Berita Terbaru:
Home » » Pers Mahasiswa, Hidup Segan Mati Tak Mau

Pers Mahasiswa, Hidup Segan Mati Tak Mau

Written By angkringanwarta.com on Monday, February 04, 2013 | 20:20


Nasib jurnalisme kampus atau Pers Mahasiswa (Persma) sungguh memprihatinkan. Di tengah maraknya media massa yang tumbuh subur belakangan ini membuat produk Persma nyaris sama sekali tidak terdengar. Padahal produk Persma di Indonesia pernah mengalami masa keemasan.

Setidaknya, di awal tahun 1970-an produk-produk lembaga pers mahasiswa seperti Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI dan Mimbar Demokrasi, yang pembacanya bukan hanya dari kalangan mahasiswa, tetapi diminati masyarakat umum dengan oplah berkisar 30.000-70.000 eksemplar.

Lantas bagaimana nasib Persma sekarang?. Menarik dicermati, sebab sekarang ini Persma di kalangan mahasiswa sendiri tidak populer. Bahkan tidak banyak mahasiswa yang tahu tentang keberadaan pers mahasiswa. Kecuali segelintir saja, yaitu orang yang bergelut di dalamnya dan sesama aktivis mahasiswa, baik di lingkungan kampusnya maupun di kampus lainnya.


Legalitas Persma Belum Jelas

Berbicara status Persma sendiri sampai sekarang masih “belum jelas”. Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, menyampaikan, Persma atau Pers Kampus tidak dilindungi UU no 40 tahun 1999 tentang pers saat mengisi seminar di Malang.

Secara historis, keberadaan pers mahasiswa tidak pernah bisa dilepaskan dari pengaruh rezim yang berkuasa. Berkali-kali produk jurnalisme kampus ini jatuh bangun. Pers mahasiswa tumbuh pertama kali dijaman kolonial dengan nama "Indonesia Merdeka", ia menjadi bagian alat perjuangan politik dalam menyuarakan nasionalisme Indonesia di tanah Eropa.

Dalam sistem demokrasi liberal di tahun 1950-an, dan awal masa demokrasi terpimpin, pers mahasiswa kembali subur. Dengan sudut pandang ilmiah dan bobot berita yang didasari dengan berbagai penelitian membuat pandangan-pandangan pers mahasiswa dipertimbangkan penguasa maupun masyarakat. Setelah itu, ditahun 1960-an, lonceng kematian pers mahasiswa dimulai, justru saat mereka mulai mampu bersaing dengan pers komersial.

Terkait status Persma,  Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Hendry CH Bangun, justru menyarankan supaya Persma dibikin PT atau Yayasan. “Karena salah satu persyaratan pers yang diakui adalah berbadan hukum dan itu bisa diakali dengan jaminan perguruan  tinggi,” jelasnya saat menghadiri evaluasi uji kompetensi wartawan di gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis (31/1).

Sertifikasi Wartawan, Polemik Baru Persma

Munculnya Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang sertifikasi wartawan, jelas  menambah deretan polemik baru di kalangan insan Persma.  Sertifikasi wartawan yang diharapkan mampu membedakan wartawan professional dan abal-abal menjadi tanda tanya besar bagi Persma.

Beberapa pegiat Persma menilai, sertifikasi wartawan akan membatasi ruang gerak Persma. “Hadirnya serifikasi wartawan kemungkinan akan mempersulit Persma ketika liputan di luar kampus,” ujar Defy Firman al Hakim, Sekjen Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Senin (04/2).

Namun, Menurut Ketua  Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Eko Maryadi, Persma tidak perlu ikut melakukan sertifikasi. “Standar Kompetensi Wartawan hanya diperuntukan bagi wartawan professional. Sedangkan Persma adalah wartawan amatir,” jelasnya, Jumat (01/2) di Kantor AJI Indonesia.

Persma, menurut Eko, merupakan wartawan amatir yang tidak mencari untung dan tidak dibayar. Persma bekerja karena kecintaannya pada dunia jurnalistik.

Sebenarnya, sistem kerja Persma sendiri tidaklah jauh berbeda dengan kerja jurnalisme pada umumnya. 
Mulai rapat redaksi untuk menentukan tema aktual, teknik pemburuan berita, hingga penetapan batas waktu atau deadline di mana semua berita harus siap untuk naik cetak dan pada gilirannya siap diterbitkan.

Berbeda  dengan Pemimpin Umum LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Satrio Priyo Utomo, dengan tidak adanya sertifikasi seharusnya Persma bisa memanfaatkan ruang geraknya. Karena Persma tidak dibatasi kepentingan modal, seperti industri pers.

Tapi, lanjut Satrio, ada beberapa hal yang perlu dikhawatirkan yakni bukan masalah perbedaan antara professional atau abal-abal, melainkan masalah idealismenya.

“Dampak ketika ada gagasan ini, mungkin semua pegiat Persma akan memandang kalau Persma adalah sekolah jurnalistik. Kalau Persma begitu, hilanglah sudah idealismenya,” ujarnya, Sabtu (02/2).

Lanjutnya, untuk mengantisipasi hilangnya idealisme Persma, mesti mengambil sikap atas isu sertifikasi tersebut. “Bisa jadi sertifikasi dalih untuk mengontrol kerja-kerja wartawan sesuai keinginan pemilik pabrik berita (modal),” imbuhnya.


Hidup Segan Mati Tak Mau

Hidup segan mati tak mau. Mungkin itulah ungkapan yang pas untuk menggambarkan kondisi lembaga pers mahasiswa kekinian. Hidup segan karena semua serba kesulitan dan repot. Sulit dana, repot ngurus awak redaksi yang ogah-ogahan, repot tugas kuliah atau apa pun yang membawa rasa segan untuk hidup.

Mati tak mau. Jelaslah bagaimana kalau Persma mati, siapa yang akan membuat berita yang katanya ‘independen’. Siapa yang akan menyatakan kebenaran? Siapa lagi kalau bukan persma di tengah derasnya arus modal kapitalisme yang melilit perusahaan media. Meski dengan seambrek ’kerepotan’ persma tetap harus hidup. Tak mau mati.

Tinggal bergantung pada pengelola Persma, mampukah mengembangkan kreativitas dan peka dengan kebutuhan pasar?.



(RJJ)


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta