Berita Terbaru:
Home » » Pendidikan yang Tak Berpijak

Pendidikan yang Tak Berpijak

Written By angkringanwarta.com on Thursday, May 02, 2013 | 20:24


Pendidikan saat ini sudah melenceng jauh dari cita-cita Ki Hajar Dewantoro. Hal itu dilihat dari proses belajar anak yang seharian terkurung di dalam kelas. Mereka dididik hanya untuk mendapatkan teori, tanpa melihat secara langsus proses yang terjadi di alam, belum lagi sang anak dipaksa untuk menggarap soal ujian sebagai tolak ukur kecerdasan seseorang.

Makanya tak mengheran jika seorang anak kehilangan olah rasanya sebagai manusia.  Hal itu terbukti dari kasus-kasus tawuran, narkoba hingga terjadinya bunuh diri.

Pasalnya, pendidikan saat ini anak tak mempunyai ruang berintegrasi sosial, menanamkan nilai-nilai humanis, menumbuh-kembangkan kreatifitas, dan membentuk kepribadian.

Jika hal itu dibiarkan, bisa dipastikan bahwa akan ada tsunami yang lebih dahsyat yang disebabkan bukan karena gelombang air, tapi disebabkan karena pengangguran dan kebodohan dimana-mana.

Untuk itu, melalui Sekolah Alam yang diberi nama Kandank Jurank Doank, Dik Doank mencoba menawarkan model pendidikan yang berbasis alam untuk menunjang kreatifitas anak.  Menurutnya, belajar itu bisa dimana saja.  “Orang bisa belajar di bawah pohon, bisa belajar dipersimpangan jalan juga dimana pun,” imbuhnya.

Dengan pendidikan seperti itu, Ia  berharap anak-anak untuk menciptakan sesuatu, apapun penemuannya.  “Karena selama budaya penjiplak dan peniru masih merajalela, bangsa ini tidak bisa menjadi bangsa penemu,” ujar pria bernama lengkap Raden Rizki Mulyawan Kartanegara Hayang Denada Kusuma, beberapa waktu yang lalu

Dik Doank juga prihatin atas kondisi pendidikan di tanah air yang tidak seimbang antara ilmu seni dan ilmu umum. “Belajar menggambar cuma satu, itu pun gurunya tidak bisa menggambar, bentuknya dua gunung di atasnya ada matahari dan di bawahnya ada sawah,” ujar Dik Doank

Sementara, imbuh Dik Doank, mata pelajaran matematika ada enam sampai tujuh mata pelajaran. Akibatnya, anak yang lahir di sekolah umum hanya berfikir umum-umum yakni anak-anak pandai hanya untuk menghitung. “Sebenarnya kalau saya tidak pandai hitungan, saya bisa ambil kalkulator beres kok,” tuturnya

Ia pun mencontohkan bagaimana Bali bisa hidup dengan seni dan budayanya, hal itu menujukkan berbaurnya antara otak kiri dan otak kanan.

Karena itu, kata dia, pendidikan juga harus disesuaikan dengan daerahnya masing-masing. Ia membaginya menjadi empat bagian yang sesuai dengan daerahnya masing-masing.

Pertama, yang tempat tinggalnya di bahari, dibuatlah satu tempat pendidikan dimana siswa pustakanya adalah samudera, mereka belajar menanam terumbu karang, bagaimana menjadi nelayan dan bagaimana membuat kapal yang baik.

Kedua, yang tempat tinggalnya di pegunungan, dibuatlah sekolah dimana mereka bisa memanen tiga kali setahun. “Tidak usah menunggu musim,” imbuhnya.

Ketiga, yang tempat tinggalnya di desa, pustakanya adalah pesawat, yakni untuk melengkapi kebutuhan-kebutuhan yang begitu besar. Keempat, yang tempat tinggalnya di kota, belajar tentang manajemen.

Selain itu, ia juga berharap pemerintah mendirikan sekolah yang banyak. Sebuah sekolah mencontohkan model sekolah layaknya  sebuah mall, ada toko buku, ada kantin, dan dibiasakan untuk bertemu. Ketentuan harganya pemerintah yang memegang dan mempunyai daulat untuk itu semua.

Lalu ada gedung bioskop yang benar-benar terorganisir dengan baik. Ada film-film dalam negeri, bukan film hollywood yang membawa budaya tersendiri, serta pertunjukan-pertunjukan besar dari anak bangsa.

“Pada akhirnya kita bisa menonton film kita sendiri di mall pendidikan sendiri. Kalau model seperti itu bisa dilakukan, kenapa tidak? Kalau tidak bisa cukup membuat sekolah yang banyak, supaya anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan,” ujarnya

@rizqi_jongjava 


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta