Saya ingin memulai dari sebuah kisah yang sudah tak asing lagi, kisah berasal Sumatera Barat tentang Malin Kundang. Perihal cerita tentang Malin Kundang tak usah lagi dibicarakan, tapi seandainya Malin Kundang tak datang ke kampung halaman selepas ia merantau atau jika Malin Kundang tak pernah melawan ibunya, apakah ia akan menerima kutukan, bagaimana jika ibunya yan salah.Tentunya perihal kutuk-mengutuk tak pernah ada, kisah Malin Kundang pun tak akan hidup sebab tak ada orang yang menjadi batu. Namun kisah maling kundang terlanjur ada, dari kisah tersebut kita dianjurkan tak melawan orang tua.
Hal itu jika seandainya, sebagaimana seandanya Busyro Muqodas tak pernah berceloteh dengan lantang perihal gaya hidup mewah para pejabat-pejabat negara, banyak pejabat yang memakai politik "Dasa Muka", ungkapan terlontar saat itu, saat ketua KPK berorasi kebudayaan yang dengan tema " Paguyuban Koruptor Polusi Budaya,"bertempatkan Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta (10/11).
Ternyata ucapanya semakin memicu konflik antar Busyro dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada akhirnya mereka saling melempar kritik-mengkritik, sebagaimana yang diungkapakan Priyo Budhi Santoso, yang merupakan sebagai wakil ketua DPR. Priyo menyarankan agar ketua lembaga pemberantasan korupsi tersebut fokus mengurus dapurnya sendiri (Lihat www.angkringanwarta.com, pada judul "DPR kebakaran jenggot").
Sebagaimana kisah Maling Kundang yang telah durhaka pada orang tuanya berakibat orang tua murka dan mengkutuk Maling Kundang, Busyro Muqodas tanpa sadar yang membuat tersinggung para anggot DPR, dan puncaknya saat pemilihan ketua KPK yang baru, pada pemilihan ketua KPK Busyro gagal menjadi ketua kembali.
Iya, seandainya Busyro Muqodas tak mengkiritik gaya hidup pejabat, bisakah ia akan terpilih? Dengan gagalnya Busyro menjadi ketua KPK memunculkan rasa tanda tanya? Benarkah pemilihan KPK benar-benar bebas nilai?
