Berita Terbaru:
Home » » Jalan Aspal Bulan Lima

Jalan Aspal Bulan Lima

Written By angkringanwarta.com on Saturday, August 13, 2011 | 14:55

Oleh Abdullah Alawi

Masyarakat kampung Pojok terharu melihat drum-drum yang ada di pinggir jalan itu. Katanya berisi aspal. Sebentar lagi jalan mereka akan hitam seperti di kota. Cita-cita yang ditunggu bertahun-tahun kini hampir terlaksana. Mereka masih ingat dengan merelakan sebagian tanahnya untuk pelebaran jalan. Pohon kelapa, nangka, rambutan yang sedang berbuah diruntuhkan. Menurut pak kades, jalan kampung Pojok akan diaspal pada bulan lima tahun itu juga.


Tapi bulan lima tahun itu pengaspalan tidak jadi. Masyarakat bertanya-tanya, tapi tak ada jawaban yang pasti. Pak kades jarang ada di kantor desa. Di rumahnya pun isterinya menggeleng kepala. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Tak kuasa menagih janji. Kalau pun ada yang berani, mereka akan mendapat janji yang lain. Yang melenakan. Janji di atas janji. Mereka hanya bisa bersabar. Orang sabar disayang Tuhan. Mungkin bulan lima tahun depan. Mereka akan menunggu sambil membajak sawah, menyiangi kebun, membabat huma. Dan tetap membayar pajak karena pak kadus tak pernah absen menunaikannya meski kakinya sudah reumatik.


Bulan lima tahun kemudian datang lagi. Ketika masyarakat kampung Pojok menanyakan perihal pengaspalan, pak kades menerangkan dengan berbelit-belit dan panjang lebar, yang tak sepenuhnya dimengerti. Lalu mereka pun pulang dengan menggondol tanda tanya, “ada apa dengan pak kades?” Akhirnya mereka kembali mencangkul sawah, menyabit rumput, menggembala kerbau, menyiangi kebun, membabat huma. Mereka kembali menunggu. Mereka orang-orang sabar. Orang sabar kan disayang Tuhan. Dan tentu saja tetap membayar pajak. Itu wajib! Karena pak kadus tak pernah absen menunaikannya meski kakinya belum sembuh dari reumatik.

Bulan lima datang lagi dengan harap-harap cemas. Lalu pergi tanpa pamit. Tanpa membawa aspal. Tanpa stoom. Mungkin tahun depan. Mungkin tahun depannya lagi. Ketika pemerintahan desa berganti, mereka berharap pada pemerintah desa yang baru. Tapi ketika ditanyakan, mereka hanya mendapatkan jawaban demikian, “Itu urusan pemerintah yang lalu, kami tidak tahu-menahu.” Kades yang baru sama saja. Tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Beda orang, tapi sistemnya sama.

Beberapa orang tua ada yang mati. Sebelum mati, orang itu bilang pada anak-anaknya, “Bulan lima jalan kampung kita akan diaspal.” Orang-orang yang mendengar bertanya hampir berbarengan, “Bulan lima tahun kapan?" Tapi orang tua itu tak memberi jawaban karena keburu meregang nyawa. ?” Orang tua itu mati membawa kepenasarannya. Anak-anak pun banyak yang lahir. Generasi yang akan mendapat kabar dari orang tuanya bahwa kampung Pojok akan diaspal bulan lima.
Akhirnya, masyarakat kampung Pojok berkesimpulan, jalan mereka akan diaspal bulan lima. Cuma peremasalahannya, entah bulan lima tahun kapan. Mereka tak bisa menentukannya.

***

Dan kini drum-drum aspal itu mulai dipanaskan. Stoom merayap seperti ulat meratakan batu kerikil. Para pekerja begitu sibuk. Ibu-ibu dengan suka rela membawa ceret dan gelas buat mereka. Anak-anak memperhatikan dari kejauhan. Orang–orang menunda pergi ke sawah dan kebun. Mereka hampir tak percaya akan pandangan sendiri. Jalan kampung Pojok akan hitam dan rata seperti di kota. Mobil dan motor akan lewat dengan mudahnya.

Tapi pengaspalan bukan pada bulan lima, melainkan bulan dua belas. Masyarakat hampir lupa kabar pengaspalan bulan lima. Dalam pikiran mereka, yang penting sekarang adalah, jalan diaspal. Tapi para orang tua yang ingat betul akan amanat orang tuanya yang sudah mati, sedikit heran, kenapa bukan bulan lima. Ini tidak sesuai dengan janji leluhur. Mereka digelisahkan oleh tanda tanya itu.

“Aku bermimpi almarhum orang tuaku datang. Dia bilang, jika pengaspalan terjadi bukan bulan lima, jalan tidak akan bertahan lama. Selain itu, akan datang petaka yang belum pernah terjadi.” kata salah seorang ketika ngobrol bersama teman-temannya di pos ronda.

“Apa maksudnya mimpi itu?”

“Aku sendiri tidak paham.”

“Bisa jadi ada suatu hal yang tidak kita inginkan.”

“Sebenarnya aku juga berpikir seperti itu. Pengaspalan jelas tidak sesuai dengan apa yang dikabarkan orang tua kita.

“Aku takut terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.”

Akhirnya mereka sepakat akan bertanya perihal pengaspalan jalan kepada para pekerja esok hari.

“Kenapa pengaspalan jalan bukan bulan lima?”

“Kami tidak tahu-menahu soal itu. Kami hanya pekerja. Cuma menjalankan tugas. Coba tanya pada mandor kami," jawab pekerja itu sambil menunjuk kepada orang yang memakai topi, berpakaian rapi, berkacamata dan sepatu hitam mengkilap.
Meski ragu, orang itu mendekati mandor.

“Pak, kalau boleh saya tahu, kenapa pengaspalan jalan ini bukan bulan lima?”

“Memangnya kenapa?" orang itu balik bertanya.

“Setahu kami, pengaspalan jalan terjadi bulan lima. Begitulah orang tua kami menceritakan.”

Mandor itu tertegun sebentar, kemudian tersenyum. “Kalau soal itu kami tidak tahu-menahu. Kami hanya menjalankan tugas atasan kami. Pada bulan satu nanti akan ada pilkada. Pemilihan bupati dan wakil bupati.” Kemudian mandor itu membisikan sesuatu ke telinga orang itu. Entah membisikan apa.

Meski tidak mengerti sepenuhnya, orang itu mengangguk-angguk. Tapi dalam hatinya bertanya-tanya, kenapa pengaspalan jalan dihubung-hubungkan dengan pilkada, calon bupati dan wakil bupati yang tak dikenalnya. Bukankah pengaspalan jalan pasti terjadi karena sudah janji leluhur, tanpa ada pilkada sekali pun. Dia bingung bercerita kepada teman-temannya.

Pada hari berikutnya, mandor membagikan kalender kepada seluruh warga kampung Pojok sambil membisikkan sesuatu. Tapi mereka kembali tidak paham. Kenapa pengaspalan dihubungkan dengan kalender.

***

Akhirnya pengaspalan jalan pun selesai. Para pekerja pulang bersama stoom dilepas oleh pandangan anak-anak yang merasa kehilangan. Jalan kampung Pojok sekarang hitam dan rata.

Motor-motor berseliweran. Kadang-kadang mobil pun datang. Kalau sore, jalan aspal kelihatan ramai. Orang-orang kampung tetangga banyak yang datang hanya sekedar melihat-lihat. Kemudian anak-anak merengek minta dibelikan sepeda. Kalau tidak, dia tak mau makan dan tak berangkat sekolah atau mengaji. Orang tuanya terpaksa menjual kambing. Anak-anak muda mengasah golok setajam-tajamnya, lalu mengancam orang tuanya untuk dibelikan motor. Hatinya panas karena kekasihnya dibonceng pemuda lain. Orang tuanya terpaksa menjual kerbau atau sawah. Kredit motor merebak.

Tanpa diduga, maling pun berkeliaran. Dengan mudah mereka mencungkil palang pintu dapur atau merobek bilik dengan golok. Kemudian kabur lewat jalan aspal. Kalau ada yang tertangakap, dibakar hidup-hidup. Hal yang tidak pernah terjadi dalam catatan ingatan orang kampung Pojok. Para orang tua menggeleng-gelengkan kepala. Mereka semakin yakin bahwa pengaspalan tidak sesuai dengan yang diceritakan almarhum orang tuanya. Bukan bulan lima. Dan akhirnya membawa petaka.

Enam bulan kemudian, aspal itu habis. Jalan kampung Pojok rusak berat. Kirikil-kerikil aspal copot. Anak-anak sudah bosan dengan sepeda karena pantatnya sakit. Anak-anak muda bosan dengan motor. Konon, calon bupati yang gambarnya ada di kalender itu menang. Mandor pengasapalan jalan sekarang jadi pejabat penting. Dia sudah lupa akan warga kampung Pojok.

Ciputat 25 Desember 2007
untuk segenap warga kampung Cilulumpang



Share this post :

+ komentar + 1 komentar

August 21, 2011 at 10:05 PM

mantap..

Post a Comment

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta