Berita Terbaru:
Home » » Panggung, Jokowi Penggemar Wiro Sableng?

Panggung, Jokowi Penggemar Wiro Sableng?

Written By angkringanwarta.com on Sunday, July 28, 2013 | 00:15

Oleh AyodiaKelana

Dunia ini panggung sandiwara
Cerita yang mudah berubah
Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani

Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar ada peran berpura pura

...........


Pada eranya lagu yang diciptakan Achmad Akbar begitu populer. Karena itu pula, rambut kribo menjadi gaya baru anak muda. Sebagaimana halnya Achmad Akbar, hampir setiap orang memerlukan panggung tinggal bagaimana dan di mana orang itu manggung?

Hasilnya, sebuah dunia yang disesaki berbagai macam pangung sandiwara, ada panggung pertunjukan, politik, dan lain-lain. Tiap-tiap darinya tinggal memainkan peranannya, ada yang mendorongnya murni dari dirinya sendiri atau dari luar.

Misalnya saja film (pertunjukan), para pemainya akan bergerak sesuai dengan arahan sutradara atau bisa dikatakan para pemain ini tak ubahnya sebuah TV yang dikontrol remot kontrol.

Penonton

Bagaimana hubungan dengan penonton? Enggak perlu dijawab lagi, keduanya diibaratkan sepasang kekasih yang begitu romantis, mungkin saja dapat mengalahkan pasangan Rama terhadap Sinta.

Lihat saja, bagaimana tidak romantisnya pemain ini saat berharap meminta dukungan para penonton. Karena itu, para aktor ini rela rela menangis, marah, atau gila bahkan meminta untuk di SMS. Jika itu benar-benar terwujud maka tak menutup kemungkinan akan bermunculan ratusan SMS mengalir, kelompok penggemar.


Berharap saja para mereka bukan sedang bersandiwara dengan memainkan perasaan penonton. Kata penggemar ini bisa menjadi begitu marah atau sangat baik sampai-sampai merelakan segala macam yang dipunya termasuk nyawa jika perlu.

Sudah banyak terjadi, sebagai contohnya saat anggota DPRD DKI mencoba mengusik kepemerintahan Gubernur DKI Jokowi. Lalu apa yang terjadi, saat itu juga masyarakat melontarkan kekesalannya terhadap anggota DPRD.

Masyarakat akan semakin geram saat ada politikus menyebut Jokowi hanya jago pencitraan semata.

Lantas benarkah yang dilakukan Jokowi penuh dengan pencitraan, layaknya para artis yang tampil penuh dengan topeng. Agar bisa menjawabnya, apakah benar-benar atau dibuat benar bukan hal yang mudah.

Hal ini bahkan membuat filosof Slovenia, Slavoj Zizek mengerutkan kening untuk membedakannya. Ia bahkan sampai-sampai mengulasnya dalam sebuah buku The Violence,

Untuk bisa mengetahui tentang benar-benar dengan yang dibuat benar. Perlu ditemukan perbedaan Lacanian antara kenyataan (reality) dan yang Nyata (the Real): ‘kenyataan’ (‘reality’) yang dimaksud disini adalah kenyataan sosial bagaimana orang-orang yang terlibat langsung melihat Jokowi dalam membangun Jakarta.

Sedangkan yang Nyata (the Real) masih merupakan sesuatu yang ‘abstrak’, logika menyebutkan apa yang dilakukan Jokowi yang akan menentukan apa yang terjadi dalam kenyataan sosial.

Namun, yang dapat terbaca oleh kita hanya sebuah laporan dari berbagai pengamat tentang bagaimana Jokowi membangun sebuah Jakarta. Pada laporan-laporan ini yang pada akhirnya membentuk sebuah opini dalam melihat kenyataan apa yang dilakukan Jokowi.

Kembali kepada kata pencitraan, apakah yang dilakukan Jokowi hanya sebatas pencitraan? Untuk mendapatkan jawaban seseorang tak bisa hanya bisa membaca dari laporan, apa lagi dari politiknya.

Wiro Sableng

Untuk menyimak kenapa Jokowi dicintai? Sama halnya kenapa tokoh ‘gila’ yang dimiliki Wiro Sableng dalama cerita cerita silat karangan Sebastian Tito malah begitu memikat. Mungkinkah kendati ‘Sableng’ tokoh utama dalam cerita itu maka menjadi banyak penikmatnya.

Bisa jadi, bukan sekadar itu saja. Coba banyangkan jika Wiro Sableng secara perlahan-lahan pergi ke rumah sakit jiwa lalu mengubah namanya menjadi Wiro Waras, maka? Bastian Tito kemungkinan akan didemo, dicaci atau segala macam yang tidak mengenakan.

Tapi, karena sadar identitas murni merupakan hal yang pokok. Untuk itu, pendekar identik dengan 212 tetap menyapa musuh-musuhnya dengan tertawa, membuat pembaca terbahak-bahak.

Hiburan yang langka dari hiburan-hiburan pendekar lainnya. Penggemar menjadi merasa terhibur dengan kesablengan Wiro. Murid Sinto Gendeng, menjadi cerita menjadi obrolan pangjang lempar dari ngalor-ngidul bahas jurus ‘kunyuk melempar buah.’

Maka kepupoleran Wiro Sableng tak luput dari keahlian Bastian Tito memoles dan menghadirkan sesuatu yang berbeda dari yang pernah ada sebelumnya. Bastian Tito cukup menghadirkan sesuatu yang baru dan melawan arus.

Dengan tokoh ‘gila’ ia membalikan wajah cerita silat yang dikuasai yang selama didominasi para pendekar dengan wajah begitu tampan.

 Untuk yang baru, sebenarnya bukan sesuatu yang mudah untuk bisa memikat. Sebab, yang lama masih begitu menggoda untuk tidak mengelak darinya, atau bisa jadi yang lama sudah mulai terlihat bagaimana wajah yang bersumbunyi dibalik topeng. Maka tak heran  jika para penggemar mengalihkan perhatiannya kepada aktor baru.

Aktor yang tak penuh topeng, aktor melakukan karena memang itu gayanya, bukan hanya untuk mencari populeritas, tanpa disadari muka penuh bopeng akan nampak jelas dengan mata biasa.

Jokowi akan menjadi kisah selanjutnya, bagaimana dia memimpin dirinya godaan orang-orang yang mengaku waras. Jika selama ini ia dianggap orang berani melawan arus, saat a para petinggi selalu memposisikan dirinya sebagai orang tinggi, berharap dihormati.


Jika sudah demikan, maka sepertinya pepatah  yang menyebutkan ‘Emas tetaplah emas meski terkubur dalam lumpur berjuta tahun.’ Lalu perjalanan waktu akan menunjukkan apakah Jokowi benar-benar emas?


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta