Oleh Dede Supriyatna*
Secangkir kopi telah terhidang kembali, terhitung sudah tiga cangkir kami nikmati. Sepertinya kopi tak pernah terputus selama kami belum meninggalkan tempat duduk di atas pompa air, dan masing-masing antara kami menyebutnya "Sanyo".
Sanyo yang terletak di jalan Pesanggrahan samping UIN Jakarta, dengan keberadaannya bersebelahan dengan warung Tegal (Warteg). Sehingga memudahkan kami untuk memesan secangkir kopi.
Saat sedang asik menikmati kopi yang keempat, sambil menyilapkan obrolan ngalor-ngidul, dan secara tiba-tiba saya menyebutkan seorang penulis bernama "Iwan Simatupang."
Penyebutan saya terhadapnya, tak lain lebih disebabkan pencarian kepada salah satu novelnya yang berjudul "Koong," sebab diantara novel-novel yang lain, pernah saya nikmati, dan tinggal "Koong" yang belum saya sentuh.
Awal mula perkenalan saya dengan Iwan Simatupang, bermula dari cerita sahabat, seorang yang mungkin bisa dikatakan sebagai idolakan pri kelahiran Sibolga, 18 Januari 1928. Ia selalu bercerita tentang novel-novelnya, antara lain Merahnya merah, Kering, Koong, dan Ziarah.
Akhir ceritanya, ia memijamkan sebuah novel tipis berjudul "Ziarah." Sudah tiga kali saya membaca novel tersebut, namun masih terasa sukar untuk dipahami. Meskipun demikian, saya terlalut pada tokoh dalam novel, yakni "Tokoh Kita." "Tokoh Kita" juga hadir pada novel "Kering", sedangkan pada novel merahnya merah, laki-laki yang pernah belajar filsafat mencatumkan nama, tak lagi menyebutnya "Tokoh Kita".
Kala membaca tentang Ziarah kesan yang hadir adalah aneh, gila, unik, atau mungkin bisa dikatakan absurd, sebuah novel aneh, apabila dibandingkan dengan novel-novel karya lainya. Iwan bercerita bagaimana "Tokoh Kita" adalah seorang matan pelukis berbakat yang pada akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pengapur di pagar pemakaman.
Sedangkan "Tokoh Kita" pada novel "Kering" merupakan seorang pemuda yang cerdas, ia hidup di perkampung Transmigrasi. lalu perkampungan itu, dilanda sebuah kekeringan. Akibat kekeringan setiap warganya pergi mengusi, hanya satu orang yang tak pergi, yakni "Tokoh Kita," "Tokoh Kita" menjalankan rutinitas sebagai penggali tanah, hasil galian mengakibatkan galian yang begitu dalam.
Atas ucapan tentang Iwan Simatupang, akhirnya obralan kami beralih pada Iwan Simatupang, sebelumnya kami berbicara tentang politik, sosial, kehidupan kampus, rutinitas. "Koong," mengulang ucapan saya, ia sambil memiringkan kepala. "Entar saya coba tanya teman," ungkap Aisol.
Untuk berbicara Iwan, menurut saya, "ia merupakan seorang eksistensialis, lihat saja novelnya penuh pembrontakan, ia berbicara tentang manusia," lanjutnya. kala mendengarnya, saya hanya mengaguk. "Oh, iya saya tunggu novelnya."
Matan pendiri teater Altar membalasnya dengan senyum, sambil berujar "Pernah baca kumpulan cerpennya?" "Yang tegak lurus dengan langi, kalau yang itu, saya sudah pernah mambacanya."
Ia kembali mengaguk, sambil menuguk kopi hitam, ia kembali berujuar "kalau yang dramanya?" "kebetulan belum." Untuk sementara, saya ingin membaca "Koong, dan sudah lama mencarinya."
malam itu, (13/11) waktu telah menunjukan pukul 00.00 WIB, dan kami putuskan untuk mensudahinya.
* Catatan ini hanya sebatas catatan kala nongkrong
Home »
Tongkrongan
» Pencariaan "Koong" di Sanyo
Pencariaan "Koong" di Sanyo
Written By angkringanwarta.com on Tuesday, November 29, 2011 | 20:42
Label:
Tongkrongan