Berita Terbaru:
Home » » Surah Al-Fatihah dalam Hermeneutika, Ilmu Balaghah dan Qowaidah Bahasa

Surah Al-Fatihah dalam Hermeneutika, Ilmu Balaghah dan Qowaidah Bahasa

Written By angkringanwarta.com on Monday, October 31, 2011 | 19:20

Oleh Muhyi
Al-Fatihah adalah surah yang pertama terdapat dalam kitab al-Quran, surah ini juga yang sering orang muslim baca ketika shalat, karena berdasarkan pada firman Allah ta’ala dalam hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, dari nabi SAW:
قال الله تعالى : قسمت الصلاة بينى وبين عبدي نصفين ولعبدي ماسأل
Oleh sebab itulah surah al-Fatihah dikatan juga sebagai ummul Kitab atau juga “mahkota tuntunan illahi”. Kata Fatih yang merupakan akar kata nama ini berarti “menyingkirkan sesuatu yang terdapat pada satu tempat yang akan dimasuki”. Tentu saja ini adalah bukan makna yang dimaksud. Penamaannya dengan al-Fatihah karena ia terletak pada awal al-Quran, dan karena biasanya yang pertama memasuki sesuatu adalah yang membukanya, maka kata Fatihah disini berarti awal al-Quran. Surah ini awal dari segi penempatanya pada susunan al-Quran, bukan seperti dugaan sebagian kecil ulama seperti Syekh Muhammad Abduh bahwa ia dinamai demikian karena surah ini adalah awal surah al-Quran yang turun.
Adapun penamaanya dengan as-Sab’ul-Matsani, maka ini pun bersumber dari sekian banyak hadits antara lain diriwayatkan oleh at-Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, Allah tidak menurunkan didalam Taurat, Injil, maupun Zabar dan al-Quran suatu surah seperti as-sab’ul-Matsani”.
Dari segi bahasa, kata as-Sab’u berarti tujuh. Ini karena surah tersebut terdiri dari tujuh ayat, sedang kata Matsani merupakan bentuk jamak dari kata Mutsanna atau Matsna yang secara harfiahnya berarti “dua-dua”. Yang dimaksud dengan “dua-dua” adalah bahwa ia dibaca dua kali setiap rakaat shalat. Jika makna ini yang dimaksud, maka penamaan tersebut lahir pada awal masa Islam, ketika setiap shalat baru terdiri dari dua rakaat; atau karena surah ini turun dua kali, sekali di mekkah dan sekali di madinah.
Kemudian penamaannya dengan Ummul Kitab/Ummul Quran juga bersumber dari sabda Nabi SAW. Yang bersabda: “siapa yang shalat tanpa membaca Ummu al-Quran maka shalatnya (خداج) khidaj (kurang/tidak sah). Boleh jadi juga penamaannya sebagai umum/induk karena kandungan ayat-ayat dalam al-Fatihah mencakup kandungan tema-tema pokok semua ayat-ayat al-Quran.
1.      Sebab-Sebab Turunnya Surah al-Fatihah (أسباب النزول)
Tidak ada riwayat atau pendapat ulama yang menyebutkan tentang sebab turunnya surah al-Fatihah. Surah Al Fatihah merupakan surat makkiyah yaitu surat-surat yang diturunkan di Makkah Al Mukarromah. Karakteristik umum dari surat makkiayah adalah; ayat-ayatnya pendek dan menggandung 'ijaz (untuk melemahkan), kandungan surat pada umumya berisi tentang tauhidullah. Latar belakang seperti ini tentu terkandung maksud yang di sesuaikan oleh sang Pembuatnya Allah SWT.
Ada empat pendapat yang dikemukakan oleh para ulama tentang dimanakah turunnya surat ini, diantaranya :
a)      Pendapat pertama menyatakan bahwa surat Al-Fatihah turun di Mekkah, ini adalah pendapat Ibnu Abbas rhadiyallahuanhuma, Mujahid, dan Abu Aliyah.
b)      Pendapat kedua menyatakan bahwa surat ini turun di Madinah, ini adalah pendapat Abu Hurairah, Mujahid, Atha, Az-Zuhry.
c)      Pendapat ketiga menyatakan bahwa surat ini turun dua kali di Mekkah dan di Madinah.
d)     Pendapat yang ke empat menyatakan bahwa surat ini sebagian ayatnya turun di Mekkah dan sebagian lagi turun di Madinah. Akan tetapi pendapat ini adalah pendapat yang aneh sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Qurtubi.
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang pertama karena Rasulullah shalallahualaihiwasalam mengatakan bahwa al-fatihah adalah tujuh ayat yang diulang-ulang (yakni diulang-ulang dalam shalat).
2.      Pembahasan Surah al-Fatihah
Ø  Ayat 1
بسم الله الرحمن اللرحيم
“Dengan nama Allah yang Rahman lagi Rahim”.
Allah memulai kitab-Nya dengan basmalah dan memerintahkan Nabi-Nya sejak dini, yakni pada wahyu pertama, untuk melakukan pembacaan dan semua aktifitas dengan nama Allah, Iqra’ Bismi Rabbika, maka tidak keliru jika dikatakan bahwa basmalah merupakan pesan pertama Allah kepada manusia.
Memulai dengan nama Allah adalah adab dan bimbingan pertama yang diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya, Iqra Bismi Rabbika. Permulaan itu sesuai dengan kaedah utama ajaran Islam yang menyatakan bahwa Allah adalah al-Awwal wal-Akhir waz-Zhahiru wal-Bathin/ Dia yang Pertama dan Dia pula yang Terakhir, Dia yang Tampak dengan Jelas (Bukti-Bukti Wujud-Nya) dan Dia pula yang Tersemunyi (terhadap siapapun Hakikat-Nya).
Dalam segi kaidah ilmu nahwu bahwa kalimat Basmalah itu terdiri dari Ba’ adalah salah satu dari huruf jar (حروف الجرّ) yang berfungsi men-jer-kan kalimat ism. Sehingga kalimat yang dimasuki huruf jar maka akan di baca kasroh, kecuali pada kalimat-kalimat tertentu. Disini kalimat ism dimasuki huruf jar berupa Ba’, maka dibaca Bismi. Maka pada ilmu nahwu, kalimat tersebut adalah susunan jar wa majrur.
Kemudian kata Allahi, majrur karena mudhof ilaihi kepada kata ismi. Dan kata Ar-rahmani dan Ar-rahimi, majrur karena mereka adalah sifat dari Allahi. Dalam kaidah bahasa nahwu bahwasanya mudhof ilaihi harus dibaca majrur, begitu juga dengan sifat atau dalam ilmu nahwu dikenal dengan (النعت) yaitu harus mengikuti apa yang disifati (منعوت). Maka kata Allahi dibaca majrur karena mudhof ilaihi dan kata Ar-rahmani dan Ar-rahimi dibaca majrur karena menjadi sifat dari Allahi.
Kemudian pada pembahasan arti dari kata Basmalah, Awalnya makna ba’ yang dibaca bi pada Bismillah. Ba’ atau yang dibaca Bi yang diterjemahkan dengan kata “dengan” mengandung satu kata/kalimat yang tidak terucapkan tetapi harus terlintas didalam benak ketika mengucapkan Basmalah, yaitu kata “memulai”. Sehingga Bismillah berarti “ saya atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini – dalam konteks surah ini adalah membaca ayat-ayat al-Quran – dengan nama Allah”. Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi semacam doa atau pernyataan dari pengucap bahwa ia memulai pekerjaannya atas nama Allah. Atau dapat juga diartikan perintah dari Allah (walaupun kalimat tersebut tidak berbentuk perintah) yang menyatakan, “mulailah pekerjaanmu dengan nama Allah”. Kedua pendapat yang menyisipkan dalam benak kata “memulai” pada Basmalah ini memiliki semangat yang sama, yakni menjadikan (nama) Allah sebagai pangkalan tempat bertolak.
Kemudian kata (اسم) ism terambil dari kata (السمو) as-sumuw yang berarti “tinggi”, atau (السمة) as-simah yang berarti “tanda” memang nama menjadi tanda bagi sesuatu serta harus dijunjung tinggi. Menurut sebagian ulama berpendapat bahwa kata ism menggambarkan subtansi sesuatu, sehingga kalau disini kata Bismillah berarti “Dengan nama Allah” yang maksudnya adalah Dengan Allah. Kata ism menurut mereka digunakan sebagai penguat. Dengan demikian, makna harfiah dari kata tersebut tidak dimaksudkan disini. Memang dikenal dalam syair-syair lama penyisipan kata ism untuk tujuan penguataan.
Az-Zamakhsyari dan banyak ulama mengemukakan bahwa orang-orang Arab, sebelum kehadiran Islam, memulai pekerjaan-pekerjaan mereka dengan menyebut nama tuhan mereka, misalnya (باسم اللات) bismi-lata atau (باسم العزى) bismil-uzza (keduanya nama berhala).
Penulisan kata (بسم) bismi dalam Basmalah tanpa menggunakan huruf alif  berbeda dengan kata yang sama pada awal surah Iqra’, yang tertulis dengan tata cara penulisan baku, yakni menggunakan huruf Alif (باسم). Pakar tafsir al-Qurthubi (w. 671 H) berpendapat bahwa penulisan tanpa huruf alif pada Basmalah adalah karena pertimbangan praktis semata-mata. Kalimat itu sering di tulis dan diucapkan, sehingga untuk mempersingkat tulisan ia ditulis tanpa alif. Sedangkan Az-Zarkasyi (w. 794 H) menguraikan dalam kitabnya “al-Burhan” bahwa kaidah intinya adalah bahwa penanggalan huruf alif itu mengisyaratkan ada sesuatu dalam rangkaian katanya yang tidak terjangkau oleh panca indera. Kata Allah, demikian juga Ar-rahman pada Basmalah tidak dapat terjangkau hakikatnya.
Ada juga ulama yang memahami kata ar-Rahman sebagai sifat Allah SWT. Yang mencurahkan rahmat hanya bersifat sementara di dunia ini, sedang ar-Rahim adalah rahmat-Nya yang bersifat kekal. Rahmat-Nya di dunia yang sementara itu meliputi seluruh makhluk tanpa kecuali dan tanpa membedakan antara mukmin dan kafir. Sedangkan rahmat yang kekal adalah rahmat-Nya di akhirat, tempat kehidupan yang kekal, yang hanya akan dinikmati oleh makhluk-makhluk yang mengabdi kepada-Nya.
Ø  Ayat 2
الحمد لله ربّ العالمين
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”.
Dalam kaidah nahwu, kata Alhamdu adalah marfu’ atau yang dibaca rofa’ karena kedudukan Alhamdu ini adalah sebagai Mubtada. Dimana mubtada dalam kitab Azurumiyah dikatakan bahwa mubatada adalah kalimat isim yang dibaca rofa’ dan dibaca rofa’. Kemudian pada kata Lillahi yaitu majrur, karena merupakan susunan jar wa majrur. Dimana Lam disitu berkedudukan sebagai huruf jar, dan Allahi tersebut dibaca jar karena sebagai majrur dari Lam.
Pada kata Rabbi adalah majrur, karena kata itu merupakan badal dari kata Allahi. Dimana badal adalah kedudukan sebagai pengganti dari mubdal minhu yaitu kata Allahi. Badal pun sama seperti sifat dalam I’robnya, yaitu harus mengikuti Mubdal Minhunya. Dan kemudian kata Al-‘Aalamiina berkedudukan sebagai mudhof ilaihi maka disitu kata tersebut dibaca majrur.
Segala puji dan ucapan syukur atas suatu nikmat itu bagi Allah, karena Allah adalah Pencipta dan sumber segala nikmat yang terdapat dalam alam ini. Diantara nikmat itu ialah : nikmat menciptakan, nikmat mendidik dan menumbuhkan, sebab kata Rabb (ربّ) dalam kalimat Rabbul-'aalamiin (ربّ العالمين) tidak hanya berarti Tuhan atau Penguasa, tetapi juga mengandung arti tarbiyah (التربية) yaitu mendidik dan menumbuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa segala nikmat yang dilihat oleh seseorang dalam dirinya sendiri dan dalam segala alam ini bersumber dari Allah, karena Tuhan-lah Yang Maha Berkuasa di alam ini. Pendidikan, penjagaan dan Penumbuhan oleh Allah di alam ini haruslah diperhatikan dan dipikirkan oleh manusia sedalam-dalamnya, sehingga menjadi sumber pelbagai macam ilmu pengetahuan yang dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kemuliaan Allah, serta berguna bagi masyarakat. Oleh karena keimanan (ketauhidan) itu merupakan masalah yang pokok, maka didalam surat Al-Faatihah tidak cukup dinyatakan dengan isyarat saja, tetapi ditegaskan dan dilengkapi oleh ayat 5, yaitu : Iyyaaka na'budu wa iyyaka nasta'iin/إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين (hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan). Janji memberi pahala terhadap perbuatan yang baik dan ancaman terhadap perbuatan yang buruk.
Ø  Ayat 3
الرّحمن الرّحيم
“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
Kata ar-Rahman dan ar-Rahim dalam ayat ketiga ini tidak dapat dianggap sebagai pengulangan sebagian ayat pertama (Basamalah). Akan tetapi ar-Rahman dan ar-Rahim mempunya makna tersendiri yang terkandung didalamnya. Sebelum membahas lebih lanjut tentang ayat ini, kita bahas terlebih dahulu ayat ini dalam segi kedudukan kalimatnya.
Kata ar-Rahman, merupakan majrur dari kata Allahi pada ayat ke-2, begitu juga kata ar-Rahimi kedudukannya sama seperti ar-rahmani menjadi majrur. Kata ar-Rahman dan ar-Rahim dalam ayat yang ke-3 ini memiliki makna yang berbeda dari ar-Rahman dan ar-Rahim pada kalimat Basmalah. Namun pada ayat ini memiliki kandungan makna tersendiri yaitu bahwa pendidikan dan pemeliharaan Allah sebagaimana disebutkan pada ayat kedua, sama sekali bukan untuk kepentingan Allah atau suatu pamrih, seperti halnya seseorang atau perusahaan yang menyekolahkan karyawannya. Pendidikan dan pemeliharaan tersebut semata-mata karena rahmat dan kasih sayang Tuhan yang dicurahkan kepada makhluk-makhluk-Nya.
Banyak ulama berpendapat bahwa kata ar-Rahman dan ar-Rahim, keduanya terambil dari akar kata yang sama yaitu Rahmat, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa ar-Rahman tidak berakar kata, dan karena itu pula orang-orang musyrik tidak mengenal siapa ar-Rahman. Ini terbukti dengan membaca firman-Nya: “Apabila diperintahkan kepada mereka, sujudlah kepada ar-Rahman, mereka berkata, ‘siapakah ar-Rahman itu? Apakah kami bersujud kepada sesuatu yang engkau perintahkan kepada kami? ‘perintah ini menambah mereka enggan/menjauhkan diri dari keimanan” (QS. Al-Furqan [25]: 60).
Menurut para Ulama ini melanjutkan pendapatnya bahwa kata ar-Rahman, pada hakekatnya terambil dari bahasa Ibrani (رخمان) rakhman (dengan titik di atas huruf [ح] ha), dan karena itu, kata tersebut dalam basmalah dan dalam surah al-Fatihah disusul dengan kata ar-Rahman untuk memperjelas maknanya. Tetapi al-Qurthubi yang mengutip pendapat ini tidak mengemukakan satu dan alasan apapun. Kalaupun dalam kata bahasa ibrani demikian, maka tidak mustahil ia terambil dari bahasa Arab, karena bahasa Arab lebih tua dari bahasa Ibrani. Demikian komentar Thahir ibn Asyur.
Ø  Ayat 4
مالك يوم الدين
“Pemilik Hari Pembalasan”
            Kata Maaliki, merupakan badal dari kata Allahi pada ayat kedua. Kemudian pada kata selanjutnya yaitu yaumiddiin, kata yaumi disini berkedudukan sebagai mudhof ilaih dari kata Maaliki. Dan kata Ad-Diini juga menjadi Mudhof ilaih dari Yaumi.
            Pemelihara dan pendidik yang Rahman dan rahim boleh jadi tidak memiliki (sesuatu). Sedang sifat ketuhanan tidak dapat dilepaskan dari kepemilikan dan kekuasaan. Karena itu kepemilikan dan kekuasaan yang dimaksud perlu ditegaskan dan inilah yang dikandung oleh ayat keempat ini, Maaliki yaumid din.
            Ada dua bacaan populer menyangkut ayat ini yaitu (ملك) Malik yang berarti “Raja”, dan (مالك) Maalik yang berarti “Pemilik”. Ayat keempat surah ini dapat dibaca dengan kedua bacaan itu, dan keduanya adalah bacaan Nabi SAW. Berdasar riwayat-riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya (Mutawaatir).
            Kata (ملك) Malik mengandung arti penguasaan terhadap sesuatu disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Malik yang biasa diterjemahkan dengan “raja” adalah “yang menguasai dan menangani perintah dan larangan, anugrah dan pencabutan”, dan karena itu biasanya kerajaan terarah kepada manusia dan tidak kepada barang yang sifatnya tidak dapat menerima perintah dan larangan.
            Allah adalah (مالك يوم الدين) Maalik/Maliki yaumid din. (يوم الدين) Yaum ad-din. Yaum biasa diterjemahkan dengan “hari”. Kata ini terulang didalam al-Quran sebanyak hari-hari dalam setahun, yakni 365 kali. Namun demikian tidak semua kata tersebut mengandung arti yang sama dengan hari yang kita kenal dalam kehidupan dunia ini.
            Al-Quran menggunakan kata Yaum dalam arti “waktu” atau “Periode” yang terkadang sangat panjang menurut ukuran kita. Alam raya diciptakan dalam enam hari. Enam hari disini, bukan berarti 6x24 jam. Kelahiran Isa as. Juga dinamaninya “hari kelahiran”, dan tentu hanya berlangsung beberapa saat.
            Kata Ad-din dalam ayat ini diartikan sebagai “pembalasan” atau “perhitungan” atau “ketaatan”, karena pada “hari” itu (hari kiamat) terjadi perhitungan  dan pembalasan Allah, dan juga karena ketika itu semua makhluk tanpa kecuali menampakkan ketaatannya kepada Allah SWT. Dalam bentuk yang sangat nyata.



Ø  Ayat 5
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”
Kata Iyyaka dalam ayat ke-5 ini menempati kedudukan sebagai manshub karena dia maf'ul, bentuk Iyyaka merupakan isim  dhamir munfashil, termasuk isim mabni. Asal posisi maf'ul adalah setelah fiil dan fa'ilnya, disini ditempatkan diawal untuk pengkhususan sehingga maknanya adalah hanya kepadamulah. Kemudian selanjutnya kata Na'budu, merupakan fiil mudhari yang didalamnya terdapat fa'ilnya yakni nahnu. Dan huruf Wa, huruf 'athof yaitu sebagai penghubung yang masih ada keterkaitan makna dengan kata sebelumnya. Dan  kata Iyyaka kedua dalam ayat ini sama seperti kata Iyyaka yang pertama yaitu mempunyai kedudukan sebagai maf’ul dan memiliki makna yang sama. Pengulagan kata Iyyaka dalam ayat ini sangat diperlukan, karena Iyyaka yang berkaitan dengan ibadah mengandung arti pengkhususan mutlak. Tidak diperkenankan memadukan motivasi ibadah dengan sedikit pun Allah. Karena kalau demikian, hilang unsur keikhlasan dan muncul unsur pamrih atau riya’.
Kemudian kata Nasta'iinu, merupakan fiil mudhari yang didalamnya terdapat fa'ilnya yakni nahnu. Nasta’iinu yaitu mempunyai makna tentang permohonan bantuan kepada Allah, baik bantuan itu termasuk dalam hukum sebab dan akibat yang telah kita ketahui (sunnatullah), maupun diluar sunnatullah, yakni yang dinamai “innayatullah”.
Ø  Ayat 6
اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Bimbing/ Antarlah kami (Masuk) jalan lebar dan luas”.
Setelah pada awal ayat berisi tentang persembahan puja puji kepada Allah dan mengakui serta kepemilikan-Nya, ayat ke-6 ini merupakan pernyataan hamba tentang ketulusan Beribadah dan kebutuhan kepada pertolongan Allah. Sebelum membahas lebih lanjut, kita bahas terlebih dahulu susunan kedudukan pada pebggalan ayat ini. Kata Ihdi, yaitu merupakan fiil amr yang didalamnya terdapat fa'ilnya yakni anta. Dalam kaidah nahwu bahwa fiil amr secara tidak langsung sudah menyimpan makna dari kata anta. Kata Naa yang terdapat pada ayat Ihdinaa, menempati posisi manshub karena dia sebagai maf'ul pertama.
            Kata (اهدنا) Ihdinaa terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf Ha, Dal, Ya. Maknanya berkisar pada dua hal. Pertama, “tampil ke depan memberi petunjuk”, dan kedua, “menyampaiakan dengan lemah lembut”. Dari sini lahir Hadiah yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukan simpati.
            Allah SWT menuntun setiap makhluknya kepada apa yang perlu dimilikinya dalam rangka memnuhi kebutuhannya. Pada saat datang kebutuhannya untuk mencapai sesuatu yang berada diluar dirinya, disini manusia membutuhkan petunjuk (Hidayat) kepada Allah. Menurut Thahir ibn Asyur membagi Hidayat kepada empat tingkatan:
Pertama, apa yang dinamainya al-quwwal-muharrikah wa mudrikah, yakni potensi penngerak dan tahu. Melalui potensi ini sesorang dapat memelihara wujudnya. Kedua, petunjuk yang berkaitan dengan dalil-dalil yang dapat membedakan antara yang baik dan batil. Yang benar dan salah. Ini adalah hidayah pengetahuan teoritis.
Ketiga, hidayah yang tidak dapat dijakngkau oleh analisis dan aneka argummen akliah, atau yang bila diusahakan akan memberatkan manusia. Hidayah ini diaugrahkan Allah SWT dengan mengutus rasul-rasul. Dan keempat, yang merupakan puncak hidayah Allah SWT adalah yang mengantar kepada tersingkapnya hakikat-hakikat yang tertinggi, serta aneka rahasia yang membingungkan para pakar dan cendikiawan.
Kata Ash-Shiraatha dibaca manshub karena kedudukannya sebagai maf'ul kedua dari kata Ihdi. Dan kata Al-Mustaqiima yaitu manshub karena dia sifat dari kata Ash-Shiraatha. Ash-Shiraatha terambil dari kata (سرط) saratha, dan karena huruf (س) Sin dalam kata ini bergandengan dengan huruf (ر) ra’, maka huruf (س) Sin terucap (ص) Shad (صراط) Shirat atau (ز) zai (زراط). Asal katanya sendiri bermakna “menelan”. Jalan yang lebar dinamai Shirath karena sedemikian lebarnya sehingga ia bagaikan menelan si pejalan.
            Kata Shirath ditemkan dalam al-Quran sebanyak 45 kali semuanya dalam berntuk tunggal, 32 kali diantaranya dirangkaian dengan kata mustaqim, selebihnya dirangkaikan dengan beberapa kata seperti as-sawiy, sawaa’, dan al-fahim. Ini berbeda dengan kata sabil yang juga sering diterjemahkan “jalan”. Namun perbedaan yang mendasar adalah Shirath bermuara semua sabil yang baik, bukan sabil yang salah.
            Para mufasir dari kalangan salaf (ulama terdahulu) maupun khalaf (ulama kini) berbeda pendapat tentang penafsiran ash-shirathal-mustaqim sekalipun semuanya terpulang kepada satu poin yang sama, yaitu mengikuti Allah dan Rasul-Nya. Ada riwayat yang menyebutkan, ash-shirathal-mustaqiim artinya Kitabullah. Ada pula riwayat yang menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah agama islam.

            Ibn Abbas mengatakan, yang dimaksud adalah agama Allah yang tidak ada kebengkokan di dalamnya. Sedangkan Ibn Al-Hanafiyah menyebutkan, yang dimaksud adalah agama Allah di mana agama lainnya yang dipeluk oleh seorang hamba tidak akan diterima. Mujahid memberikan keterangan yang lain lagi. Ia mengatakan, ash-shiraahal-Mustaqiim adalah kebenaran. Pengertian ini mempunyai cakupan yang lebih luas dan tidak bertentangan dengan pendapat-pendapat yang disebutkan tadi.

Ø  Ayat 7
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugrahi nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat”.
Kata Shiraatha, dibaca manshub karena dia badal dari kata shiratal mustaqiima, dan penjelasan tentang kata Shiraatha sama penjelasannya dengan apa yang dijelaskan di atas. Kemudian kata Alladziina, menempati posisi majrur karena dia mudhof ilaihi kepada shiraatha, alladzina merupakan isim maushul, termasuk isim yang mabni. Dan kata An'amta, merupakan fi'il  madhi yang didalamnya terdapat fa'ilnya yakni anta. 'alaihim, bentuk jar-majrur berhubungan dengan fi'il madhi an'amta.
Nikmat adalah kesenangan hidup dan kenyamanan yang sesuai dengan diri manusia. Seseorang dapat membayangkan apa saja nikmat-nikmat Allah yang telah diperolehnya dengan melihat modal apakah yang dimilikinya sendiri sebelum hadir di pentas dunia ini. Nikmat-nikmat Allah beraneka ragam dan bertingkat-tingkat, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Ada yang memperoleh tambahan yang banyak dan ada juga yang sediki.
Kata nikmat dalam surah al-Fatihah ini adalah nikmat yang paling bernilai, yang tanpa nikmat itu, nikmat-nikmat lainnya tidak akan mempunyai nilai yang berarti, bahkan dapat menjadi “niqmat” yakni bencana. Nikmat tersebut adalah memperoleh hidayah dari Allah, serta ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya”, yaitu nikmat Islam dan menyerahkan diri kepada-Nya.
Kemudian selanjutnya pembahasan kedudukan kata pada ayat ini adalah kata ghairi, mempunyai kedudukan majrur karena dia badal atau sifat dari alladziina. Dan al-maghdlubi, majrur karena dia mudhof ilaihi kepada ghairi. 'alaihim adalah bentuk jar-majrur menempati posisi marfu' karena dia sebagai naibul fa'il dari isim maf'ul al-maghdluubi.
(غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ) Ghairil Magdhuubi ‘alaihim. Kata (المغضوب) al-magdhubi berasal dari kata (غضب) gadhab yang dalam berbagai bentuknya memiliki keragaman makna, namun semuanya memberikan kesan keras, kokoh, dan tegas. Singa, banteng, batu gunung, sesuatu yang merah padam, semuanya digambarkan melalui akar kata gadhab. Jadi “­al-Gadhab” adalah sifat keras, tegas, kokoh, dan sukar tergoyahkan yang diperankan oleh pelakunya terhadap objek disertai dengan emosi.
Tentang siapakah al-magdhub ‘alaihim, ayat ini tidak menjelaskannya. Sementara para ulama tafsir berdasarkan keterangan suatu hadis nabi SAW., menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yahudi. Al-Quran juga memberitahukan bahwa orang-orang Yahudi mengenal kebenaran namun enggan mengikutinya. Atas dasar ini, pengertian al-magdhub ‘alaihim menjadi luas, sehingga mencakup semua yang telah mengenal kebenaran namun enggan mengikutinya.
Wajar sekali Rasul SAW. Memberi contoh itu (orang Yahudi), karena dari dua puluh empat kali kata gadhab dalam berbagai bentuk yang tercantum dalam al-Quran, dua belas kali adalah konteks pembicaraan tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Sedangkan sisa-nya berkisar pada pembicaraan tentang “amarah” sebagai naluri manusia atau “murka Tuhan” yang ditujukan kepada orang-orang musyrik/penyembah berhala, orang munafik yang mengaku sebagai pengikut nabi Muhammad SAW., atau bahkan orang-orang muslim yang melakukan pelanggaran tertentu.
Ketika berbicara tentang nikmat, secara tegas dinyatakan bahwa sumbernya adalah Allah SWT. Perhatikan firman-Nya : (صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ) Shirathal ladziina an’amta ‘alaihim” (jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat). Tetapi ketika berbicara tentang murka tidak dijelaskan siapa pelakunya. Ayat ini tidak menyatakan “jalan orang yang telah Engkau murkai”, tetapi “...yang dimurkai”.
Huruf wa, merupakan huruf 'ataf yang menghubungkan kalimat sesudahnya, karena masih ada keterkaitan makna. Dan la adalah huruf nafi, kemudian adl-dlooliina, majrur karena dia athof kepada al-maghdlubi. Kata (ضالين) Dhaalliin berasal dari kata (ضل) dhalla. Tidak kurang dari 190 kali kata dhalla dalam berbagai bentuknya terulang dalam all-Quran. Kata ini mulanya berarti “kehilangan jalan, bingung, atau tidak mengetahui arah”. Makna-makna ini berkembang sehingga kata tersebut juga dipahami dalam arti “binasa, terkubur”, dan dalam arti immaterial ia berarti “sesat dari jalan kebajikan”, atau lawan dari petunjuk. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kata ini dalam berbagai bentuknya mempunyai makna “tindakan atau ucapan yang tidak menyentuh kebenaran”.
Kata adh-dhaalliin ditemukan dalam al-Quran sebanyak delapan kali dan kata adh-dhalluun sebanyak lima kali. Paling sedikit ada tiga ayat dari ayat-ayat yang menggunakan kata dhaallin dan dhaallun yang dapat membantu memahami apa yang dimaksud oleh al-Quran dengan kata tersebut.




Referensi :
Shihab, Quraish, M., Tafsir Al-Misbah. 2000, Lentera hati, Ciputat.
Abi Baqa’i Abdullah ibn Husain bin Abdullah al-‘Akbiri. At-Tibyaan fi I’robil Quran Juz Tsaani. 1979, Maktabah Taufiqiyah.
Ahmad Musthofa al-Muroghi, Ulumul Balaghah (bayan, ma’ani, badi’). 1993, Ad-Darul Kutub ‘Ilmiyyah. Libanon.


Share this post :

+ komentar + 1 komentar

Anonymous
August 15, 2012 at 9:20 AM

ini yg saya cari - cari ,tolong surat 2 pendek yang lain dong,

Post a Comment

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta