Berita Terbaru:
Home » » Pembodohan Ala MOS

Pembodohan Ala MOS

Written By angkringanwarta.com on Friday, July 19, 2013 | 00:03

Oleh Jonathan Alfrendi

15 Juli 2013 lalu menjadi hari dimulainya dunia persekolahan untuk tahun ajaran baru 2013/2014. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, awal tahun ajaran baru ini hadir bersamaan dengan Bulan Suci Ramadhan. Meski begitu, hal ini tidak menyurutkan semangat para siswa untuk kembali bersekolah, terutama peserta didik baru.

Lazimnya awal tahun ajaran baru, kegiatan pengenalan lingkungan sekolah yang diperuntukkan bagi siswa baru, atau lebih dikenal dengan Masa Orientasi Sekolah (MOS) juga Masa Orientasi Peserta Didik Baru (MOPDB) dilakukan selama beberapa hari. Umumnya pelaksana masa orientasi ini ialah kakak kelas dan pesertanya adalah para siswa-siswi yang telah diterima di sekolah pilihannya setelah melalui tahapan seleksi sebelumnya. Yang paling jamak adalah mereka yang berada di kelas 7 SMP dan 10 SMA.

MOS atau MOPDB kali ini, seperti sebelumnya, masih diwarnai oleh cara-cara lama yang justru cenderung melenceng dari tujuan dari kegiatan itu sendiri. Para anak didik baru harus mempersiapkan berbagai hal yang justru terlihat di luar nalar kita. Umumnya mereka tampil dengan aneka atribut yang justru menimbulkan gelak tawa.

Ada yang memakai topi dari belahan bola plastik. Wanita dengan aneka kunciran warna-warni yang menghiasi kepalanya. Mengenakan tanda pengenal yang lebar. Memakai tas kardus atau karung. Membawa balon udara hingga memakai kaus kaki yang berbeda. Mereka juga diwajibkan untuk membawa makanan, seperti: coklat, mie rebus, roti. Bahkan ada juga yang diharuskan membawa sapu ijuk, sapu pel dan kemudian diserahkan kepada sekolah.

Bagi mereka yang tidak membawa perlengkapan itu akan mendapat hukuman dari seniornya. Sanksinya dapat berupa teguran hingga fisik. Mau tak mau mereka harus menuruti semua kehendak yang telah digariskan. Tak peduli bagaimana caranya yang penting harus ada. Terkadang para orang tua pun harus berjibaku menyiapkan segala perlengkapan anaknya walau harus memakan biaya besar. Tak jarang para orang tua mengeluh.

Jelaslah praktik MOS ini telah menjurus ke arah pembodohan. Anak didik diharuskan menuruti segala peraturan demi terbentuknya pelajar yang disiplin, taat, dan takut kepada senior-seniornya. Dan pada akhirnya setelah selesai mengikuti MOS siswa baru itu bisa merasa terkungkung secara emosional, batin, bahkan takut kepada seniornya secara berlebihan. Boleh jadi di tahun mendatang mereka akan mempraktekkan kembali hal yang sama kepada juniornya. Dan terus akan membudaya.

Memang pada dasarnya kegiatan MOS bertujuan agar anak didik baru mengenal suasana lingkungan dan tata tertib sekolahnya, mengetahui hak, kewajiban dan tanggung jawabnya serta mampu beradaptasi dengan lingkungan sekolah barunya. Namun persoalannya apakah tujuan itu dapat dicapai bila peserta didik harus mengenakan atribut seperti badut? Bagaimana mungkin.

Bila kegiatan MOS seperti itu terus diterapkan justru akan menggiring peserta didik menjadi manusia super penurut. Tidak menaikkan derajat kemanusiaan karna sejatinya pendidikan adalah pembebasan, seperti ucapan Paulo Freire.

Padahal secara harfiah MOS memiliki arti sebagai momentum memberikan waktu kepada pelajar untuk melakukan peninjauan agar lebih kenal. Peninjauan disini diartikan untuk meninjau sekolah barunya. Maka setidaknya dalam menyampaikan materi MOS harus diselipkan beberapa hal, diantaranya.

Pertama, menghilangkan budaya mengenakan atribut-atribut sebagaimana yang telah disinggung di atas. Kedua, mengenalkan riwayat, prestasi, kekurangan, atau alumni-alumni yang telah dihasilkan oleh sekolah tersebut agar para siswa semakin mengenal lebih dalam dan tumbuh rasa memiliki. Ketiga, menumbuhkan nilai-nilai karakter kebangsaan, seperti:  menghargai perbedaan, cinta tanah air, hidup rukun, religius, anti-narkoba serta melarang sex bebas. Keempat,  mengenal kehidupan masyarakat disekitar sekolah. Sebab bagaimanapun juga sekolah dan masyarakat adalah dua hal yang saling mempengaruhi.

Kedepannya kita berharap kegiatan MOS atau MOPDB harus lebih humanis bukan membodohi peserta didik. Karna dari kegiatan MOS inilah kita dapat membentuk siswa menjadi homo homini socius, manusia menjadi sahabat bagi sesamanya.  

JONATHAN ALFRENDI
Mahasiswa Pend.IPS UIN Jakarta
Prodi Sosiologi-Antropologi



Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta