Berita Terbaru:
Home » , » Mahasiswa dan Pengkhianatan

Mahasiswa dan Pengkhianatan

Written By angkringanwarta.com on Wednesday, July 11, 2012 | 11:44

Oleh: Wisnu Prasetya Utomo

Gerakan mahasiswa '98 dan pendudukan gedung DPR
(sumber gambar: id.wikipedia)

Seorang kawan bercerita dengan geram mengenai afiliasi organisasi gerakan mahasiswa –  yang pernah ia ikuti – dengan partai politik. Menurutnya, afiliasi ini memalukan karena menumpulkan nalar kritis, mengkhianati independensi, dan hanya melatih mahasiswa jadi politikus.

Kawan ini pernah menduduki posisi yang cukup penting di organisasi tersebut, koordinator nasional bidang media. Tapi setelah sadar bahwa organisasi tersebut hanya menjadi alat politik parpol, ia memutuskan keluar.
.
Mendengar kisah tersebut, saya teringat dengan pengalaman personal beberapa waktu yang lalu. Saya sempat ditawari untuk bergabung dengan salah satu organisasi mahasiswa yang secara resmi berada di bawah struktur partai politik.

Tawaran ini diembel-embeli dengan beasiswa S2 ke luar negeri dan setelah lulus ditempatkan kerja di bidang yang saya inginkan. Menggiurkan bukan? Tawaran ini saya tolak karena enggan berhubungan dengan partai politik, apalagi masih menyandang status sebagai mahasiswa.

Dua kisah tersebut memantik saya untuk melihat kembali relasi organisasi gerakan mahasiswa dengan partai politik. Relasi yang memiliki bangunan historis cukup panjang dalam sejarah di republik. Relasi yang kadang malu-malu kucing diakui, tetapi tidak sedikit pula yang ditunjukkan dengan penuh kebanggaan.

***

Ketika masih menjadi perwira, Leo Tolstoy pernah menegur rekannya yang menampar orang yang keluar dari barisan. “Kau tidak malu memperlakukan sesama manusia seperti itu? Bukankah kau pernah membaca kitab Injil?” Pertanyaan ini langsung dijawab rekannya, “Bukankah kau pernah membaca peraturan militer?”

Dalam pengantarnya di buku La Trahison des Clercs (1927), Julien Benda menggunakan kisah tersebut sebagai analogi balasan yang digunakan oleh orang-orang realis-pragmatis (politisi) kepada mereka yang idealis (intelektual). Dengan kisah tersebut, Benda juga mengatakan bahwa para politisi yang “berlebihan simplistisnya” menggunakan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan, termasuk dengan membungkam kebenaran.

Persoalannya, kaum intelektual juga seringkali tergoda menggunakan cara-cara semacam ini. Mereka masuk ke gelanggang politik praktis untuk menjadi pelayan politisi, menyalurkan gairah politik yang meluap, dan melupakan peran keberadaannya. Dalam ungkapan Benda, “le clerc loue par des seculiers est traitre a sa function”. Intelektual yang disewa oleh kekuasaan adalah pengkhianat fungsinya.

Lebih jauh, tuduhan pengkhianat ini muncul karena peran seorang intelektual, pada mulanya, adalah berpihak pada kebenaran yang melampaui kepentingan politik praktis. Ia mampu menerjemahkan kemampuan nalar (reasoning power) untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Segala aktivitasnya dilakukan untuk memperjuangkan hakikat yang ideal, yang transenden.

Maka, misalnya, dalam konteks kemasyarakatan, seorang intelektual adalah mereka yang mampu bekerja untuk mewujudkan suatu bonum commune. Mereka bersikap kritis terhadap kekuasaan yang melanggengkan eksploitasi dan dominasi dalam sistem nilai. Dengan kata lain ia mengartikulasikan gagasan-gagasan maupun kepentingan-kepentingan kelompok masyarakat yang termarginalkan. Gramsci menyebutnya sebagai intelektual organik.


Mahasiswa, dalam batas-batas tertentu, bisa dimasukkan dalam golongan intelektual. Saya mengatakan ada batas-batas tertentu karena sifat kemahasiswaan yang temporer membuatnya problematis untuk disandingkan dengan kaum intelektual yang memiliki posisi sosial tertentu. Karena belum memiliki ijazah sebagai “bukti” penguasaan ilmu pengetahuan yang dipelajari, ia belum mendapatkan legitimasi kultural dari masyarakat. 

Dalam bahasa Daoed Joesoef, mahasiswa masih berada dalam tahap intelektual konsumtif, di bawah intelektual reproduktif dan intelektual produktif. Intelektual produktif berada dalam lapisan teratas karena merupakan intelektual yang sudah “jadi” karena sudah memiliki karya atau ide yang sifatnya ilmiah sekaligus praktis. Intelektual reproduktif berada pada tahap melakukan interpretasi dan transmisi dari karya-karya tersebut. Sementara intelektual konsumen adalah mereka yang masih belajar untuk menjadi reproduktif, selanjutnya produktif. 

Di negara dunia ketiga, sosok intelektual konsumtif ini seringkali mengabaikan posisinya tersebut. Boleh jadi karena situasi objektif sosial politik yang  menghendakinya, bisa juga karena mahasiswa sadar dengan potensi diri dan memanfaatkannya untuk tujuan pragmatis. Sejarah di republik telah menunjukkan bagaimana mahasiswa tumbuh menjadi kekuatan politis yang demikian besar. 


Potensi yang dimanfaatkan betul oleh aktor-aktor politik (termasuk parpol) untuk memperjuangkan kepentingannya. Kecenderungan ini yang akhir-akhir ini menguat kembali. Padahal, mahasiswa dan partai politik berada dalam dua ranah yang berbeda. 


Kalau mengikuti pernyataan Benda, mahasiswa berada dalam golongan intelektual yang berdiri berhadap-hadapan partai politik. “Kepentingan” menjadi kunci yang menghadapkan keduanya. Seorang intelektual, menarik berbagai kepentingan dan mengekstraksikannya dalam gagasan yang menjadi ikhtiar untuk mencari kebenaran. Ikhtiar untuk memayu hayuning bawana, menciptakan keselarasan dalam kehidupan di dunia.

Sementara partai politik, meletakkan kepentingan dalam konteks perebutan kekuasaan. Tidak ada urusan dengan kebenaran. Menyepakati apa yang disampaikan Foucault, kekuasaan adalah strategic games beetwen liberties, totalitas struktur tindakan yang mengarahkan tindakan dari individu-individu yang merdeka.


Pada tahap selanjutnya, kepentingan yang malih rupa menjadi kekuasaan akan berkonsolidasi menjadi dominasi. Dengan dua ekstrim tersebut, wajar jika menyebut mahasiswa (apalagi organisasi mahasiswa!) yang berafiliasi kepada partai politik sebagai pengkhianat. Afiliasi ini bentuknya bisa bermacam-macam. Di antaranya, afiliasi ideologis. Secara resmi, (organisasi) mahasiswa dengan partai politik tidak memiliki relasi struktural. Kedekatan berada pada landasan ideologi yang sama. 

Biasanya relasi ini berkelindan dengan persoalan agama. Atas nama dakwah, (organisasi) mahasiswa dengan taklid buta. Dengan alasan itu pula program-program –  termasuk instruksi –  partai politik dijalankan dengan sukarela untuk kepentingan dakwah.

Pengalaman saya menunjukkan bahwa gerak (organisasi) mahasiswa ini selalu seragam dengan parpol yang diimaminya. Segala tingkah laku politik yang dilakukan didasarkan pada langkah-langkah sang imam. Pernah satu ketika saya terjebak dalam sebuah forum organisasi mahasiswa lintas universitas yang mayoritas dikuasai organ tertentu. Dalam forum tersebut, ketua-ketua yang sedang aktif menjabat, tunduk pada arahan senior-seniornya di parpol! Program kerja diintervensi dan diperiksa secara rutin.

Model afilias tersebut tidak jauh berbeda dengan afiliasi resmi. Dalam hal ini tidak ada pertanyaan lagi mengenai relasi keduanya sebab (organisasi) mahasiswa menjadi sayap partai secara struktural, yang itu berarti partai politik adalah patron yang memutuskan apa yang seharusnya dilakukan. Tujuannya tentu melanggengkan kepentingan-kepentingan politik yang dimiliki sang patron. Mahasiswa hanya sebatas menjadi serep.

Wajar jika mereka hanya menghamba pada kekuasaan tanpa nada kritis. Dalam istilah jawa, surga katut, neraka manut. Selanjutnya, afiliasi pragmatis. Pada posisi ini, (organisasi) mahasiswa memanfaatkan betul potensi yang melekat pada dirinya untuk mendapatkan tujuan-tujuan tertentu. Biasanya, mereka menggunakan kesempatan untuk melapangkan jalan karier personal –baik materi ekonomi, maupun pendidikan – yang sedang dirancang. Karena itu, siapa parpol yang dianggap akan menguntungkan, pasti akan mendapatkan dukungan. Ya, mirip-mirip aktivitas kutu yang suka meloncat-loncat.

Di medan gerakan, sering juga saya temui aktivis-aktivis model semacam ini. Dalam sekali waktu, mereka mendukung parpol tertentu. Di waktu lain, mereka mendukung parpol berbeda. Jangan heran misalnya mahasiswa-mahasiswa yang selesai aktif dari organisasi gerakan mahasiswa di kampus melanjutkan karier politiknya di partai politik yang selama ini ia ikuti. Atau setidaknya, ia mendirikan kelompok-kelompok diskusi ataupun semacam lembaga konsultan politik yang didanai oleh parpol. Romo Mangun menggambarkan hal ini dalam kalimat: “ke mana hembusan angin, ke sana jasku melambai”. 

Beberapa kawan tidak sependapat dengan apa yang saya katakan di atas. Menurut mereka, afiliasi dengan partai politik tidak perlu ditutupi dan sah dilakukan karena (organisasi) mahasiswa adalah sebuah gerakan politik. Karena itu, kepentingan dan agenda gerakannya jelas. Jadi buat apa malu-malu berafiliasi?

Menyebut mahasiswa sebagai gerakan politik, dalam beberapa hal saya sepakat. Mahasiswa memang mempunyai kekuatan politis yang resonansinya begitu kuat. Tapi kalau itu dijadikan pembenaran untuk menjadi antek partai politik, saya kira ada sesat pikir yang terjadi.
Logika ini akan semakin kacau jika dikembalikan dengan posisi sebagai intelektual yang sudah saya jelaskan di atas dan dikaitkan dengan independensi yang – seharusnya – menjadi ciri khas (organisasi) mahasiswa.

Kekuatan politik mahasiswa justru terletak pada independesinya itu. Jika independensi ini tiada, maka hilanglah pula semangat kemahasiswaan itu. Berganti dengan semangat menjadi politikus muda partai politik. Kira-kira begitu.

Penulis adalah mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Redaktur Senior BPPM  Balairung. Berkediaman di  @wisnu_prasetya

Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta