Berita Terbaru:
Home » » Kecupan Pendidikan Atas Kekuasaan*

Kecupan Pendidikan Atas Kekuasaan*

Written By angkringanwarta.com on Wednesday, February 15, 2012 | 22:56

Judul Buku : We Make The Road By Walking (Percakapan tentang Pendidikan dan Perubahan Sosial)

Penulis : Brenda Bell, John Gaventa, dan John Petes

Penerjemah : Hendro Prasetyo

Penerbit : Transbook, cetakan

Terbit : Cetakan pertama, Desember 2011

Tebal : 188 halaman+indeks

Geliat politik dalam dunia pendidikan memang secara nyata adanya. Karena hakikatnya, pendidikan memang menjadi salah satu alat penanaman ideologi tertentu. Lumbung informasi ini yang coba diangkat dalam buku ini.

Terlebih, paradigma mayoritas masyarakat mengasumsikan jika pendidikan itu memiliki sifat bebas nilai. Artinya, pendidikan sarat dengan netralitas sehingga pendidikan hanya bisa dijadikan sebagai ruang penimbunan modal. Tanpa bisa menjadi salah satu pendorong perubahan sosial.

Padahal, bagi Paulo Freire dan Myles Horton justru pendidikan memiliki potensi mendorong adanya perubahan sosial pada masyarakat. Tak heran, jika dalam buku ini, tumpukan gagasan-gagasannya menjadi sebuah penekanan jika pendidikan itu tidak bebas nilai. Ya, Pendidikan harus memiliki sikap tentang keadilan sosial terhadap kaum miskin kota.

Argumen tersebut diyakini Freire berdasarkan pengalaman dalam memperjuangkan pendidikan demokrasi di Timur Laut Brazil pada masa 1950-an. Pada masa itu, secara berangsur terjadi perubahan struktur tradisional.

Saat itu, masyarakat tak lagi mau memiliki ketergantungan terhadap lahan perkebunan dan pertanian. Beruntung kondisi tersebut berhasil dimanfaatkan untuk membangun ruang-ruang pendidikan kritis, sekaligus membuika tabir masyarakat untuk mengembangkan diri.

Hasilnya cukup memuaskan. Pelbagai gerakan aliansi dan asosiasi masyarakat petani mulai menjamur pada masa 1960-an. Bayangkan saja, pada masa budaya masyarakat berangsur berubah, justru gagasannya diterima masyarakat. Salah satunya, ia menciptakan pendidikan pengentasan buta huruf orang dewasa. Sehingga secara berangsur masyarakat berhasil memahami kenyataan hidup yang tengah dihadapinya.

Beruntungnya lagi, gagasannya tersebut justru diterima oleh pemerintah. Alhasil, ia diangkat sebagai Kepala Program Pengentasan Buta Huruf Nasional oleh Miguel Arraes, aktifis Nasional dan Radikal Demokrat yang menjabat sebagai Walikota Recife, Brazil.

Sayang itu tak berlangsung lama. Karena kudeta militer pada masa pemerintahan Goulart menilai, jika gerakan pendidikan yang diusung oleh Freire membahayakan kekuasaan. Alhasil, Goulart mulai memberikan instruksi kepada Freire agar segera meninggalkan Brazil. Dan dikabarkan sebagai agen komunis.

Berbeda dengan Freire yang memang memiliki basis teoritis tentang pendidikan. Justru Myles Horton, selaku aktifis buruh melakukan perjuangannya dengan memndirikan sekolah kader berbasis massa rakyat tertindas, sekolah Highlinder di Tennessee, Amerika Selatan.

Hal ini dipercaya akan lebih berhasil memberikan wacana pendidikan demokrasi ketimbang harus terus melakukan aksi-aksi secara frontal. Hebatnya,dalam kurikulum sekolah tersebut Myles mengkhususkan peserta didik untuk membaca kebutuhannya. Tak ayal, proses pengembangan literasi kritis pun berjalan efektif.

Pasalnya. Situasi yang dihadapi peserta didik sekolah tersebut tengah merebaknya diskriminasi ras pada masa awal 1950-an. Hasilnya pun cukup memuaskan, dialektika peserta didik berhasil menembus batas-batas kritisisme. Terbukti, beberapa peserta didiknya langsung membuat gebrakan pertama dalam aksi memboikot Bus Montgomery.

Menariknya lagi, dari perjalanan kedua tokoh dalam buku ini, meyakinkan jika praktik pendidikan memang dapat menciptakan perubahan sosial dalam struktur masyarakat. Saratnya mudah, yaitu pemilik ilmu pengetahuan mesti sadar memiliki tanggung jawab pengetahuan yang harus dibagi kepada masyarakat.

Pendidikan Partisipatif

Dalam praktiknya, kedua tokoh ini coba memerankan metode pendidikan yang bersifat partisipatif. Yaitu pendidik dan peserta didik sama-sama memiliki otoritas dalam ruang pendidikan. Sehingga menciptakan dialektika dari apa yang diperbincangkannya.

Artinya, Pendidik merupakan seorang yang ahli. Namun, bagi kedua tokoh tersebut bahwa pendidik atau orang ahli dalam konteks pendidikan tak sepatutnya untuk mentransfer pengetahuan kepada masyarakat. Hingga masyarakat dapat menemukan konteks atau kebutuhannya sendiri.

Gagasan ini pula yang terus disebut oleh Freire dan Horton dengan proses pengembangan diri sikap kritis dalam jati diri masyarakat. Maka jangan heran, jika proses demokrasi akan semakin baik apabila setiap masyarakat semakin banyak menemukan jati diri masing-masing.

Atas dasar itu pula, dalam buku yang bersampul agak pop ini coba merumuskan dimensi pendidikan yang bertujuan untuk menciptakan jati diri masyarakat atas kekuasaan yang tengah berlangsung. Yaitu pendidikan harus berhasil menciptakan ide-ide alternatif pada kekuasaan yang dominan. Sehingga lembaga pendidikan tak lagi menjadi candu dimata masyarakat.

Seperti yang dikatakan Myles kepada Freire dalam bukuy ini saat ditemuinya di Sekolah Highlinder, Jika memiliki ilmu pengetahuan, kita harus bertanggung jawab membaginya dengan masyarakat. Jika kitamendidik, kita mesti berperilaku dalam konteks pendidikan.

Perbincangan semakin hangat tatkala dua tokoh yang berbeda latar belakang coba membedakan antara pendidikan dan mengorganisir. Maklum saja, dua kata tersebut memang seringkali membingungkan para pegiat pendidikan demokrasi. Pasalnya, pendidikan memiliki relasi kuat dengan ruang-ruang pengorganisiran. Begitu pula sebaliknya.

Tak hanya itu, buku ini juga secara tidak langsung coba memberikan inspirasi kepada masyarakat Indonesia tentang perjuangan pendidikan yang dicita-citakan UUD 1945. Bahwa pendidikan harus dapat dinikmati masyarakat secara umum. Terbukti, banyaknya lembaga pendidikan di negara ini justru malah memperlebar ketimpangan sosial.

*Buku ini adalah hasil terjemahan dari Hendro Prasetyo, aktivis di lembaga Transformasi UNJ, Jika berminat silahkan hubungi 021 99 24 76 74

Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta