1999 tentang pers saat mengisi seminar di
Malang.
Secara historis, keberadaan pers mahasiswa tidak pernah bisa
dilepaskan dari pengaruh rezim yang berkuasa. Berkali-kali produk jurnalisme
kampus ini jatuh bangun. Pers mahasiswa tumbuh pertama kali dijaman kolonial
dengan nama "Indonesia Merdeka", ia menjadi bagian alat perjuangan
politik dalam menyuarakan nasionalisme Indonesia di tanah Eropa.
Dalam sistem demokrasi liberal di tahun 1950-an, dan awal
masa demokrasi terpimpin, pers mahasiswa kembali subur. Dengan sudut pandang ilmiah
dan bobot berita yang didasari dengan berbagai penelitian membuat
pandangan-pandangan pers mahasiswa dipertimbangkan penguasa maupun masyarakat.
Setelah itu, ditahun 1960-an, lonceng kematian pers mahasiswa dimulai, justru
saat mereka mulai mampu bersaing dengan pers komersial.
Terkait status Persma, Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Hendry CH Bangun, justru menyarankan supaya Persma dibikin PT atau Yayasan. “Karena salah satu
persyaratan pers yang diakui adalah berbadan hukum dan itu bisa diakali dengan
jaminan perguruan tinggi,” jelasnya saat
menghadiri evaluasi uji kompetensi wartawan di gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis
(31/1).
Sertifikasi Wartawan,
Polemik Baru Persma
Munculnya Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010
tentang sertifikasi wartawan, jelas
menambah deretan polemik baru di kalangan insan Persma. Sertifikasi wartawan yang diharapkan mampu
membedakan wartawan professional dan abal-abal menjadi tanda tanya besar bagi
Persma.
Beberapa pegiat Persma menilai, sertifikasi wartawan akan
membatasi ruang gerak Persma. “Hadirnya serifikasi wartawan kemungkinan akan mempersulit
Persma ketika liputan di luar kampus,” ujar Defy Firman al Hakim, Sekjen
Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Senin (04/2).
Namun, Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia,
Eko Maryadi, Persma tidak perlu ikut melakukan sertifikasi. “Standar Kompetensi
Wartawan hanya diperuntukan bagi wartawan professional. Sedangkan Persma adalah
wartawan amatir,” jelasnya, Jumat (01/2) di Kantor AJI Indonesia.
Persma, menurut Eko, merupakan wartawan amatir yang tidak
mencari untung dan tidak dibayar. Persma bekerja karena kecintaannya pada dunia
jurnalistik.
Sebenarnya, sistem kerja Persma sendiri tidaklah jauh
berbeda dengan kerja jurnalisme pada umumnya.
Mulai rapat redaksi untuk
menentukan tema aktual, teknik pemburuan berita, hingga penetapan batas waktu
atau deadline di mana semua berita harus siap untuk naik cetak dan pada
gilirannya siap diterbitkan.
Berbeda dengan Pemimpin
Umum LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Satrio Priyo Utomo, dengan
tidak adanya sertifikasi seharusnya Persma bisa memanfaatkan ruang geraknya.
Karena Persma tidak dibatasi kepentingan modal, seperti industri pers.
Tapi, lanjut Satrio, ada beberapa hal yang perlu
dikhawatirkan yakni bukan masalah perbedaan antara professional atau abal-abal,
melainkan masalah idealismenya.
“Dampak ketika ada gagasan ini, mungkin semua pegiat Persma
akan memandang kalau Persma adalah sekolah jurnalistik. Kalau Persma begitu,
hilanglah sudah idealismenya,” ujarnya, Sabtu (02/2).
Lanjutnya, untuk mengantisipasi hilangnya idealisme Persma, mesti
mengambil sikap atas isu sertifikasi tersebut. “Bisa jadi sertifikasi dalih
untuk mengontrol kerja-kerja wartawan sesuai keinginan pemilik pabrik berita
(modal),” imbuhnya.
Hidup Segan Mati Tak
Mau
Hidup segan mati tak mau. Mungkin itulah ungkapan yang pas
untuk menggambarkan kondisi lembaga pers mahasiswa kekinian. Hidup segan karena
semua serba kesulitan dan repot. Sulit dana, repot ngurus awak redaksi yang
ogah-ogahan, repot tugas kuliah atau apa pun yang membawa rasa segan untuk
hidup.
Mati tak mau. Jelaslah bagaimana kalau Persma mati, siapa
yang akan membuat berita yang katanya ‘independen’. Siapa yang akan menyatakan
kebenaran? Siapa lagi kalau bukan persma di tengah derasnya arus modal
kapitalisme yang melilit perusahaan media. Meski dengan seambrek ’kerepotan’
persma tetap harus hidup. Tak mau mati.
Tinggal bergantung pada pengelola Persma, mampukah mengembangkan
kreativitas dan peka dengan kebutuhan pasar?.
(RJJ)