Berita Terbaru:
Home » » Dari mana datangnya Konflik?

Dari mana datangnya Konflik?

Written By angkringanwarta.com on Thursday, December 29, 2011 | 23:14

Oleh Dede*

Saat menuliskan ini, masih dalam nuansa hari raya umat Kristiani, sebuah perayaan dengan cinta kasihnya. Kisah kasih antar sesama manusia membuat terciptanya perdamaian. Dan saya mengira bahwa semua agama menawarkan hal yang serup
a. Tanpa berniat menyinggung salah satunya atau menyamakan agama.

Namun, semuanya seperti tak berfungsi kala melihat apa yang terjadi. Dan kala berbicara tentang peperangan antar agama, telah terlampau banyak kisah yang bercerita tentang pertikaian atas nama agama, semisal saja novel Lajja yang berkisah tentang peperangan antar Hindu dengan Islam, perihal kisah dalam novel itu bagaimana, silahkan dibaca sendiri-sendiri.

Tapi, terdapat ungkapan yang tertera dalam novel tersebut, seandainya agama lebih humanis, tentunya saya akan memilih salah satu agama.

Perihal kisah peperangan yang lainya, mungkin ingatan kita belum lengkang mengenai perperangan antar agama yang terjadi di Ambon, itu yang berbeda agama. Untuk satu agama sendiri masih memunculkan peperangan yang dengan dalil penyesatan.

Khusus terhadap agama Islam sendiri, Tuhan pernah memberikan firmanya perihal perbedaan agar kau mengenalnya atau jangan pernah mengolok-ngolok suatu kaum, siapa tahun kaum tersebut lebih baik dari pada kaum yang mengolok-ngoloknya, silahkan dicek.

Pengolokan terhadap suatu kaum, tak sekadar mengolok hingga sampai pada pembantaian terhadap suatu kaum. Pertempuran antar aliran dengan mengagap aliran satu lebih baik dibandingankan dengan aliran yang lain.

Lalu apa yang menjadi latar belakang dari itu semua, apakah persoalan tersebut tak lepas dari persolan politik, sebagaimana pernah diungkapan Harun Nasition, bahwa persoalan teologi berawal dari persoalan politik.

Politik yang pernah terjadi di dunia Islam kala memperebutkan kekuasaan tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam).

Imbas dari pertempuran guna merebutkan kekuasaan melahirkan beberapa aliran salah satunya, aliran syiah. Berbicara tentang Syiah yang sekarang kembali ramai diberitakan atau ditulis diberbagai blog, menuliskan Pondok Syiah yang dibakar massa di Dusun Nangkrenang Desa Karang Gayam Kecamatan Karang Penang, Sampan.

Benar atau tidaknya ada persoalan politik di dalamnya, kemungkinan besar para pakar telah memahaminya. Tapi setidaknya ulasan Budi Hardiman dalam buku Memahami Negativitas cukup memberikan suatu telah perihal konflik yang terjadi.

Dalam ulasanya, di sebuat kata "yang lain" dalam kata "yang lain" pada awalnya seseorang tak pernah menyadari pirihal "yang lain," "yang lain" merupakan sesuatu yang membedakan dari saya, maka ketika ada saya maka akan ada kamu, atau kata lain adalah saya bukanlah kamu.

Lalu siapa yang saya dalam lingkup yang lebih besar adalah mereka yang memiliki kesamaan, semisal saya laki-dan terdapat orang perempuan meskipun berbeda jenis, namun karena masih memiliki persamaan satu daerah makan akan memunculkan kami.

Kata kami yang terbentuk karena persamaan satu daerah dan teradapat "yang lain," siapa "yang lain," yakni mereka yang berbeda dalam satu daerah. Setelah terbentuknya kata 'kami' dan kata 'mereka'. Lantas apa yang mengakibatkan antara 'Kami' dan 'Mereka' saling berperang, meskipun kata "kami" kata "Mereka" masih bisa disatukan dalam satu ikatan "Kami" ?

Memang dalam buku Hardiman sejauh penilain saya begitu bersifat sikologis, yakni persoalan tentang ketakuan akan "yang lain." Perihal ketakutan akan yang lain ini menjadikan persoalan yang hukum negara tak lagi berfungsi, bahkan firman Allah yang mereka anut, seperti tak memeberikan pengaruh terhadap umat.

Siapa yang akan bertanggungjawab atas perihal terjadi? Apakah hukum masih diperlukan interpretasi pada umatnya, atau para pemimpin yang salah memberikan interpretasi, jadi memberikan pemahaman yang keliru? Atau memang konflik ini sengaja diciptakan? Atau manusia terlampau takut terhadap aku, aku yang lain? kenapa manusia bisa menghilangkan perasaan kemanusiaanya?

Sungguh pertanyaan ini, terasa terlampau banyak, untuk mencari sebuah jawaban. Dan saya masih merasa bahwa para pemimpin memiliki kemampun dalam bahasa, sehingga sebutan ahli memang pantas untuk disandangnya, kecuali jika memiliki kepentingan.


*Catatan renungan dalam ruang isolasi kampung utan, (30/12) dan tulisan ini masih amat kurang.


Share this post :

+ komentar + 3 komentar

December 30, 2011 at 6:25 AM

saya blum bgitu paham dengan artikelnya gan membahsa apa
thanks

December 31, 2011 at 2:40 AM

makasih atas tanggapanya,

January 8, 2012 at 5:08 AM

Artikel yang cukup baik, terkadang konflik berawal dari perbedaan-perbedaan "SARA"(suku,adat,Ras dan Agama). Padahal Perbedaan bukanlah perpecahan, Perbedaan bukanlah permusuhan, perbedaan bukanlah peperangan. kita tercipta berbangsa-bangsa dan bersuku-suku yang pasti berbeda, tujuannya untuk saling mengenal dan saling menghormati.

Post a Comment

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta