Berita Terbaru:
Home » » Saat Kiper Terlibat Dalam Permainan

Saat Kiper Terlibat Dalam Permainan

Written By angkringanwarta.com on Monday, February 13, 2012 | 23:40

Oleh Ahmad Makki*

Leigh Richmond Roose bikin keki banyak orang. Kiper Sunderland ini kerap maju ke tengah lapangan sambil menenteng bola, lalu mengoper ke temannya. Bukan lantaran Roose tak paham sepakbola. Tapi saat itu, awal dekade 1910-an, belum ada aturan melarang kiper memegang bola di luar kotak penalti. Banyak kiper lain mondar-mandir ke luar kotak penalti sembari memegang bola, tapi tak ada yang serajin Roose sampai ke garis tengah.

Klub-klub lawan merasa gaya Roose kurang senonoh dan mendesak FA bikin aturan. Maka pada 1912 para kiper tak boleh lagi memegang bola di luar kotak penalti. Mulai saat itu, kiper tak ubahnya mandor yang menonton dari jauh manakala teman-temannya asyik menyerang.

Selepas itu, banyak evolusi strategi. Tapi kiper tetap kesepian. Ia dianggap tak mungkin dilibatkan dalam taktik. Banyak nama kiper hebat. Sebut saja Lev Yashin, Gordon Bank, Sepp Maier, tak satupun yang berkontribusi buat serangan tim.

Tercatat nama Gyula Grosics, kiper pertama yang coba-coba melawan arus. Anggota generasi emas Hungaria era 1950-an ini sering menguji nyali, keluar sarang saat bola lepas dari bek. Tapi kasus ini tak menjadi bagian dari sistem bermain secara tim. Meski begitu, konsep kiper dinamis sudah diperkenalkan ke dunia. Tinggal menunggu waktu untuk dimanfaatkan.

Di Belanda, seorang iseng bernama Rinus Michel yang hobi mengutak-atik strategi, mengenalkan strategi total football saat melatih Ajax mulai 1965. Ia menjambret trofi dari berbagai ajang. Sukses ini membuatnya dipindahtugaskan ke timnas Belanda, dan popularitas taktiknya naik. Atas buah keisengannya, pada 1999 FIFA mendaulat Michels sebagai Pelatih Terbaik Abad 20. Taktiknya pun dikenang sebagai puncak estetika sepakbola.

Dengan Totall Football, Michels minta para beknya naik ke tengah lapangan sambil menerapkan perangkap offside. Dengan begini musuh tak punya ruang saat mendapat bola. Tapi risikonya, di belakang tersisa banyak ruang buat diterobos umpan panjang dan lari striker cepat. Di sini peran kiper dinamis ala Grosics diperlukan. Ia harus keluar menyapu bola manakala lepas dari kawalan bek. Sejak itu kiper mulai terlibat dalam taktik.

Tentu tak sembarang kiper mampu menjalankan tugas ini. Dia harus punya kecepatan dan kemampuan membaca permainan. Pada saat itu yang punya syarat demikian cuma kiper PSV, Jan van Beveren. Fanatisme Michels pada spesies kiper yang langka ini terlihat dari di Piala Dunia 1974 saat van Beveren cedera. Bukannya menaikkan jabatan kiper kedua, Piet Schrijvers, ia memanggil kiper FC Amsterdam, Jan Jongbloed yang disebut-sebut kurang bagus mainnya.

Namun seperti dicatat kritikus sepakbola Joshua Askew, Jongbloed punya riwayat suka ikut-ikutan menyerang kala timnya ketinggalan. Keberanian inilah yang justru dibutuhkan total football. Ketika Michels menangani Barcelona di kemudian hari, ia mengekspor filosofi totall football dalam metode latihan klub Catalan ini.

Memang belum ada yang mampu memainkan total football seperti Ajax, Belanda dan Barcelona, tapi tak berarti detail-detailnya tak dipakai tim lain. Di Amerika Latin, tempat tumbuh pemain dengan berbagai gaya ajaib, ide kiper dinamis sepertinya cukup menarik perhatian.

Akhir 1980-an nama pria Kolombia Rene Higuita kesohor sebagai kiper sableng yang tak betah di tempat. Ia kerap menggiring bola jauh ke depan demi membantu serangan. Beberapa tahun kemudian jejak Higuita diikuti kiper mungil asal Mexico, Jorge Campos. Meski tergolong pendek, loncatannya tinggi bukan main, seolah tengah digendong jin. Selain rajin membantu serangan, Campos memiliki versatilitas amat langka. Di awal karier, bosan jadi kiper cadangan ia minta main jadi striker dan menggelontor 14 gol dalam semusim.

Di Eropa yang lebih teratur, gaya sableng Higuita dan Campos tentu sulit diterima. Lagipula kebiasaan keduanya berdasar inisiatif pribadi, bukan bagian taktik tim. Eropa mengembangkan tipe kiper dinamis yang lebih masuk akal. Diceritakan penulis Brilliant Orange, David Winner, mengikuti rekomendasi temannya kala main ceki bersama, pada tahun tahun 1989 Louis Van Gaal memboyong seorang remaja kurus ke Ajax untuk dijadikan kiper yang piawai menggunakan kaki. Remaja itu tumbuh menjadi kiper utama Ajax yang merebut trofi Liga Champion 1995, dan menjadi Kiper Terbaik Eropa. Namanya Edwin van Der Sar.

Banyak pengamat menyebut para kiper dinamis semodel Grosics sebagai sweeper keeper. David Winner tak sepakat. Baginya van Der Sar sweeper keeper pertama di dunia. Kalau pendahulunya sekadar tukang serobot bola yang lolos dari hadangan bek, van Der Sar sanggup mengontrol bola dengan tenang dan tahu dengan baik ke mana ia harus mengoper. Ia tak ubahnya peran sweeper alias libero yang dulunya dimainkan bek seperti Matthias Sammer atau Franz Beckenbauer. Lewat kaki van Der Sar kiper punya peran lebih kompleks. Mereka wajib punya intelejensi permainan, dan sanggup terlibat mengontrol permainan.

Di Barcelona, bibit yang ditanam Michels dan dirawat Cruyff kini tumbuh. Produk binaan La Masia seperti Victor Valdes dan Pepe Reina fasih demonstrasikan hasil latihan khas totall football. Di Inggris, virus ini menulari klub medioker bernama Swansea yang seperti tengah mengajari klub-klub Inggris bermain dengan umpan-umpan pendek ala Eropa Daratan. Di gawang mereka berdiri kiper Belanda Michael Vorm yang tenang mengontrol bola meski ditekan penyerang lawan.

Ke depan, rasanya kita boleh berharap sweeper keeper bakal menjadi tren baru sepakbola.

*Penulis kolom dan aktif di blogger (http://blogahmadmakki.blogspot.com/)


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta