Berita Terbaru:
Home » » TERBIT SANG FAJAR BERNAMA ISLAM DI NUSANTARA

TERBIT SANG FAJAR BERNAMA ISLAM DI NUSANTARA

Written By angkringanwarta.com on Tuesday, November 12, 2013 | 03:40

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dinamika masyarakat asia tenggara pada era awal abad telah mengenal pemerintahan kenegaraan, meskipun masih terjebak dalam pemikiran tradisionalisme pada masa itu. Pola pikir serta peradaban di asia tenggara menjadi terbuka dan lebih dinamis dalam konteks kenegaraan. Jauh di telisik Indonesia pada masa lampau, wilayah pesisir kepulauan Sumatera dan Jawa, serta beberapa kepulauan lainnya yang lebih kecil termasuk yang berada di semenanjung Malaya, warga penduduk pribumi menyambung hidup mereka dengan berdagang serta dalam social culture masyarakat sangat kuat dipengaruhi oleh kultur Hindu.

Pada awal abad, kawasan laut Asia tenggara terutama pada titik konsentrasi jalur pelayaran di  wilayah Indonesia, sudah memiliki peranan yang sentral dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan internasional, melalui jalur pelayaran  Nusantara inilah dapat menghubungkan negeri-negeri di Asia Timur, Asia Tenggara, dan Asia Barat. Pekembangan pelayaran dan perdagangan Internasional yang terbentang jauh dimulai dari Teluk Persia sampai Cina melalui Selat Malaka pada saat itu mulai terlihat pula klise perjalanan yang muncul dan berkembangnya kekuasaan besar, yaitu Cina di bawah Dinasti Tang (617-907 M), Kerajaan Sriwijaya (abad 7-14 M), Dinasti Umayyah (660-749 M), dan Dinasti Abbasiyah (750-870 M).

Nusantara terletak di jalur pelayaran laut yang merupakan sentralisasi antara Asia bagian timur dan selatan. Heterogenitas penduduk merupakan ciri yang khas bagi keanekaragaman Nusantara. Terdapat pada wilayah yang strategis merupakan pemicu heterogenitas penduduk yang ada di Nusantara, terdiri atas beragam ras.

Perpaduan rasial di Hindia sangat memiliki daya tarik, karena kebetulan tiga ras utama umat manusia berdiam pada benua-benua sekitarnya. Penduduk Nusantara terdiri atas rata-rata petani, nelayan dan pedagang, mereka membentuk menjadi masyarakat social dalam komunitas semidemokratik. Keyakinan agama penduduk Nusantara bersifat primitive dan tidak membutuhkan tempat pemujaan bersama, kecuali dibawah langit terbuka, tempat menempa rohaniyah melalui kekuatan-kekuatan ilahi dari alam langsung hadir.

Babak baru dimulai setelah kerajaan-kerajaan islam mencapai pada zaman keemasan, proses islamisasi mulai terjadi di Nusantara. Melalui proses yang memakan waktu lama, Nusantara turut ambil bagian dalam sejarah perkembangan islam. Terbitlah sang fajar dalam masa kegelapan di Nusantara yang bernama islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Awal Kedatangan Islam Di Nusantara

Sejak zaman dimana manusia belum mengenal tulisan atau lebih dikenal dengan zaman pra sejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai bangsa yang dapat mengarungi samudera lepas yang luas. Awal milad abad masehi rute-rute jalur pelayaran dan perdagangan meliputi wilayah Nusantara dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara.

Wilayah barat Nusantara dan sekeliling Malaka sejak zaman kuno adalah wilayah yang menjadi titik konsentrasi perdagangan, disebabkan hasil bumi yang menarik bagi para pedagang serta menjadi titik jalur perdagangan antara Cina dan India. Pala, cengkeh serta rempah-rempah lainnya merupakan sasaran perdagangan bagi pedagang asing yang dipasarkan di Jawa dan Sumatera. Abad ke-1 dan ke-7 M (abad I H) pelabuhan-pelabuhan sentral di Jawa dan Sumatera merupakan persinggahan pedagang-pedagang asing, seperti Barus dan Palembang di Sumatera; Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.

Panggung islamisasi mulai terlihat pesat pada abad ke-15 di wilayah Nusantara. Berawal dari Kesultanan Malaka yang  merupakan tren baru yang lahir pada era itu dengan  bermula dari komunitas social yang kecil, kemudian tumbuh menjadi emporium yang penting dan besar. Wilayah geografis Malaka secara garis besar terletak di daerah pantai, dengan demikian Malaka menjadi tempat singgah mencari perlindungan dari bajak laut yang telah gegap gempita pada selat antara Sumatera dan Malaya. Terdapat pula di daerah pantai itu, telah berdiri kokoh pengaruh kekuasaan raja-raja T’ai dari Siam yang telah mendeklarasikan terlebih dahulu sebagai raja-raja paling kuat di Asia Tenggara.

Jauh sebelum portugis datang dan mengkoloni Malaka (1511), Malaka adalah titik konsentrasi lalu lintas jalur pelayaran dan perdagangan. Dari titik inilah hasil bumi yang tersebar pada hamparan Nusantara dikirim ke Cina dan India, terutama Gujarat. Jika ditelisik melalui arah barat dari Gujarat , jalur yang melintasi Laut Arab. Jalur pelayaran disini dapat dikatakan lebih rumit karena jalur ini bercabang dua.

Jalur yang pertama dapat dilalui dari sisi utara menuju Teluk Oman, kemudian Selat Ormuz, dan dilanjutkan ke Teluk Persia. Sedangkan jalur kedua melalui Teluk Aden dan Laut Merah, sehingga perjalanan yang dikonsentrasikan dari kota Suez dipersilahkan melalui daratan ke Kairo dan Iskandariyah. Para pedagang serta pelaut yang terdiri dari kapal-kapal Arab, Persia, dan India melakukan pelayaran melalui jalur tersebut, pelayaran yang dimulai dari barat ke timur kemudian terus ke negeri Cina dengan menggunakan angin musim sebagai penggerak dalam pelayaran pulang dan pergi.

Dapat kita tarik benang merah bahwa sang fajar yang terbit bernama Islam dibawa ke Nusantara melalui kegiatan dakwah dalam proses social yang terbuka. Hingga tahun-tahun berikutnya ajaran-ajaran agama samawi ini tidak pernah disebarkan melalui kegiatan doktrinisasi orang secara terorganisir. Proses yang fleksibel secara toleransi dengan menanamkam bahwa Agama dan Negara dapat melebur dan menjadi satu sifat, melancarkan pen-dakwahan  Islam dalam Nusantara.

Menjelang abad ke-13, komunitas masyarakat muslim sudah tidak terisolasi lagi, masyarakat muslim sudah ada di Samudera Pasai, Perlak dan Palembang di Sumatera. Sedangkan pada daerah Jawa, terdapat situs makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang diperkirakan telah terbentuk tahun 475 H (1082 M), bukti perkembangan islam pada masa itu juga dapat terlihat dari makam-makam islam yang berada di tralaya, termasuk pada titik sentral kekuasaan Hindu-Jawa ketika itu, Majapahit.

Akan tetapi, dalam penulisan sejarah berkembanganya islam di Nusantara belum mempunyai landasan yang kuat dikarenakan sumber primer yang ada baik berupa prasasti maupun historiografi tradisional dan juga berita asing, baru muncul ke permukaan ketika “komunitas Islam”  berubah menjadi sentralisasi kekuasaan.

Islam sebagai rahmatan lil a’lamin mulai merasuk ke dalam Nusantara, dalam sejarah akar perkembangan agama yang di bawa oleh Rasulullah kepada umatnya ini, agama islam di Nusantara dapat dibagi menjadi tiga fase. (1) Sumber  berita asing terutama yang berasal Cina mengatakan, bahwa Nusantara yang menjadi titik konsentrasi pelayaran dan perdagangan merupakan tempat singgah pedagang-pedagang islam. (2) Sumber berita asing dan juga  situs makam-makam islam mengatakan, bahwa daerah Nusantara telah tumbuh komunitas islam yang saling berinteraksi social pada beberapa titik di Nusantara, dan (3) berdirinya kerajaan-kerajaan islam di Nusantara.

Dengan demikian terlacaklah akar sejarah awal kedatangan Islam di Nusantara, perkembangan Islam di Nusantara merupakan titik nadir dalam gejolak kemerdekaan Indonesia. Secara teoritis paham pluralisme serta nasionalisme yang ditumbuh benihkan dalam ajaran agama Islam di Nusantara dapat sejalan dengan konsep kenegaraan Indonesia, tumbuh ditengah masyarakat multikulturalisme, Islam dapat menjadi oase ditengah paham tradisonalisme yang bersifat  tertutup.

B. Teori-Teori Islamisasi Nusantara

Beranjak kepada teori Islamisasi Nusantara, datangnya agama rahmatan lil a’lamin ke Nusantara serta asal usul agama islam datang,  memunculkan banyak teori yang di angkat oleh para ahli sejarah. Ada dua teori yang diangkat dalam Islamisasi Nusantara.

Teori Pertama, pada abad ke-7 atau bertepatan dengan awal abad hijriyah, Islam telah menancapkan panji-panjinya di Nusantara. Penganut teori ini adalah kaum intelektual yang mempunyai kapabilitas,  J.C. Van leur, Hamka, Abdullah bin Nuh dan T. W. Arnold. Menurut T. W. Arnold dan Hamka, Nusantara telah membuka pintu bagi Islam yang sudah terjadi sejak  abad  ke -7 M.

Oleh karena itu dapat kita tarik benang merahnya, bahwa bangsa arab sudah aktif dan membuka diri dalam ruang lingkup perniagaan internasional sejak awal abad masehi.  Dalam teori ini, bangsa Arab telah lama mengenal jalur lintasan perniagaan melalui Samudera Indonesia. Terdapat pula Pendapat Abdullah bin Nuh dan D. Shahab yang mendukung  teori pertama ini. Mereka berpendapat bahwa Nusantara dan dunia Arab telah menjalin relasi dalam bidang perdagangan sejak abad ke-7.

Teori pertama ini didukung kuat oleh bukti dan sumber-sumber primer yang ada. Perkampungan perdagangan Arab yang berada di pantai Barat Sumatera merupakan bukti kuat asas teori ini, kemudian teori ini juga disokong kuat oleh sumber primer tulisan-tulisan yang dikarang oleh penulis arab yang mengindikasikan bahwasanya mereka telah sangat mengenal lautan Nusantara Diantara penulis-penulis Arab tersebut adalah Sulaiman (850), Ibnu Rusta (900), dan Abu Zaid.  

Teori kedua, pada abad ke-13 Islam baru menancapkan panji-panjinya di Nusantara. Penganut teori ini adalah para sejarawan dan kaum intelektual yaitu, C. Snouck Hurgronje, W.F Stutterheim dan pengarang buku Nusantara Bernard H.M. Vlekke. Mereka berdasarkan pada keterangan Marcopolo yang pernah singgah untuk beberapa lama di Sumatera untuk menunggu angin pada tahun 1292 M. Pada waktu Marcopolo singgah dia menyaksikan bahwa di Perlak yang terletak di ujung Utara pulau Sumatera penduduknya telah memeluk Islam. Namun, dia berstatement bahwa Perlak merupakan satu-satunya daerah Islam di Nusantara pada waktu itu.


Inilah teori Islamisasi di Nusantara yang dikemukakan oleh para ahli, adapun hal yang menarik setelah mengetahui teori Islamisasi di Nusantara adalah mencoba untuk melacak asal daerah Islam di Nusantara. Ada tiga pendapat yang menyatakan asal daerah Islamisasi di Nusantara.

Pertama berasal dari India. Islam Nusantara merupakan hasil garapan dari india, terutama dari Gujarat dan Malabar.  Pendapat pertama ini didukung oleh para ahli terkemuka, khususnya oleh sejarawan Barat seperti, W.F. Stutterheim, J.C. Van Leur, T.W. Arnold, Bernard H.M. Vlekke, Schrieke dan Clifford Geertz. Mereka lah yang mendukung pendapat pertama ini, mereka berasaskan kepada konteks kulturalisasi masyarakat islam di Nusantara pada waktu itu. Banyak kultur India yang di adopsi oleh masyarakat Islam Nusantara, baik hal yang berbau mistik ataupun social culture-nya. Teori tentang Indianisasi di Nusantara juga berpengaruh pada pendapat para ahli mengenai Islam yang berasal dari India, arus Indianisasi yang berasimilasi dengan kultur masyarakat Nusantara membawa dampak yang signifkan dalam arus sejarah Nusantara.

W.F. Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke sama-sama mempunyai asas pada pendapat pertama ini dengan berperspektif pada nisan sultan Malik Al-Shaleh yang mempunyai corak Hinduistis yang terdapat di Cambay yang merupakan pusat perdagangan Islam pada abad ke-13. Namun, pendapat Islam berasal dari India ini menimbulkan banyak perdebatan karena perspektif para ahli yang kontradiktif terhadap pandangan pertama ini. Pendapat Islam dari Gujarat ditentang oleh G.E. Marrison. Perbedaan pendapat ini mempuyai alasan bahwa Marcopolo menggambarkan Cambay pada tahun 1393 sebagai kota Hindu dan Gujarat sendiri baru dikuasai oleh muslim pada tahun 1297.

Kedua berasal dari Benggali (Bangladesh). Pendapat ini menyatakan bahwa Samudera Pasai berasal dari Benggali. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh S. Fatimi, seorang ahli dan guru besar asal Pakistan. Beliau berpendapat bahwa Kerajaan Samudera Pasai pasti berasal dari Benggali, dikarenakan Benggali dan Samudera Pasai sudah memiliki relasi niaga yang kuat sejak zaman purba. Menurut Tom Pires, banyak orang-orang Benggali yang bermukim di Samudera Pasai. Namun, pendapat yang kedua ini belum banyak didukung oleh bukti yang kuat. Pendapat ini ditentang oleh Drewes dengan menggunakan pendekatan ajaran fiqh. Menurutnya, Benggali penduduknya bermadzhab Hanafi, sedangkan mayoritas penduduk Nusantara bermadzhab Syafi’i.



Ketiga berasal dari Arab. Pendapat ini merupakan pendapat yang rata-rata dikemukakan oleh para cendekiawan muslim. Seperti Crawfurd, Keyzer, Nieman, de Hollander, Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya yang berjudul Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu dan para cendekiawan muslim Indonesia seperti Hamka dan Abdullah bin Nuh. Pendapat yang dikemukakan oleh Hamka melihat teori pada pendapat pertama dan kedua bahwa Islam berasal dari India dan Benggali merupakan bentuk propaganda, bahwasanya Islam yang datang ke Asia Tenggara merupakan sebuah cerita dan dongeng belaka.

Belum terlihat titik terang pada akar sejarah asal Islam di Nusantara, akhirnya para  tokoh-tokoh Islam di seluruh Indonesia mengadakan seminar yang membahas “Sejarah Masuknya Islam di Indonesia” sebagai topic utamanya pada tanggal 17-20 maret 1963 yang bertempat di Medan. Adapun tokoh-tokoh yang menghadiri seminar ini adalah Saefuddin Zuhri, Hamka, Abdullah bin Nuh dan D. Shahab. Hasil akhir dari seminar ini adalah membuat keputusan mengenai sejarah Islam di Nusantara sebagai berikut:

Bahwa menurut sumber-sumber yang kita ketahui, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke-Indonesia pada abad pertama Hijriyah (abad7-8 M) dan langsung dari Arab.
Bahwa daerah yang pertama didatangi oleh Islam ialah pesisir Sumatera; dan bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka raja Islam yang pertama berada di Aceh.
Bahwa dalam proses peng-Islaman selanjutnya, orang-orang Indonesia ikut mengambil bagian.
Bahwa Mubaligh-mubaligh Islam yang pertama-tama itu sebagai penyiar Islam juga sebagai saudagar.
Bahwa penyiaran Islam di-Indonesia dilakukan dengan cara damai.
Bahwa kedatangan Islam ke-Indonesia itu membawa kecerdasan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian Bangsa Indonesia.

C. Saluran dan Cara-Cara Islamisasi di Nusantara

Proses Islamisasi di Nusantara melalui proses yang panjang, melalui serangkaian proses yang memakan waktu yang lama, Islam datang dengan penyebarannya yang damai bukan dengan pedang. Kedatangan Islam ke Nusantara merupakan sebuah harapan baru untuk me-revounding bangsa yang terjebak dalam dogma dan tradisionalisme yang tertutup.  Penyebaran Islam diarahkan kepada kaum bangsawan dan rakyat khususnya. Islam memutus rantai kasta yang diciptakan oleh Indianisasi, sama rata atas semua golongan merupakan paham yang dianut oleh Islam, sehingga proses Islamisasi berjalan dengan baik dan lancar.

Selain itu situasi politik yang terjadi di Nusantara sedang mencapai klimaksnya. Perebutan kekuasaan serta kekacauan yang terjadi di istana,menjadikan Islam sebagai alat politik baik elite bangsawa atau pihak-pihak terkait yang mengincar kekuasaan. Pedagang-pedagang muslim yang memiliki posisi ekonomi yang kuat dikarenakan dapat memonopoli pelayaran dan perniagaan dijadikan mitra oleh para elite politik istana. Apabila kerajaan Islam telah berdiri, maka penguasanya akan melancarkan perang terhadap kerajaan yang nota bene non Islam. Jadi proses Islamisasi bukanlah berdasar persoalan agama tetapi lebih kepada persoalan politik bagi kaum elite istana kerajaan.

Islamisasi di Nusantara mempunyai saluran-saluran dalam proses penyebaran agama Islam di Nusantara. Saluran-Saluran Islamisasi di Nusantara yang berkembang serta diteliti, terdapat enam saluran dalam proses Islamisasi,   yaitu:

a). Saluran Perdagangan
Pada abad ke-7 hingga abad ke-16, Nusantara merupakan titik konsentrasi pelayaran dan perdagangan. Saluran perdagangan merupakan fase awal dalam proses islamisasi, pada fase ini pedagang-pedagang muslim baik dari Arab, Persia maupun India turut terlibat dalam perdagangan dari negeri-negeri barat, tenggara dan timur dari benua Asia.

Saluran islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan bagi perkembangan islam di Nusantara, dikarenakan para raja dan bangsawan turut ambil bagian dalam kegiatan perdagangan, bahkan merekalah pemilik kapal dan saham. Di beberapa tempat, para penguasa dan elite istana yang menjabat sebagai para bupati Majapahit yang berada di pesisir utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan hanya faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, melainkan lebih dikarenakan factor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang muslim.

Dengan demikian pada perkembangan selanjutnya, mereka mengambil alih perdagangan kekuasaan di sekitar mereka.

b). Saluran Perkawinan
Pada masa proses islamisasi di Nusantara, para pedagang muslim merupakan kaum elite yang berada di strata tingkat atas, jauh lebih baik dalam struktur social dibandingkan para penduduk pribumi. Dikarenakan status social para pedagang muslim yang lebih baik, sehingga penduduk pribumi, terutama puteri-puteri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri para saudagar. Sebelum melakukan perkawinan mereka di islamkan terlebih dahulu. Setelah menikah dan memiliki keturunan, maka lingkungan muslim makin meluas.
Jalur perkawinan ini merupakan proses yang menguntungkan, dikarenakan apabila terjadi proses perkawinan antara saudagar muslim dengan anak bangsawan maupun anak raja maka di kemudian hari akan mempercepat serta proses Islamisasi lebih fleksibel. Beberapa contoh yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung jati dengan puteri Kawunganten, Brawijaya dengan puteri Campa yang menurunkan Raden Fatah dll.

c). Saluran Tasawuf
Proses Islamisasi di Nusantara terkenal akan para sufi dan ahli tasawuf, yang mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka terkenal akan kearifannya dalam bidang keilmuan dan suri tauladan yang baik. Para sufi dan ahli tasawuf ini mahir dalam menyembuhkan penyakit serta magis yang digolongkan sebagai sarana dakwah dengan menganalogikan kebesaran Allah.

Ajaran tasawuf ini berkembang di abad ke-19 M, ajaran tasawuf ini mengajarkan pada “bentuk” Islam yang mempunyai persamaan pikiran dengan agama yangb mereka anut sebelumnya, yang sebagian besar beragama Hindu. Para ahli tasawuf yang terkenal ialah Hamzah Fansuri dari Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa.

d). Saluran Pendidikan
Pendidikan merupakan sebuah proses Islamisasi yang penting. Karakter gemar menuntut ilmu yang di sosialisasikan di Nusantara menjadi daya tarik pada proses Islamisasi. Dalam fase ini, para ulama, guru agama serta para kiyai merupakan actor penting yang berperan dalam saluran pendidikan ini. Lumbung ilmu yang dibangun bernafaskan pendidikan Islami yang bernamakan pesantren merupakan wujud proses Islamisasi melalui saluran pendidikan dalam langkah kongkret. Ulama pada masa ini merupakan sosok yang membangun pendidikan karakter maupun keilmuan pada proses Islamisasi. Contohnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri.

e). Saluran Kesenian
Proses Islamisasi melalui saluran kesenian merupakan sebuah startegi dalam pengembangan Islamisasi. Kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang, kesenian yang di pentaskan dan dijadikan sebagai sarana dakwah dimainkan oleh tokoh yang terkenal mahir yaitu Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga tidak pernah meminta upah pertunjukan, adapun demikian beliau hanya meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan sebagai alat Islamisasi, seprti sastra (hikayat, babad, dll), serta nilai estetika seni bangunan, dan seni ukir.

f). Saluran Politik
Pada daerah Sulawesi Selatan dan Maluku, para raja terlebih dahulu memeluk Islam, baru setelah itu para rakyat berbondong-bondong memeluk agama Islam. Indoktrinisasi politik dari para raja merupakan tonggak dalam tersebarnya agama Islam di daerah ini. Jika dilihat pada daerah Jawa dan Sumatera ataupun Nusantara di bagian Timur, terjadi peperangan antara kerajaan Islam dengan kerajaan non Islam, semuanya demi kepentingan politik. Karena kemenangan yang dipegang oleh kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu yang masuk Islam.

Demikianlah saluran-saluran serta cara-cara yang dilakukan dalam proses Islamisasi. Islam datang ke Nusantara dengan damai, bukan melalui pedang maupun pendudukan. Islam adalah agama   Rahmatan lil Alamin yang disebarkan di Nusantara, yang menjadikan perubahan secara signifikan terhadap penduduk pribumi, baik secara mind set ataupun transisi kebudayaan.


D. Perkembangan Islam di Nusantara Setelah Islamisasi

Setelah selesai pada fase Islamisasi. Islam berkembang sangat pesat di Nusantara, kerajaan-kerajaan bercorak Islam mulai mendominasi kerajaan-kerajaan di Nusantara yang pada awalnya bercorak Hindu-Budha. Pada era pra-kemerdekaan Islam sudah tersebar sampai ke pelosok Nusantara. Banyak hal yang menjadikan Islam di Nusantara berkembang dengan pesat, yaitu tentunya didukung oleh situasi dan kondisi Nusantara yang di koloni oleh penjajah.

Disamping itu ajaran agama Islam yang tersebar di Nusantara bersifat damai, adil, tidak diskriminatif, serta mempunyai hak kebebasan (al-Hurriyat)yang membuat Islam dapat berkembang dan masuk nalar pikiran kaum pribumi di Nusantara.

Jika berbicara mengenai peradaban Islam yang berkembang di Nusantara. Ada tiga indikasi mengenai perkembangan peradaban Islam di Nusantara,  antara lain:

Pertama, Birokrasi keagamaan, dengan berdirinya berbagai kerajaan bercorak Islam yang menggeser eksistensi kerajaan bercorak Hindu-Budha seperti Samudera Pasai, Aceh, Demak, Cirebon, Banten, Mataram, Goa, Ternate, Tidore yang telah membentangkan sayapnya di penjuru Nusantara hingga menjelang akhir abad ke-17 pengaruh Islam telah tersebar merata.

Kedua, Peranan Ulama, Ulama merupakan tokoh penting di balik layar penyebaran agama Islam di Nusantara. Lahirnya Ulama-ulama di Nusantara bukanlah hanya menjadi tokoh keilmuan di Nusantara saja, tetapi mereka juga diakui baik secara ketokohan maupun keilmuannya di luar Nusantara. Tokoh yang terkenal itu seperti; Syekh Nawawi Banten yang menulis tidak kurang dari 26 buah buku, yang terkenal diantaranya adalah Tafsir al-Munir. Banyak juga Ulama asal Aceh yang menulis buku seperti Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkel yang telah menuntut ilmu di Makkah dan Madinah.  Jadi Ulama-ulama pada masa itu merupakan hasil perkembangan peradaban Islam di Nusantara yang mempunyai tingkat keilmuan dan ahli dalam agama.

Ketiga, Arsitektur bangunan, kebudayaan serta peradaban Islam yang telah maju berkembang yang dibawa dari Arab, Gujarat maupun teori lainnya membawa kemajuan peradaban di Nusantara. Khazanah budaya bangunan Islam di Nusantara baik dari arsitektur maupun nilai estetika mempunyai tingkat kemajuan peradaban yang tercermin dalam bentuk berbagai bentuk dan miniature masjid Nusantara, pintu gerbang, keraton dan nisan makam.  Dengan demikian perbedaan latar belakang budaya, arsitektur bangunan-bangunan Islam di Nusantara berbeda dengan yang terdapat pada dunia Islam lainnya.

BAB III
KESIMPULAN

Dengan demikian dapat kita tarik benang merah dari pembahasan bahwasanya Islamisasi di Nusantara merupakan sebuah proses yang memiliki perjalanan yang panjang. Proses peng-akulturasian maupun peng-asimilasian merupakan sebagai bentuk strategi Islamisasi yang memunculkan sebab-akibat yang menarik untuk dipelajari.

Dimulai dari awal masuknya Islam di Nusantara yang memunculkan banyak teori serta melaui jalur perdagangan para pedagang Islam mengetahui daerah Nusantara. Kemudian melalui saluran-saluran Islamisasi di Nusantara yang antara lain saluran perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, serta politik merupakan fase dalam pembentangan sayap panji-panji agama Islam di Nusantara.

Setelah berkembang dan melebarkan sayapnya di Nusantara, Islam membawa Nusantara kepada tingkat peradaban yang lebih maju daripada sebelumnya. Kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang telah menggeserkan dominasi kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Budha yang telah lama mengukir kejayaannya di Nusantara.

Pada akhirnya Islam berkembang luas dan tersebar merata di Nusantara, bahkan dunia mencatat bahwasanya Nusantara merupakan Negara yang mempunyai penduduk muslim terbesar di dunia. Oleh karena itu, hendaknya sejarah mengenai peradaban Islam di Indonesia jangan sampai hilang tertelan oleh zaman dan paradigma masyarakat Nusantara era kekinian.

Eksistensi corak keislaman masa lalu haruslah dijaga hingga masa kekinian, pluralisme  yang telah ditanamkan oleh ajaran Islam harus terus di pertahankan jangan terkotak dalam segi dan dimensi yang berbeda. Sebagai sejarawan nilai-nilai sejarah dipertaruhkan di pundaknya, tongkat estafet beralih dari masa ke masa maka dimensi sejarah beserta nilai-nilainya merupakan sebuah amanah dan tanggung jawab sejarawan muda masa kini. Semoga apa yang saya tulis ini bermanfaat bagi sekarang dan ke depannya.


DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999)
Bernard H. M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan popular Gramedia, 2008)
Busman Edyar, Ahmad Ta’rifin, Ilda Hayati, Busahdiar (Ed.), Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PUSTAKA ASATRUSS, 2009)
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, jilid kesatu dan dua, tej. Gufron A. Mas’adi (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1999)
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Susanto (Ed.) , Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984)
Saefuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan kebangkitannya di Indonesia, (Bandung, Al-Ma’arif, 1981)
Taufik Abdullah (Ed.) , Sejarah Ummat Islam Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991)
Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984)






Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta