Berita Terbaru:
Home » » Melukis di Bawah Bangunan Tua

Melukis di Bawah Bangunan Tua

Written By angkringanwarta.com on Saturday, November 05, 2011 | 02:44


Selalu ada pemandangan yang menarik jika kita berjalan dari perempatan lampu merah Kota Tua hingga menuju Glodok, Jakarta Barat. Bangunan tua yang tak terurus, toko-toko kecil yang jadul, anak-anak jalanan, dan berbagai dagangan di sekitar wilayah tersebut.

Pancoran memang terkenal akan berbagai kuliner masakan Cina jaman dahulu serta cemilan manisannya. Ketika masa Orde Baru hingga masa transisi, daerah ini juga menjadi salah satu wilayah yang mempunyai jam malam dan ada penjagaan dari pemerintah. Tapi, ketika tonggak presiden berganti dan keadaan pemerintahan mulai membaik, Jakarta perlahan-lahan aman.

Sejarah di Jakarta memang tidak akan ada habisnya. Kita pun bisa melihat kejayaan Batavia dari tiap bangunan yang bertengger. Sayangnya, ada yang terurus dan ada pula yang tidak. Seperti di sepanjang bangunan tua dari perempatan Halte Busway Kota hingga ke Glodok. Dari Museum Bank Mandiri yang dekat dengan fly over, anda menyebranglah. Dari sana, berbagai pemandangan menarik itu tumpah ruah. Sekaligus bangunan tua yang sepertinya dalam beberapa tahun mendatang bisa roboh.

Setelah terdapat pemandangan berbagai penjual alat-alat bekas, sampailah anda kepada salah satu hal yang masih unik dan bertahan di sana. Sepanjang trotoar atau di bawah bangunan tua itu, bahkan hingga menuju Pusat Elektronik, Glodok, Jakarta Barat terdapat mereka, para seniman jalanan.

Mereka berkreasi sesuai imajinasinya. Hasratnya untuk melukis begitu besar sehingga tak mengenal tempat. Para seniman jalanan melukis. Mayoritas, mereka melukis dengan aliran realis. Artinya, melukiskan sesuatu yang nyata di dunia ini, contohnya lukisan tentang potret seseorang. Berbeda halnya, dengan aliran surealisme yang mengkhususkan kepada imajinasi dalam berkarya dan terkadang tidak sesuai dengan kenyataan dunia.

Mereka melukis dengan peralatan seadanya. Yang terutama adalah kertas sketsa, harus ada, maka mereka bisa bertahan di sana. Seperti Suyatno, pria asal Purwokerto, Jawa Tengah, ia datang ke Jakarta untuk bekerja dan mempunyai keterampilan melukis. Tanpa kuliah di seni, tanpa kursus melukis, dan pengetahuan yang minim ia mampu berprofesi sebagai pelukis. Semuanya serba otodidak, katanya. Pesanan melukis wajah kerap datang, terkadang pula ia melukis artis ternama sebagai daya tarik pembeli.

Bukan hanya Suyatno saja, tapi banyak seniman jalanan yang melukis dan berasal dari daerah luar Jakarta. Jika anda ingin ke Glodok, mampirlah sejenak ke sepanjang trotoar ini. Lihatlah hasil karya seni mereka, pujilah, dan jika berkenan anda bisa membeli salah satu lukisan potretnya. Atau memesan untuk dibuatkan sketsa wajah. Harganya pun hanya Rp 50.000 per sketsa dan itu bisa ditawar lho. Namun, jika lukisan biasanya mereka sudah mematok harga dan harga nego yang turun sedikit sekali.

Jika anda mengajak mereka mengobrol, mereka ramah sekali lho. Bahkan sampai ada yang ingin membuat sketsa wajah saya.

Seni adalah pembebasan. Begitu pun mereka, karena kecintaan akan melukis mereka rela melakukannya di bawah bangunan tua. Banyak anak muda dengan komunitasnya ikut melukis di sini. “Kami bersyukur akan bangunan tua yang membuat teduh tempat kami melukis. Jika nggak ada, saya nggak tahu akan melukis di mana lagi.” (Agnes)



Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta