Berita Terbaru:
Home » , » Surat Terbuka Untuk Jakob Oetama

Surat Terbuka Untuk Jakob Oetama

Written By angkringanwarta on Monday, June 18, 2012 | 02:56


Sdr. Jakob Oetama,

Saudara sering berbicara tentang pentingnya upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Itu juga dengan jelas dan gagah terpampang di situs resmi perusahaan yang saudara dirikan, Kompas Gramedia. Jika saudara lupa atau mungkin tidak sempat membacanya, saya tampilkan ulang di sini bagaimana perusahaan yang saudara dirikan mendeskripsikan dirinya sendiri:

“Tidak ada kebanggaan yang lebih besar di saat kita bisa ikut andil dalam mencerdaskan bangsa”

Terimakasih untuk telah mendirikan Gramedia. Sedikit atau banyak, saya ikut tercerahkan dengan buku-buku yang diterbitkan atau dijual oleh perusahaan yang saudara dirikan. Tapi saya tidak mungkin berterimakasih untuk aksi pembakaran buku “5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia” di halaman Bentara Budaya Jakarta yang dilakukan PT Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Betul, bukan, itu salah satu anak perusahaan yang saudara dirikan?

Tapi lihatlah bagaimana buku-buku dibakar dan dibumihanguskan, bukan oleh Hitler atau rezim fasis yang sudah tercatat dalam sejarah, bukan oleh Kejaksaan Agung, bukan oleh Polisi, bukan oleh preman-preman yang jualan otot dan hiruk-pikuk suara, tapi oleh PT Gramedia Pustaka Utama sendiri, dan pembumihangusan buku itu juga dilakukan di halaman Bentara Budaya Kompas.

Apa yang saudara rasakan saat melihat foto di bawah ini?



Saya sengaja menghitamkan wajah yang ada di dalam foto-foto itu, baik mereka direktur atau wartawan atau ulama, baik yang mengenakan kemeja, baju batik, menggunakan ID Card wartawan, yang mengenakan kopiah, yang memegang payung atau yang sedang dipayungi.

Bagi saya, wajah-wajah yang hadir di sana itu sama saja: semuanya mewakili wajah kebudayaan yang makin lama makin suram oleh ketidakmampuan menyikapi perbedaan dan (ini yang terpenting) bersikap afirmatif terhadap tekanan dan kekerasan yang mengatasi dan melampaui hukum.

Kompas (itu surat kabar yang saudara dirikan, bukan?) pada 16 Oktober 2010 pernah menulis tajuk rencana yang brilian mengenai dunia buku. Saat itu, sebagaimana dikomiplasikan oleh akun @radiobuku, Kompas menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan kewenang Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran sebuah buku.

Kompas menulis editorial: “Kewenangan melarang buku dalam sejarah lebih banyak tersebab politik ketimbang kepentingan edukatif. Atas nama politik buku gampang dilarang terbit. Atas

nama politik, buku dengan sewenang-wenang dirampas dan dibakar. …Kita ucapkan selamat datang kebebasan berekspresi. Ini pekerjaan rumah kita bersama untuk merawatnya.”

Amanat MK jelas: sebuah buku dinyatakan bersalah atau tidak harus ditentukan oleh pengadilan. Pelarangan buku masih bisa dilakukan, tapi hukum memberikan perlindungan agar pelarangan itu tidak lagi dilakukan dengan sewenang-wenang dan semau-maunya. Buku harus dibawa ke pengadilan, diteliti, ditelaah dan diperdebatkan secara terbuka.

Sayang sekali Gramedia Pustaka Utama, sebuah penerbit raksasa di Indonesia, tidak memanfaatkan itu untuk menjadi contoh bagaimana menyikapi sebuah buku dengan cara yang konstitusional.

Asal saudara tahu, putusan MK itu lahir setelah sekumpulan anak muda tanpa kocek tebal, dengan biaya sendiri, mengajukan judicial review terhadap kewewenangan Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran sebuah buku secara sepihak.

Mestinya Gramedia yang mengambil inisiatif melakukan judicial review, karena semua penerbit sesungguhnya berkepentingan dengan beleid karet bergaya kolonial itu. Tapi bahkan ketika judicial review itu sudah dilakukan dan berbuah, putusan MK itu pun tidak digunakan sama sekali.

Benar bahwa buku itu diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Benar bahwa itu duit dari Gramedia Pustaka Utama. Benar bahwa Gramedia berhak menarik dari peredaran buku yang diterbitkannya sendiri. Tapi lain soal ketika penarikan buku itu berdasarkan tekanan ormas. Lain soal pula ketika penarikan itu juga ditindaklanjuti dengan pembakaran buku. Lain soal juga ketika pembakaran itu dilakukan di halaman Bentara Budaya Jakarta.

Tidak cukupkah penarikan buku itu dari peredaran? Atau, jika ingin sedikit tega, bukankah bisa didaur-ulang menjadi bubur kertas kembali demi menghormati pengorbanan sekian pohon yang harus ditebang demi pencetakan buku tersebut? Lalu kenapa sampai pembakaran itu harus dipertontonkan di muka umum? Perayaan apa yang hendak dipertontonkan?

Saya menghormati, kita harus menghormati siapa pun yang tersinggung dengan isi buku tersebut. Tapi bayangkanlah apa jadinya jika tiap kali seseorang tersinggung dengan sebuah buku lantas tiap penerbit akan membakar buku yang diterbitkannya.

Agar tidak terjadi seperti itu, makanya Mahkamah Konstitusi mengabulkan judicial review yang mempreteli kewenangan Kejaksaan Agung sembari menyerukan agar setiap buku yang bermasalah sebaiknya dibawa pengadilan untuk didiskusikan, ditelaah dan diperdebatkan.

Saudara perlu mempertimbangkan kembali apa efek dari tindakan yang dilakukan Gramedia Pustaka Utama ini pada penerbit-penerbit lain yang jauh lebih kecil, penerbit yang berkantong pas-pasan, penerbit yang tak punya saudara kandung sebesar dan sepenting koran Kompas.

Penarikan buku masih bisa dipahami, tapi pembakaran buku yang dipertontonkan di muka umum oleh Gramedia Pustaka Utama adalah afirmasi sempurna atas sikap intoleran yang makin menggejala belakangan ini. Bagi saya, pembakaran buku di halaman Bentara Budaya, dengan disaksikan belasan orang dari berbagai kalangan, adalah sebuah orgy yang merayakan syahwat nekrofilia kebudayaan.

Kembali saya perlu mengingatkan kalimat yang tertera dalam tajuk rencana Kompas itu: “Kita ucapkan selamat datang kebebasan berekspresi. Ini pekerjaan rumah kita bersama untuk merawatnya.”

Semoga pekerjaan merawat kebebasan berekspresi ini masih dianggap sebagai pekerjaan rumah bersama kita, saya, teman-teman saya, saudara dan semua perusahaan-perusahaan yang saudara dirikan.

Jika pun harus kalah dalam perjuangan merawat kebebasan berekspresi itu, biarlah kekalahan itu terjadi tidak dengan mudah dan setelah melalui perlawanan sebisanya. Sehingga dalam pahitnya kekalahan itu seseorang masih bisa berkata: “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Jika memang upaya merawat kebebasan berekspresi itu tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan rumah Gramedia Pustaka Utama, biarlah kami masyarakat sipil ini yang akan merawatnya, dengan sebisanya, dengan semampu-mampunya — sebagaimana dulu kawan-kawan kami juga yang dengan inisiatif sendiri melakukan judicial review tanpa bantuan orang-orang kaya yang dibesarkan oleh bisnis perbukuan.


Sumber;
Tulisan di atas adalah surat terbuka dari seorang sastrawan @zenrs kepada Jakob Oetama.
Link Surat, Di sini

(Dedik)

Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta