Berita Terbaru:
Home » , » Mayat Hidup

Mayat Hidup

Written By angkringanwarta.com on Saturday, January 25, 2014 | 08:26

ilustrasi
Oleh Rais Abdillah*

Gelap malam begitu sunyi. Tak ada gaduh. Hanya suara-suara bising knalpot motor-motor yang kadang lalu lalang. Begitu pun denganku. Aku seseorang yang tengah berada dalam sebuah kamar yang pengap tak berjendela.

Membayangkan suasana dalam sebuah kamar dan hanya seorang diri adalah hal yang paling tak kusuka. Sebab aku selalu membayangkan bayang-bayang hitam yang akan muncul tiba-tiba dari belakangku atau seketika ada tangan orang yang memegang pundakku dan saat  aku melihat ke belakang, aku akan melihat sosok wajah yang hancur dengan bola mata yang melotot.

Ketika aku sedang dilanda puncak ketakutan. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh telponku yang berdering. Pertanda ada telfon masuk. Kulihat telfonku, ternyata kekasihku yang menelfon.

“Halo..” Aku memulai percakapan malam itu.

“Sayang, besok temani aku ke pasar, yuk?”

 “Iya, jam berapa?” Jawabku.

“Jam sebelas siang.”

“Memang mau beli apa?”

“Mau beli peralatan kantor.”

“Ya sudah, nanti aku temani.”

“Makasih, yah?”

“Iya, nanti kamu yang datang ke tempatku saja, yah?”

“Iya. Aku tidur duluan, yah?”

Tutt…tutt… telfonnya pun ditutup. Kini, aku sendiri lagi. Dari pada aku terus-terus takut, lebih baik aku bergegas untuk tidur. Awalnya aku tak bisa tidur, tapi setelah aku paksakan, akhirnya aku tertidur juga.
***

“Tok..tok..” Aku mendengar ada seseorang yang datang. Aku melihat jam dinding menunjukkan pukul sepuluh lewat empat puluh lima menit. Mungkin orang yang mengetuk itu kekasihku. Aku pun segera membukakan pintu. Memang benar, yang datang ternyata dia.

Tepat jam sebelas siang kami berangkat, angkot KWK B.01 dengan nomor Plat B 7151 UF menjadi pilihan kami untuk ke sana. Mobil berwana merah yang kami tumpangi itu sudah agak usang. Warna cat dalam mobil hampir seluruhnya berkarat. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya dinding mobil berderit karena melintasi jalanan yang tak mulus. Mungkin baut-baut mobil itu sudah hampir lepas, jadi lempengan-lempengan besi itu selalu bunyi jika melintasi bebatuan.

Dari tempat kami ke pasar berjarak kurang lebih 30 kilometer. Saat ini kami sudah setengah perjalanan. Tapi di saat-saat aku dan kekasihku hampir sampai pasar. kami dikagetkan dengan adanya kecelakaan. Tepat di depan mobil yang kami tumpangi. Sebuah motor Mio merah yang dikendarai laki-laki paruh baya terpelanting ke samping.

Ia jatuh setelah berusaha menghindari anak laki-laki yang ingin menyebrang. Kepala pengemudi itu membentur trotoar. Lantas tergeletak begitu saja di tepi jalan.  Semua penumpang dalam mobil merah ini tercengang. Ada yang berteriak. Ada juga yang menutup mata sambil mengintip dari sela-sela jarinya. Ada juga yang diam saja. Satu per satu orang menghampiri untuk menolongnya. Tapi tak ada yang berani menyentuhnya karena sekujur tubuh korban sudah bersimbah darah.

Warna trotoar pun yang tadinya putih ke abu-abuan, kini sudah manjadi merah, merah darah. Mereka hanya menutup korban dengan Koran-koran bekas yang sudah lusuh.

“Kasihan sekali orang itu.” Ucap seseorang dalam kerumunan itu.

Mobil yang kami tumpangi berhenti sejenak untuk melihat tragedi itu. Korban hanya tergetak di pinggir jalan. Orang-orang tak ada yang menyentuh. Barangkali sampai ada perintah Polisi. Lima Polisi akhirnya datang dengan mobil pick upnya.  Empat Polisi mulai mengevakuasi korban. Sedangkan  satu Polisi lainnya sibuk mencari keterangan kejadian. Bisa jadi keterangan itu tak jauh dari 5W+1H, seperti yang aku pelajari di bangku kuliah dulu.

Namun, sebelum mayat itu dinaikkan ke mobil. Aku melihat ada serangga kelabang atau orang-orang menyebutnya si “kaki seribu” itu masuk ke tubuh mayat lewat mulutnya yang menganga.  Tatkala korban itu diangkat ke mobil pick up, tiba-tiba korban yang sudah menjadi mayat bangun dengan sendirinya.

Dengan wajah yang berlumuran darah, dan  mulutnya terus menganga sambil mengeram, “Arghh….! Argh…!” Semua orang berlari menjauh dari mayat itu, Tapi mayat itu menangkap orang-orang kemudian menggigittnya. Setelah digigit ia akan menjadi teman dari mayat itu, persis seperti zombie-zombie yang ada di film-film barat. 

“Mayat hidup! mayat hidup!” Orang-orang berteriak. Supir mobil yang kutumpangi juga langsung menginjak pedal gas dalam-dalam, Sopir angkot sangat ketakutan dengan mayat hidup itu. Siapa yang tidak takut dengan mayat hidup? Hampir semuanya takut. Boleh jadi Polisi juga ada yang takut. Aku sendiri sangat takut.

Belum lah lima menit, tapi mayat hidup itu sudah tersebar di mana-mana. Ketika mobil angkot ini sedang melaju kencang, di kejauhan ada tiga mayat hidup yang menghalangi mobil kami. Bola mata mayat hidup itu berwana merah, kulitnya putih, dan bibirnya selalu mengeluarkan air liur yang menjijikkan. Tangannya selalu menjulur ke depan seperti ingin mencekik. Syukurnya sebelum mobil sampai mayat hidup itu, sopir membelokkan mobil ke kanan jalan.

Kini kami sedang melaju di Jalan Raden Fatah 5, ternyata mayat hidup tadi terus mengejar mobil kami. Sialnya, di simpang jalan depan lampu lalu lintas sedang keadaan lampu merah.

“Terobos saja, Bang!” Teriakku pada sopir.

“Tapi kita akan ditilang jika menerobos lampu merah.” Ujar sopir.

“Biarlah. Lihat! Mayat-mayat hidup itu makin dekat.”

Setelah sopir menoleh ke belakang, memang benar mayat-mayat hidup itu sudah sangat dekat. Sopirpun menginjak pedal gas. Kami menerobos lampu merah. Lalu lintas jadi kacau balau akibat ulah kami. Lebih tepatnya gara-gara mayat-mayat hidup itu.

Benar apa kata supir tadi, akibat kami menerobos lampu merah tadi. Kini ada dua polisi lalu lintas yang mengejar kami. polisi itu ingin menilang mobil ini karena sudah melanggar lalu lintas. “Keadaan seperti ini, persetan dengan lalu lintas.” Benakku saat itu. Sudah dikejar mayat-mayat hidup, sekarang polisi juga ikut mengejar. Sial sekali.

“Bang, jangan ambil jalan lurus. Di sana rawan macet. Jangan sampai nanti terjebak.” Saranku kepada sopir.

Tanpa pikir panjang, sopir pun banting setir belok kiri. kami terus melaju kencang. Tak tahu kenapa ketika mobil ini belok kiri, para polisi yang tadi mengejar sudah tak lagi mengejar. Barang kali mereka sudah digigit mayat-mayat hidup yang tadi mengejar kami. sebab mayat-mayat hidup yang tadi mengejar kami menghilang juga.

“Bang, aku dan kekasihku turun disini saja.” Aku memilih turun di Jalan Hayam Wuruk Timur 1. Karena di sini terlihat masih sepi dari mayat-mayat hidup. Aku dan kekasihku segera mencari tempat persembunyian yang aman. Aku dan kekasihku melihat Jalan Hayam Wuruk Timur 2 sepi. Lebih sepi ketimbang jalan Jalan Hayam Wuruk Timur 1 tadi. Di sinilah aku dan kekasihku sejenak beristirahat.

Sekarang seluruh kota digegerkan dengan mayat hidup itu. Aku yakin dalam beberapa hari mayat hidup itu sudah sampai tetanggaku, bahkan serumah denganku. Aku hanya memikirkan bagaimana bisa pulang? Seandainya bisa, lewat mana? Di mana-mana sudah tercium aroma amis darah. Itu pertanda mayat sudah menyebar ke mana-mana.

Sirine polisi sudah terdengar di mana-mana. Suara tembakan pun sudah terdengar di seluruh kota. Tapi bagaimana mereka bisa mati ditembak, toh mereka sudah mati. Dengan bazooka boleh jadi mereka bisa mati. Sebab, bazooka bisa membuat badan mereka hancur lebur tak berbentuk.

Aku jadi ingat cerita yang dikisahkan Seno Gumira Ajidarma. Dimana Polisi melawan mayat hidup yang dari sekujur tubuh mayat itu mengeluarkan belatung-belatung busuk, belatung-belatung itu terus keluar dari lubang hidung, mata, dan telinganya. Menurut hikayat mayat hidup itu adalah korban-korban yang tewas tahun 1965 silam. Tepat pada peristiwa pembantaian orang-orang komunis. Tapi untungnya, mayat hidup sekarang tak seperti mayat hidup di cerita Seno Gumira Ajidarma. Mayat hidup ini hanya bermula dari kecelakaan. Hanya itu, tak ada sebab lain.

Lepas dari cerita Seno Gumira Ajidarma, aku melihat laki-laki tua mengenakan sarung dan berkopiah sedang berhadapan dengan mayat hidup. Sejenak kuperhatikan lagi, mulut laki-laki itu terus komat-kamit. Entah apa yang dibaca. wirid kah? Ayat Al-Quran kah? Atau mantra-mantra yang ia dapat dari gurunya? Aku juga tak peduli. Tapi mayat hidup itu terus saja mengejar laki-laki itu, sepertinya apa yang ia baca tidak mempan.

Mungin tak lama lagi laki-laki itu menjadi temannya.

Para polisi juga sudah kualahan menghadapi para mayat hidup, karena peluru yang ditembakkan itu, sama sekali tidak ampuh. Peluru Polisi hanya melambatkan jalan mayat-mayat hidup. Semua orang makin panik.

“Lapor Komandan! target begitu kuat. Pasukkan unit 21 sudah tidak sanggup. Segera kirimkan bantuan!” Teriak salah satu Polisi itu dengan Handie Talkie nya. Tak butuh setengah jam, datang para Tentara Pasukan Kopassus. Kali ini tak tanggung-tanggung. Mereka datang dengan Mobil Tank. Lengkap dengan senjatanya. Mudah-mudahan saja mereka bisa memusnahkan mayat hidup di kota ini, semoga saja.

Tapi sekarang aku tak mau mengurusi orang lain termasuk para polisi dan laki-laki bersarung tadi. Kini muncul 13 mayat hidup yang mengarah kepadaku dan kekasihku. Aku dan kekasihku sebisa mungkin berlari di sepanjang Jalan Hayam Wuruk Timur 2 itu. Kami terus berlari, dan terus berlari sekencang-kencangnya. sesekali aku menoleh ke belakang ternyata jumlah mayat hidupnya makin bertambah, sekarang mayat yang mengejar kami ada 23 mayat. Tapi herannya, walaupun kami terus berlari mayat itu bukan makin jauh tapi makin mendekat. Sejenak aku berpikir, Aku tak boleh terus lari di jalan raya yang lebar seperti jalan ini, itu membuat para mayat hidup mudah melihat kami. Kuputuskan untuk berlari menyusuri gang-gang kecil.

Akhirnya kami berlari ke sebuah gang yang tak begitu lebar. Malangnya kami ternyata gang itu buntu. Kanan, kiri, dan depan kami hanya dinding-dinding tinggi, Tak ada jalan keluar. Ketika kami berbalik badan. Kami hanya melihat 23 mayat itu makin mendekat menghampiri kami, makin mendekat, dan sangat dekat.

*Penulis adalah mahasiswa UIN Jakarta semester ‘senja’.


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta