Berita Terbaru:
Home » » 510

510

Written By angkringanwarta.com on Thursday, October 06, 2011 | 20:37


Oleh Abdullah Alawi*

Makhluk kuning bernomor 510 itu berhenti di perempatan Pasar Rebo. Nyaris harimau luka, meraung. Tapi sebentar. Kemudian seperti air mendidih 100 derajat celcius. Tapi makhluk itu bukan harimau.

Sekarang mirip buaya lapar, menganga di tepi kali. Barangkali ada calon mangsa yang mendekat. Tapi bukan pula buaya karena mulutnya tidak di kepala, melainkan di sebelah kiri perutnya. Dua jumlahnya.
Bus 510!

Puji Tuhan. Satu per satu mangsa mendekat. Mereka ditelan tanpa seleksi. Laki atau perempuan. Muda atau renta. Dan faham, mustahil ada kursi kosong. Mereka berdiri. Berdesakan seperti kelereng dalam kaleng.

Sekiraa 10 menit, makhluk kuning bernomor punggung 510 itu penuh sesak. Sudah saatnya pergi. Tapi dia seperti koruptor. Pantang kenyang. Enggan ngeloyor sebelum koruptor di belakang setor muka. Sementara sopir seperti siluman, entah dimana.

Dengus mesin bergetar, mengguncang-guncang seisi tubuhnya. Tapi ini gerak tipuan, seolah akan langsung pergi. Dia menepi.

Penghuni di dalam perutnya mengutuk dalam tujuh bahasa. Tapi tidak bisa berbuat banyak. Keringat meleleh di sekujur pori-pori. Jendela yang terbuka tak berfaedah karena angin malas datang. Dan nafas dari mulut dan hidung mereka seolah mengandung api. Mereka mengukus diri sendiri.

Kondektur berseragam personek berteriak, “Puta, Puta, Puta,” huruf t dilipatnya di ujung bibir. Dia belum puas hanya membuang “ci”.

“Udah penuh, Bang!” sela satu suara.

Sang kondektur tak berkomentar. Ngeloyor ke lampu merah. Tak lama, dia membawakan kopor hitam. Di belakangnya seorang ibu berhias keringat terseret-seret. Mendapati penuhnya bus, ia tertegun sebentar. Pikirannya barangkali bertanya, bagaimana mungkin tulangngnya yang keropos mesti berdesakan dengan belulang bugar. Tapi masuk juga. Mau tidak mau.

“Bang geser, bang. Ke dalam, ke dalam! Tasnya di depan. Tasnya di depan! Dua baris! Itu masih ada yang kosong. Geser bu, geser!” kondektur seolah komandan merapikan barisan serampangan. Berhambur tanda seru.

Seorang ibu muda berhenti di ambang pintu. Menatap bus sejenak. Seolah menimang, bagaimana mungkin tubuh kenyalnya bergesekan dengan pria-pria tak bertuan. Tapi apa boleh buat. Muncul pula tanda seru: segera pulang! Matahari tunggang gunung. Suami dan anak-anak manis menunggu. Ia pun naik sambil meringis.

“Bang, jalan aja. Udah penuh!” satu suara menyeru. Tapi tak jelas raga wadagnya. Mungkin karena itu dia berani.

“Kalau pengen cepet, naik taksi aja! Suruh siapa naik bus? Ayo turun! Saya carikan taksi sekarang. Ayo, siapa mau turun?” tukasnya. Bernada ancaman.

Beberapa saat dia menunggu jawaban. Tapi Bungkam. Pemilik suara seolah menyesal dengan kata-katanya sendiri.

Kondektur bersungut-sungut pergi.

Penumpang kini memenuhi ambang pintu. Laiknya zaman revolusi fisik di tahun 45 saat negeri ini dicengkeram penjajahan. Tapi mereka tak ada yang teriak merdeka. Bungkam malah. Hanya mendengar ratap nafas sendiri yang sesak.

Nasib mereka tak beranjak dari penderitaan nenek moyangnya 66 tahun lalu.
Entah dari mana munculnya, sang sopir sudah bertengger di belakang kemudi. Saat itu, di belakangnya, makhluk kuning yang bernomor punggung sama, menggeram.

Kemudian balas menggeram. Seolah tabik bermakna: ya, saya berangkat. Ia pun mengelesot sempoyongan. Masuk tol, menyatu dengan harimau-harimau lain yang gesit.

Di tengah tol, bus rongsokan ibarat harimau tua kekenyangan. Dia berjalan meliuk-liuk, berderak, berdecit. Lambungnya mengeliat-geliat. Tapi penghuni di dalamnya tampak lega, sedikit terbebas dari kukusan atas belas kasihan angin yang menerobos jendela.

Kondektur menelusup, menagih ongkos dengan ulet. Tak satu pun yang abai dari matanya. Uang Rp 2.500. 00 terulur dari tiap tangan.

Di perempatan Lebak Bulus, harimau tua itu tak tahan. Perutnya menggeliat-geliat mual. Dia memuntahkan beberapa penumpang yang langsung pergi tanpa menatapnya. Seolah baru saja terbebas dari tempat terkutuk. Tapi besok naik lagi.

Di terminal Lebak Bulus, bus kembali muntah. Di Pasar Jumat, Gintung, Rempoa, Kampung Utan, Legoso, Ciputat.

Coba Saudara tanya kepada setiap penumpang yang turun dari bus kuning serakah itu, berapa tahun Indonesia merdeka? Atau, apa benar-benar sudah merdeka?
*Penulis lepas, pernah menjadi ketua Rimasi


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta