Berita Terbaru:
Home » » Aku Jemput Kau di Jogja

Aku Jemput Kau di Jogja

Written By angkringanwarta.com on Friday, April 13, 2012 | 16:36

Oleh Dede Supriyatna

Dan secara tiba-tiba tersenyum sendiri kala mengingatnya. Entahlah, mengapa tiba-tiba terbesit tentang perjalanan yang telah lama berlalu. Mungkin inilah yang diungkapkan Tagore sastrawan asal India, "Bahwa kita akan selalu melihat belakang dan berharap peristiwa itu kembali terjadi."

Namun, apakah mungkin akan terjadi hal yang serupa dengan waktu berbeda, meskipun orang-orang, tempat, dan lain-lainnya sama?

Dan saat ini, saya merindukan masa-masa itu, bagaimana orang-orang menolong tanpa sebelumnya mengenal, bagaimana kita melewati perjalanan dengan melawan emosi dari tiap-tiap diri kita, sambil bermuka muram, pada akhirnya tinggal bagaimana kita mencerna perjalanan tersebut.

Sekilas tentang kisah perjalanan yang masih begitu nyata. Awal kisah, "Ted, kamu harus datang, pokoknya harus datang. Titik," sebuah akhir percakapan melalui telepon gengam. Selang beberapa hari, "Jemput saya di stasiun Lempuyangan." Sebuah kalimat yang masuk dalam telepon genggam saya.

Dan setelah beberapa hari, kita habiskan waktu di Jogja, maka tiba saatnya perjalanan ke Jakarta dengan mengendarai Vespa berwarna putih dimulai. Sekilas tentang Vepi, nama Vepi akibat warna putih yang melekat, maka vespa diberi nama si Vepi.

Awal pemberangkatan, jatuh pada pukul 07.00 WIB dengan segala macam persiapan. Vepi telah siap mengantarkan kita menuju Jakarta. Dan tujuan saya ke Jogja tak lain, hanya hanya untuk menjemput Vespa ke Jakarta atau membawanya ke Jakarta. Vespa itu, merupakan warisan dari abang yang pernah dibeli di Solo lalu dibawa ke Jogja oleh temannya.

Saya yang mengendarai Vepi dan Tedi telah duduk di kursi belakang. Akhirnya, Vepi meluncur pelan meninggalkan kota Jogja. Sesampainya di ujung kota, kami berpisah dengan Imam yang merelakan waktunya untuk mengantar kami sampai ke luar kota gudeg. Singkat cerita cuap-cuap perpisahan terjadi, Vepi kembali melaju pelan.

Dan tiba-tiba di suatu daerah entah itu di mana, Vepi tak dapat bergerak sama sekali. "Ada apa?" Kepanikan meliputi perasaan kami, waktu telah menjelang sore hari. "Bengkel aja, kamu masih ada duit berapa?" Tanyaku padanya. "Enggak pegang duit sama sekali." Jawabnya singkat.

Di kantong celana terdapat uang sekitar Rp 70 Ribu dan perjalanan masih jauh. Sambil memikirkan bagaimana nantinya, akhirnya kami berhenti di sebuah bengkel Vespa. Dan perasaan makin tak karuan, saat sang punya bengkel memberi tahu perlu dibongkar. Dengan berwajah melas, kami mencoba merayu si punya bengkel. "Pak, kami tinggal duit segini dan tujuan kita mau ke Jakarta." Dia hanya tersenyum, "Sudah santai aja."

Setelah dibongkar ditemukan besi berukuran sebesar biji kacang. "Kemarin dibetulkan di mana?" "Bengkelnya kurang rapih, kurang teliti, masa besi ukuran seperti ini bisa menyempil di gir-gir Vespa dan pada akhirnya menyumbat kerja Vespa. Dari sana baru tahu bagaimana mesin Vespa bekerja. Setiap gir akan bertemu dengan gir yang lainnya dan saat putaran gir terhalang maka sistem kerja Vespa tak bekerja.

Sambil mengamati proses perbaikan Vespa, kami ditawari untuk minum kopi hitam. Tangannya yang sibuk memasang mesin Vepi, ia banyak bercerita tentang masa-masa lalu, saat ia melakukan perjalanan dengan mengendarai Vespa bersama teman-temannya.

Hampir satu jam lamanya, akhirnya Vepi telah siap kembali beraksi. Dan setelah basa-basi perjalanan kembali dimulai. Sepanjang perjalanan, kami hanya terdiam dan saat adzan magrib tiba, kami telah sampai di Kabupaten Kebumen. "Kalau kemalaman kita menginap di mushola atau pembensin aja," ujarku.

Dan kala memasuki kawasan terminal Gombong, entah mengapa lampu Vepi tiba-tiba mati. "Mau bagaimana, apakah kita nekat lanjutkan jalan?" "Jalan aja," komentarnya singkat. Sepanjang perjalanan Vespi akan melaju cepat dan kembali pelan atau sejenak berhenti saat mobil itu telah menyalip.

Suasana jalan begitu gelap dan hanya perasaan yang gunakan untuk mengendarai Vespa, sebagaimana tiba-tiba berasa jalan kurang halus, maka bergegas mungkin membanting setir dan akan mendapatkan tanggapan dari sebuah bunyi klakson dari arah depan. Barulah menyadari, bahwa posisi vespa telah berada di tengah ruas jalan.

Sepanjang perjalanan, kami mencoba mengambil perhatian dengan mengobrol, tanpa terasa kami telah sampai sebuah desa yang biasanya orang menyebutnya dengan desa Kebarongan. Desa itu terletak sebelum buntu. Di sana kami mampir di sebuah warung dan beruntung si pemilik masih mengenali diri saya.

Pemilik warung mencerca dengan begitu banyak pertanyaan dan tak luput menawarkan makan. Seusai makan, kami pergi meninggalkan warung makan, lalu mencoba menginap di sebuah tempat yang pernah saya tempati, sebagai tempat tinggal sementara.

Kami berdua menempati sebuah kamar khusus, di sana beberapa orang menyambut kedatangan kami. Dan balik kamar ini, terdapat sebuah kamar yang sempat saya tempati selama tiga tahun. Sebelum benar-benar tidur, kami hanya berbincang bagaimana besok melanjutkan perjalanan kembali dengan sisa uang tersisa Rp 20.000,-.

Pagi telah datang, suasana begitu ramai dan kami telah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Namun, sebelum pergi telah terdapat satu sangko nasi, sayur kangkung, dan beberapa irisan telor goreng.

Perjalanan kembali dimulai, kami sengaja memilih lewat jalan samping sungai Serayu. Dan saat memasuki kawasan Lumbir, Jawa Tengah kami kehabisan bensin. Uang tersisa dikantong telah ludes. Yang tersisa di bok Vepi tinggal dua oli sebagai penyapur bahan bakar. Satu oli kebetulan masih utuh alias belum dibuka sama sekali.

Akhirnya Tedi yang selama perjalan hanya membonceng, kini kembali turun untuk mendorong dan perihal peran mendorang entah keberapa kalinya peran itu diambil olehnya. Oh, iya sekilas tentang gambaran daerah Lumbir, Lumbir merupakan daerah perbukitan dengan kondisi yang demikian membuat energi lebih untuk membawa Vepi.

Saat menemukan bensin eceran, "Coba oli ditukar sama bensin." "Permisi, bu. Maaf, kami kehabisan uang dan tak punya uang untuk membeli bensin. Boleh, enggak oli ditukar bensin." tutur Tedi. Pemilik hanya terdiam, matanya mengamati. Dan akhirnya, ia bersedia juga memberikan dua liter bensin." Terimakasih," akhir dari transaksi.

Perjalanan berlanjut, tepat di desa Cimanggu, kec Cimanggu, kab Cilacap bensin kembali habis. Sambil mendorong Vepi memasuki sebuah perkarangan rumah, lalu mengetuk pintu, sambil berujar salam. Tak berapa lama, tuan rumah keluar dan menyambut kedatangan kami. Dan hal yang paling ditunggu-tunggu akhirnya datang jua, yakni sebuah hidangan makanan.

Sambil menghidangkan makanan, tak luput yang punya rumah bertanya-tanya, dari mana? dan segala hal-hal lainnya. Pertanyaan semakin bertambah kala orang yang telah berumur lebih dari 7o tahun ikut menyambut kedatangan kami. Ia berteriak histeris melihat cucunya ada tepat di hadapannya.

Di sana, kami menginap di tempat nenek yang ditemani anaknya yang telah berkeluarga. Malam ini, saya menginap di rumah yang pernah menjadi tempat tinggal kami, dan sekarang ditempati kakak sepupu. Beberapa hari, kami menginap di desa kelahiran saya. Dan saat telah bersiap untuk berangkat, saya di beri modal Rp 100 Ribu yang didapat dari saudara dan juga satu kardus rambutan.

Basa-basi telah usai dilakukan, Vepi telah benar-benar siap untuk kembali beraksi melintasi Jawa Barat. Vepi ngadat, mesinnya begitu panas. Untuk beberapa saat, akhirnya hidup kembali setelah busi diambil dan didiamkan beberapa lama. Kejadian ngadat di Banjar Pratoman membuat terjadi keributan.

Menjelang magrib kami telah sampai di Bandung dan singgah di Cibiru, tepanya di depan UIN Bandung. Dan selanjutnya kami menginap sebuah kosan seorang temannya Tedi. Rencananya kami hendak menginap di Presma UIN Bandung. Selama di Bandung, kami habiskan dengan berkeliling kota kembang.

Salah satunya yang kami kunjungi, yakni UNISBA, Dago, gedung sate, dan lain-lainnya. Sayang, Vepi ngadat yang membuat kami tak dapat melanjutkan perjalanan kami, belum lagi cerita-cerita tentang geng motor. Yang membuat semakin perasaan tak karuan, saat mengetahui kunci busi tertinggal.

Lalu seorang teman mengusulkan untuk mendatangkan seseorang, ia adalah seorang teman dari temannya teman. Tak lama, akhirnya seorang dengan tubuh tinggi datang. Ia datang dengan mengendarai Vespa. Kami berkenalan dan segala macam darinya, terujar "Gila, kalau saya belum tentu berani." Ungkapnya setelah mendengar reaksi dari saya. "Udah di dorong dari belakang aja, atau bahasa lainya, yakni disetut. Malam ini menginap di kos saya saja," ajaknya.

Vepi telah sehat kembali dan kami juga telah siap melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Sambil bertanya-tanya soal denah perjalanan. Perlahan-lahan Vepi meninggalkan Cibiru. Saat hendak sampai puncak, Vepi kembali ngadat dan apesnya kunci busi kembali tertinggal. Mau tidak mau harus di dorong. Kupandangi dirinya, ia hanya cemberut. Tak lama, seorang pengendara Vespa berpapasan.

Tanpa diminta pertolongan, dia balik arah dan langsung mengeluarkan alat-alat bongkar. Obrolan dengannya berjalan mengasikan, dia dari Bogor dan hendak ke Bandung. Dia sudah hampir dari SMP sering bongkar-bongkar Vespa.

"Sudah, semoga tak ngadat sampai tujuan" Akhir dari obrolan yang terbangun antara kami. Dan ternyata benar, saat sampai kampung rambutan Vepi sama sekali tak mengalami gangguan. Dan saat turun dari kawasan Jonggol rintik hujan menyambut kedatangan kami, kami berteriak-teriak.



Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta