Berita Terbaru:
Home » » Pukul Enam Pagi

Pukul Enam Pagi

Written By angkringanwarta.com on Sunday, February 05, 2012 | 01:04

Oleh Amelia Fitriani


Tepat pukul enam pagi, aku bangkit dari lelapku untuk menikmati pagi yang eksotis. Pada celah jendela disudut ruang hampa ini, kulihat semburat jingga melukiskan dirinya sendiri di pojok-pojok langit, memberi tanda bahwa penguasa siang sudah terbangun dan sedang beranjak menuju singgasananya, bersiap menyebar energi positif pada apa-apa yang bernaung dibawahnya. Sedang sudut lainnya lainnya, goresan awan putih pada kanvas biru langit mempertegas keberadaanya, bahwa ia juga memiliki hak hidup bersama di atap bumi ini, berdampingan dengan damai.

Aku mencintai pukul enam pagi. Pukul enam pagi adalah saat penting dimana bulan dengan ikhlasnya memberikan kekuasannya pada matahari. Mataharipun menerimanya dengan ikhlas. Tidak ada perebutan tahta disana, yang ada adalah pembagian tugas dengan baik demi menjalankan roda kehidupan yang hakikatnya sudah ditentukan garis besarnya.

Kubuka jendela ini, Angin segera menyapaku tanpa meminta jeda. Aku juga menyayanginya, ia selalu hadir tepat waktu untuk menghantarkan udara-udara surga yang diutus malaikat di pintu subuh untuk memasuki lebih dalam relung-relung jiwa manusia.
’Hey angin, mengapa kau tak letih menjalankan tugasmu setiap hari? Kau selalu bersemangat. Padahal tugasmu berat.’ Aku iseng bertanya padanya.
’Aku tidak pernah merasa letih, karena aku tahu, tugasku merupakan tugas mulia. Aku dititahkan untuk membangkitkan kembali jiwa-jiwa yang mati, memapah jiwa-jiwa yang lemah, mendorong jiwa-jiwa yang bersemangat, membersihkan jiwa-jiwa yang kotor, ataupun mensucikan jiwa-jiwa yang bersih. Karena itu aku selalu bersemangat’ Ujar angin.
’Aku iri denganmu, angin. Aku juga ingin bisa terbang kesana kemari melihat dunia, membisikkan suara Tuhan pada hati-hati yang mengering.’ Keluhku.

Angin tersenyum bijak, ’Hey.. Kau mau tahu tidak, jiwa adalah sebuah ruang yang memiliki lima pintu masuk, yakni kelima panca-indra. Malaikat menitahkanku untuk masuk ke dalam jiwa setiap manusia melalui semua pintu yang ada. Aku membawa aroma surga masuk melalui kedua lubang hidung manusia, untuk kemudian berlabuh di paru-parunya. Pada paru-paru, kusampaikan titah Sang Empu ’Duhai paru-paru! Sungguh Tuhan mengasihi engkau sepenuh hati. Bekerjalah dengan baik agar manusia yang bernafas darimu selalu dapat menikmati aroma surga.’. ’

’Selepas itu,’ Lanjut Angin, ’Aku melantunkan syair-syair Tuhan yang merdu tak tertanding. Melalui telinga manusia, aku masuk dan membisikkan padanya bahwa Tuhan masih sayang padamu, maka tetaplah mendengarkan hal-hal yang baik. Syair-syair Tuhan berada pada setiap hembusan angin.’
’Lalu aku masuk melalui pengelihatan manusia. Manusia itu sendiri pada hakikatnya tidak mampu melihat wujudku. Tapi bola mata, hanya bola mata sebagai dirinya sendiri, mampu melihatku dengan jelas. Kukatakan padanya ’Duhai penangkap keindahan-keindahan Tuhan, teruslah melihat hal-hal yang indah agar manusia ini pandai menysukuri nikmat-Nya.’’
’Kemudian, pada mulut aku masuk ketika manusia menguap dipagi hari, kukatakan pada instrumen pengolah makanan dialam perutnya untuk mengolah makanan dengan baik agar ia mampu menikmati rezeki dari-Nya secara menyeluruh.’
’Terakhir, aku membelai seluruh permukaan kulit manusia, aku masuk melalui pori-pori kulitnya. Kuingatkan kelenjar keringan agar jangan sampai ia lupa menjalankan tugasnya membuang garam berlebih. Kukatakan pada seluruh persendian serta pembuluh darah agar jangan lupa tuk mengalir, agar manusia tak sanggup lagi ingkari kuasa-Nya.’

Aku kagum mendengar cerita angin. ’Kau begitu hebat angin. Aku menyayangimu.’ Pujiku.
Angin tetap tersenyum bijak, ’Aku sangat senang bisa memasuki jiwamu setiap paginya. Karena jiwamu bersih. Aku merasakan kedamaian didalamnya. Sebentar lagi kita akan selalu bersama dan tak terpisahkan lagi. Kau bisa terbang sesuka hati, kemanapun kau mau.’
’Sungguhkah itu, Angin?’ Aku tak percaya dengan apa yang ia katakan.
’Sungguh, tunggu saja. Sebentar lagi ia akan datang menjeputmu. Segeralah berkemas! Aku harus beranjak sesaat, tugasku belum selesai. Akan kutemu kau diujung senja. Kita akan melihat matahari kembali ke peraduannya untuk tidur. Aku berjanji.’ Angin segera pergi untuk menyelesaikan tugasnya.

Aku sungguh bahagia mendengarnya. Segera aku berkemas. Kurapikan diriku sebaik mungkin. Tak sabar aku menunggu.

**

Pukul enam pagi ini merupakan pagi yang berbeda dari biasanya. Aku begitu bahagia pagi ini, menanti seseorang kan datang.
Tok.. tok.. tok..
Seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku yakin itu dia.
Kubukakan pintu, dan benar saja dia yang kutunggu datang tepat waktu. Senyumnya menampakkan kesucian hatinya.
”Mari, saya sudah siap. ” Aku berikan tanganku padanya untuk digenggam.
”Mari.. Dia yang mencintaimu sudah menantimu. Dia sungguh merindukanmu.” Ujarnya.
Aku hanya terseyum malu mendengar ucapannya, tak lagi kata tersisa menjawabnya. Aku sungguh bahagia.

Digenggamnya aku menuju permadani yang begitu indah. Dia mengajakku untuk menaikinya bersama. Tak lama, permadani indah ini terbang lembut, mengantarkanku ke tempat dimana aku berjanji untuk betemu dengan Angin senja nanti. Aku tak mampu gambarkan betapa hatiku berbunga-bunga. Kutengok sesaat ke belakangku, Ruang rawat inap bagi penderita kangker otak yang sudah kudiami berbulan-bulan lamanya, sudah berada jauh dibelakangku. Aku haya bisa tersenyum tipis.

****

Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta