Berita Terbaru:
Home » » # KISAH NYATA #

# KISAH NYATA #

Written By Anonymous on Sunday, March 24, 2013 | 19:00


Aku sengaja pulang ke Semarang untuk menemui bapak di Rumah sakit. Sudah tiga hari bapak dirawat, karena sakit. kata dokter bapak sakit prostat, bapak harus segera dioperasi dikarenakan ada penyumbatan di saluran kencing. Sudah satu minggu lebih bapak tidak bisa buang air kecil. Semua harus dibantu dengan alat penyedot supaya bisa kebuang. Bapak tidak bisa makan ataupun minum, ia hanya mengandalkan infuse saja. Bukan hanya prostat yang ia derita tapi jantung juga, tapi itu cukup dibantu dengan obat. Bapak perokok berat, padahal anak-anaknya tidak didik untuk merokok.

Ada ibu yang setia menemani bapak, padahal ibu juga punya diabetes yang lama ia derita. Tapi ibu tetap setia menemani bapak yang tertidur di ranjang rumah sakit. Di rumah sakit di kota Salatiga bapak dapat rujukan harus ke rumah sakit Elezabet di kota Semarang, sebuah rumah sakit kristen dan paling besar sekota Semarang. Mahal memang tapi demi kesehatan bapak tidak masalah bagiku. Uang bukanlah segalanya, uang bisa dicari. Yang penting bapak bisa sehat kembali.

Ada Nasir, adekku yang juga menemani bapak dan ibu di rumah sakit. Nasir yang baru lulus sarjana Bahasa Arab belum banyak kegiatan, dan banyak waktu luang ia manfaatkan merawat bapak dan ibu. Ibu sangat menyayangi Nasir, ketika itu Nasir baru masuk semester 4 dia mendapatkan beasiswa kuliah di Mesir tapi Ibu melarang karena tidak mau jauh-jauh dengan anak kesayangannya. Maka nasir memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang lain. Hebat, dia tidak seperti aku. Dia pintar, dan aku tidak pintar. Dia beruntung bisa berkesempatan kuliah, sedangkan aku tidak seberuntung dia.

Bukan hanya Nasir, ada Taha yang juga baru nikah, ada Siroh adek bungsuku, ada Ahmad walaupun dia cacat tapi fikirannya dewasa dan rasa belanya begitu tinggi terhadap keluarga. Ada ponakanku Arif juga yang sedang kuliah ikut membantu. Ada Pik, adek perempuanku persis dibawahku ikut menemani bersama suaminya.

Kami keluarga besar ada 13 bersaudara, 1 meninggal dunia waktu kecil karena sakit.

Ada 5 saudara lagi yang merantau di Palembang, 3 kakakku dan 2 adekku, mereka tidak bisa pulang. Aku dan adekku Riful yang merantau di Jakarta, adekku juga tidak pulang karena istrinya sedang hamil tua.

Setelah lulus PGA, terpaksa aku harus bekerja mambantu adek-adek. Karena bapak hanya mengandalkan bekerja sebagai tukang tebang pohon. Adek-adekku jauh lebih beruntung dibanding aku. Tapi bagiku tidak apa-apa, aku jauh lebih senang dan bangga bisa membahagiakan ibu dan bapak, adek-adekku bisa mengeyam pendidikan lebih tinggi.

Aku masih terduduk di kursi, sebelah bapak. Kupandangi wajahnya yang lesu. Ibu dan adek-adekku pulang untuk istirahat. Tinggal aku berdua dengan bapak diruangan itu. Aku teringat di masa kecilku, aku bukanlah anak yang beruntung seperti anak-anak yang lain. Aku hanyalah seorang anak tukang penebang pohon.

Keluarga kami sering dihina, karena kami tidak punya apa-apa, kami miskin, tapi kami menjungjung tinggi harga diri. Bapak akan marah dan semakin marah jika ada orang yang menghina kami.

Dulu sekali waktu aku kecil, bapak pernah mendatangi sebuah rumah yaitu rumah seorang ibu guru yang menghina keluarga kami. Sampai sekarang aku tidak tahu apa yang menyebabkan bapak sampai begitu marah pada ibu guru itu. Yang pasti keluarga kami dihina.

Kami keluarga miskin tapi anak-anaknya banyak, itulah yang mereka  memandang kami sebelah mata.

Bapak sering mendatangi rumah orang-orang yang mengeye’ kami. Menghina kami. Mengucilkan kami. Aku masih ingat orang-orang yang menghina kami.  

Kini mereka tidak berani lagi menghina ataupun mengucilkan kami. Bahkan sekarang mereka justru menghormati bapak, menghargai bapak, dan kami sekeluarga. Mereka salut kepada keluarga bapak, lahir sebagai anak miskin tapi mampu mendidik anak-anaknya soleh dan sekarang jauh lebih mampu berbuat lebih. Bukan hanya mereka bapak dan ibu, bangga pada anak-anaknya. Dan aku sebagai anak bangga pada bapak, yang hanya sebagai penebang pohon.

Perjuangan bapak begitu panjang dan berat. Bapak sangat menjunjungi tinggi harga diri. Aku masih ingat kata-kata bapak, yang kini menjadi prinsip hidupku.

“ walaupun kita miskin, tapi harga diri kita tidak miskin…”

Masih kupandangi wajah bapak yang masih menutup matanya. Aku sangat menyayangi bapak, rasanya seperti ada yang menyumbat di tenggorokanku dan mataku membendung air mata, aku menangis.

Bapak mendidik anak-anaknya dengan keras bahkan enggak tanggung-tanggung bapak menggunakan dengan kekerasan ia jadikan anaknya takut, takut untuk berbuat nakal.

Aku juga masih ingat, dulu aku dipukuli bapak pakai kayu sampai kakiku merah dan bengkak. Ibu hanya menangisi tak mampu berbuat apa-apa. Ibu memelukku dan mengolesi kakiku dengan minyak. Bukan hanya aku, kakak dan adekku juga pernah merasakan kekerasan dari bapak.

Kejam. Bapak mendidik kami dengan kekerasan fisik. Aku dan yang lainnya takut sama bapak. Dari ketakutan itu membuat kami menjadi disiplin, bekerja keras, tidak gampang menyerah, semangat, dan menjadi pribadi yang kuat.

Dulu waktu kecil, mungkin aku berumur 4 tahunan karena dulu aku sudah mempunyai 2 adek perempuan. 2 tahun sekali Ibu melahirkan anak. Umur sekecil itu aku sudah mempunyai adek.

Waktu itu aku dan kedua kakak laki-lakiku Kang Nawir dan Kang Hamid pergi bersama bapak ke hutan. Kata bapak kalo bisa menebang pohon bapak akan mendapatkan uang lebih. Dan itu bisa membantu biaya sekolah. Kami bertiga disuruh membantu bapak.

Pada hari Jum’at pagi, kami berempat berangkat dengan truk pengangkut barang kayu yang kami tumpangi. Aku yang paling kecil digendong sama Kang Nawir menaiki truk dan aku duduk dipotongan kayu besar dan tanganku belum cukup kuat untuk memegang besi menahan angin yang membawa tubuh kami. Saat itu aku sangat takut, tapi kang Nawir membimbingi tanganku dengan tangan Kang Nawir untuk memegang besi pegangan yang menempel di belakang bak mobil.

Sesampainya di hutan yang dituju, kami beremat turun, kembali aku digendong untuk turun dari mobil sama Kang Nawir. Bapak bawa gergaji besar dan kang Hamid bawa golok yang dibawa dari rumah.

Bapak menyuruh kami untuk berdiri dibelakang bapak, aku tidak tahu apa yang dilakukan bapak. Cukup lama. Bapak seperti berbicara dengan seseorang tapi aku tidak tahu dengan siapa.

Setelah aku sekolah di PGA, baru aku tahu kalau bapak mempunyai kelebihan melihat dan masuk kedunia ghaib. Dan itu menurun padaku dan adekku Tasim, yang sekarang juga bekerja sebagai penebang pohon meneruskan bapak.

Aku yang paling kecil disuruh sama bapak untuk membereskan ranting-rantingnya saja, sedangkan Kang Nawir dan Kang Hamid disuruh memotong kayu dengan golok.

Mungkin saat itu mereka masih berumur 6 tahunan dan 8 tahunan, umur yang masih kecil dipaksa untuk memotong kayu yang begitu keras. Sulit kubayangkan, begitu kerasnya hidup ini.

Matahari sudah meninggi, panas terasa. Bapak masih memotong pohon, ototnya begitu besar, ditubuhnya terus mengeluarkan keringat, tapi ia tanpa lelah bapak terus memotong belahan kayu. Kupandangi bapak, rupanya bapak melihatku. Dia tersenyum padaku dan menyuruhku dengan cepat memberekan ranting-ranting. Maka akupun dengan cepat membereskan.

Waktu sholat jum’at sudah mulai mendekat. Padahal kayu yang akan dipotong masih banyak. Mobil pengangkut kayu juga sudah datang. Potongan kayu itu diangkut ke mobil satu per satu.

Ada satu pohon lagi yang belum sempat dipotong-potong. Satu pohon besar. Sedangkan mobil sudah penuh. Jika dipotong-potong, waktu sholat jum’at takkan bisa keburu.

Bapak bilang sama pak sopir untuk jalan duluan. Aku dan kedua kakakku terheran, pohon yang masih utuh walaupun tanpa daun-daun bisa keangkat sama bapak. Betapa beratnya satu pohon bisa keangkat. Bapak terus berjalan dengan cepat, aku dan kedua kakakku mengikuti bapak dibelakang.

Sesampainya di gudang pengumpulan kayu juga terheran dengan apa yang diangkut bapak.

“ Pak Ratman, ?...” Pak Darwa, si supir truk tadi yang terheran melihat bapak mengangkat satu pohon utuh. Bapak hanya tersenyum menahan beratnya pohon. Pak Darwa membantu bapak menurunkan pohon dibawah dan  menyuruh bapak dan kami untuk istrirahat. Tapi kami harus segera bergegas pulang untuk melaksanakan sholat Jum’at.

Kata Pak Darwa didekat sini ada mesjid bisa sholat disana, kami menuruti Pak Darwa. Dan akhirnya kami bisa melaksanakan sholat jum’at berjamaah.

Setelah sholat, kami beristirahat di mesjid itu. Kedua kakakku tertidur di mesjid, aku dan bapak yang tidur-tiduran saja di mesjid.

Bapak bilang padaku. Supaya jangan sampai meninggalkan sholat jum’at, karena itu adalah kewajiban kita sebagai umat muslim. Kami sekeluarga dididik dengan agama yang kuat, itu penting. Pendidikan agamalah yang paling utama. Karena dengan agama, iman yang kuat kita menjadi pribadi yang dekat dengan Tuhan.  Aku hanya mengangguk ucapan bapak.

 “ nggih pak… “ kata yang selalu aku ucapkan sama bapak sampai sekarang.

Setelah aku sekolah di PGA, bapak baru menceritakannya pada kami, ketika bapak mengangkat pohon seberat itu. Bapak dikasih tau sama pak kiai, dalam keadaan terdesak baca ayat 7x tanpa nafas disalah satu surat di Alqur’an, Insya Allah akan bisa melewati rintangan-rintangan.

Dan aku baru mengerti, bapak memang orang yang hebat. Lalu bapak bilang, “ ini semua atas izin Allah, jika ia berkehendak “.


*****

Sesampainya dirumah, ibu belum masak padahal sepulang dari hutan tadi perutku lapar sekali. Bukan hanya aku, bapak dan kedua kakakku juga sama.

Bapak nanya sama ibu, kenapa belum masak. Bapak sedih ketika mendengar apa yang dibilang ibu. Bapak hanya minum saja. Kang Nawir mengajakku kerumah Bu De Siti, untuk membantu bungkusin kedelai ke daun untuk dijadikan tempe.

Aku, Kang Nawir dan Kang Hamid kerumah Bu De Siti. Bu De Siti baik hati jika kami sudah membantunya kami selalu dikasih tempe untuk dijadikan lauk. Kang Nawir memasukkan kedelai kedaun dan sesekali dimasukannya kemulutnya untuk dikunyah, dimakan. Dan diikuti oleh adeknya Kang Hamid dan aku juga. Aku hanya tertawa kecil melihat tingkah Kang Nawir.

“ tapi jangan sampai ketahuan Bu De ya… “ kang nawir bisik-bisik padaku, aku hanya mengangguk-ngangguk saja.

Kebiasaan ini, kami sering lakukan kalo dirumah tidak ada beras untuk dimasak.

Sepulang dari rumah Bu De Siti, kami dikasih upah 2 potong tempe untuk dimasak. Jika aku teringat masa-masa sulit itu, rasanya ingin menangis.

Sampai dirumah, aku dan kakak-kakakku heran melihat di meja makan ada makanan. Aku bertanya sama ibu. Kata ibu itu dari Pak De Warsiman, dia syukuran aqiqah cucunya.

Bapak juga baru datang dari kota mengambil upah dari menebang pohon dan membawa satu kantong pelastik hitam yang berisi beras. Ibu menyuruh kami semua untuk makan. Semua mengumpul dimeja. Semua dibagi satu orang piring kosong, kemudian ibu membagi nasi dari piring satu ke piring yang lain. Sedikit sekali jatahku, ibu mengorek-ngorek nasi dipiringku supaya kelihatan banyak. Ibu tersenyum padaku, aku hanya diam dan menuruti ibu. Ibu tidak kebagian nasi ataupun lauknya, ibu hanya menyomot dari piring satu ke piring yang lain. Ibu tak mengambil jatah nasi di piringku. Ibu kembali tersenyum.

“ cepat makan habiskan nasinya..” Ibu padaku.

Nasi sudah habis padahal perutku masih lapar. Tapi aku tahan, aku hanya minum dan terus minum seperti yang dilakukan bapak.

“ kalau kamu lapar, kamu minum saja nanti lapar kamu akan hilang “ bapak padaku. Aku hanya mengangguk saja. Walaupun aku minum banyak rasa laparku tidak hilang. Sedih rasanya jika aku membanyangkan saat itu. Terkadang kami hanya makan nasi dan garam saja, itu sudah cukup beruntung bagi kami.

***

Mbak Umi, anak pertama bapak selalu setia memandikan aku dan kedua kakakku. Kang Nawir dan Kang Hamid. Terpaksa tidak melanjutkan sekolah. Hanya sampai kelas 4SD saja. Mbak Umi pernah bilang padaku, Kang Nawir dan Kang Hamid.

“ aku hanya seorang perempuan, kalian adalah laki-laki, kalian harus sekolah supaya pintar… “ Saat itu Mbak Umi menangis, kedua kakakku menangis aku juga menangis.

Ketika aku berangkat ke sekolah, ibu tak memberiku uang ongkos apalagi uang jajan ke sekolah padahal sekolahku sangat jauh harus 2 kali naik angkot. Karena aku masuk di sekolahan yang tidak semua orang bisa masuk ke sekolah itu. PGA, Pendidikan Guru Agama. siapa yang bisa sekolah disana akan menjadi seorang guru, banyak diantaranya adalah anak-anak guru, bahkan ada anak guru yang tidak bisa masuk. Tapi aku mampu masuk kesekolahan itu. Walaupun aku tidak pintar, tapi aku ingin pintar.

Jika diteruskan diperguruan tinggi, peluang untuk menjadi seorang guru akan besar. Tapi aku tak mempunyai biaya jadi terpaksa aku merantau ke Jakarta.

Saat aku mau berangkat ke sekolah, tidak ada uang untuk ongkos. Aku pernah dikasih tau oleh seorang pak kiai guru ngajiku, membaca sebuah surat di dalam Alqur’an sebanyak 3x tanpa nafas Insya Allah akan selamat. Dalam keadaan terdesak, aku melakukan itu lalu apa yang terjadi ?..

Pak kondektur tidak menarik uang ongkos padaku bahkan seolah aku tidak dilihatnya. Ini sering aku lakukan jika aku tak ada uang sepeserpun. Ini semua atas Izin Allah.

Aku menceritakan ini kepada bapak, bapak hanya bilang. Jangan jadikan ini sebagai prinsip hidup. Karena dalam keadaan terdesakpun, jika Allah tidak berkehendak tidak akan pernah terjadi.

Aku mengerti maksud bapak, walaupun aku bisa melihat dunia ghaib jangan jadikan syirik tetap menjunjungi tinggi kepada Allah SWT.

Pik adek perempuanku yang selalu memberikan uang padaku, hasil upahnya kerja membuat keranjang ikan. Dari seratus keranjang ikan dihadiahi Rp. 100 atau sekarang menjadi Rp. 1.500 untuk seratus keranjang ikan. Nilai yang sangat sedikit sekali. Tapi saat itu nilai yang cukup berarti bagi kami. Pik, sekolah hanya sampai SD saja. Dia rela tak sekolah demi kakak-kakaknya supaya sekolah tinggi. Ngiris hatiku. Ketika semua saudara perempuanku memberikan yang dia punya padaku, pada kakakku.

Menanggung beban yang berat sebagai laki-laki, tanggung jawab yang besar. Bapak pernah bilang.

“ sebagai laki-laki, kamu harus mendem jero mikul duwur..” berat sekali maknanya. Ya aku sebagai laki-laki harus kuat, kuat melindungi keluarga.

***

Aku masih terduduk di kursi sebelah bapak. Masih kupandangi wajah bapak. Seorang bapak yang bertanggung jawab. Tanggung jawab seorang ayah begitu berat. Bapak mampu membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan soleh. Bapak adalah seorang ayah yang hebat. Bisa menciptakan anak-anak yang mampu melewati semua rintangan dalam hidup ini.

Kini aku sebagai seorang ayah, memikul tanggung jawab besar sebagai seorang ayah untuk anak-anakku. Anakku 3, dua laki-laki satu perempuan. Mungkinkah aku sehebat bapak dengan mempunyai 13 anak ?

Sungguh berat. Dulu dan sekarang berbeda.

Aku tak mau mendidik anak-anakku dengan kekerasan seperti bapak dulu. Dan aku ingin menjadi seorang ayah yang mendidik anak-anakku dengan lemah lembut walaupun anak-anakku terkadang membentakku.

***

Mbak Umi, Kang Nawir dan Kang Hamid baru datang dari Palembang sengaja untuk menemui bapak di rumah sakit. kami berempat menangis, menangis dalam haru, menangis seperti 33 tahun yang lalu. Ketika aku, kang Nawir dan kang Hamid dimandikan sama Mbak Umi.

Melihat bapak tergolek lemah di ranjang rumah sakit.

Bapak dibawa keruang operasi oleh dokter dan suster. Kami sekeluarga harus menunggu diluar. Tak boleh masuk. Aku berdoa dan kami semua berdoa, demi bapak.

Setelah menunggu 2 jam, operasi sudah selesai dan bapak selamat.

Bapak dibawa ke ruang no. 1 dan kami sekeluarga kumpul semua. Ibu dan Mbak Umi menangis dan kami semua menangis. Baru kali ini aku melihat bapak yang keras, lemah menangis.

“ Matur Suwun…. “ bapak menangis.

Dan aku tak tahan ingin menangis. Tapi dalam tangisku menyimpan rasa kasih dan sayang pada bapak. Inilah kisah nyata dalam hidupku.

(Oleh: Dede Damayanti)


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta