Berita Terbaru:
Home » » Senja Sepekan

Senja Sepekan

Written By angkringanwarta.com on Thursday, August 30, 2012 | 21:57

Oleh Kahfi*


Tanpa lilin dan kue manis-manis, aku menikmati sendiri hari ulang tahun, kini usia sudah menua, ibarat hari telah jauh memasuki senja. Sebentar lagi malam, aku dan generasiku kelak terbenam, gelap dan lenyap, berganti hari baru, sinar-sinar terang datang bersama erangan bayi yang baru lahir dan para remaja mulai tumbuh dewasa.

Pikiran-pikiran itu lebih meyekap diriku ketimbang kejadian dua hari kemarin. Lusa lalu, istri pengganti istri pertamaku pergi, ia menyerahkan aku kepada anak-cucuku, ia merasa tak lagi bisa hidup bersama, memilih pergi kembali ke kehidupan sediakala, berdagang di kantin sekolah dekat rumah cucu sulung.

Sejak kematian istri pertama dulu, aku merasa tak lagi mempunyai tempat bagi perempuan lain, terlepas usia memang tak lagi muda, aku telah merelakan jalan perpisahan dengan istri yang aku cintai itu, berharap nanti bercumbu kembali di taman firdaus. Demikianlah selalu pintaku pada Sang Khalik.

Doa dan gelisah itu membuatku terdiam lama, lebih lama dari umur pernikahanku dengan istri pengganti istri pertamaku. Karena diam paling diam itulah aku dikira lumpuh, hingga anak-anak yang berjumlah empat orang dan masing-masing sudah berkeluarga kelimpungan mencarikan tempat pengobatan ampuh khusus lumpuh. Mulai dari terapi batu panas hingga akupunktur, hanya saja aku belum diajak menjajal pengobatan di luar negeri, terlalu mahal mungkin untuk anak-anakku.

Sikap diam yang aku lakukan membuat banyak orang jengah. Tak sedikit dokter dan ahli terapi jengkel, keempat anakku juga tak luput dari rasa kesal terhadapku. Mereka menganggap sikapku itu memuakkan, mulailah mereka menerka bahwa aku berpura-pura sakit saja, satu persatu mereka mengendurkan perhatian, tak lama kemudian mereka masing-masing mengundurkan kemauan merawatku, mereka berupaya mencarikan aku seorang istri. Terhadap semua itu, aku pun diam.

Istri ku yang satu ini hadir begitu saja. Tak pernah aku kenal sebelumnya, aku hanya melihat kali pertama saat ia datang bersama keempat anaku, aku menyalaminya dengan uluran tangan lemah sedang aku masih berkukuh di atas kursi roda. Ketika itu tak lagi ada yang menanyakan kesetujuanku, sebab mereka tahu kalaupun bertanya, aku tetap menjawab mereka dengan diam.

Entah bagaimana, pada akhirnya datang penghulu, ia setuju memutuskan bahwa mulai saat itu aku beristrikan pedagang di kantin sekolah ini. Istriku ini nenek berusia dua tahun lebih muda dariku, lima tahun lebih tua dari istri pertamaku. Aku berdua saja dengannya di rumah besar peninggalan Ayah kandungku, dikelilingi perabot yang tak lagi aku ingat kapan membelinya. Anak-anaku beserta anak-anak mereka, berkunjung sekali sebulan sejak saat itu.

Bagian hidup keseharian aku lalui secara rutin, beranjak hanya waktu sholat lima waktu, itupun sekadar bergerak dari kursi roda ke pembaringan. Malam dan siang jadi berbeda karena terang dan gelap saja, aku tetap dalam kemurungan, diam. Mungkin, istri pengganti istri pertamaku merasakan bosan bukan kepalang menghadapi kenyataan sehari-hari ini.

Sampai suatu waktu, ia mengeluh. Menegur sikap kerasku, dari situ aku tahu bahwa semua orang menudingku hanya berpura-pura bisu, lumpuh dibuat-buat. Ia mengatakan kepadaku, “Saya mau merawat Bapak karena kasihan melihat anak-anak, tapi tolong bantu saya juga. Saya tahu Bapak masih bisa sembuh, sehat seperti sediakala, asal memang Bapak mau untuk sembuh.” Aku hanya diam.

Aku tahu semenjak menikahiku, istri pengganti istri pertamaku rela meninggalkan banyak hal, paling berat baginya meninggalkan usaha kantin. Kedatangan anak-anak dan cucuku tak mampu mengulurkan bantuan ekonomi yang ia harapkan. Ia pernah mengungkapkan kekecewaan itu kepada keempat anak beserta menantuku, buntutnya keempat anak dan menantuku terlibat cekcok. “Tidak adil, anakku lebih banyak, gajiku masih belum naik,” demikian satu dengan yang lain mengelak.

Sampai suatu waktu tiba, istri pengganti istri pertamaku menimpakan kekecewaannya kepadaku. Ia sudah mulai enggan menggantikan popok khusus dewasa yang biasa aku kenakan, tak lagi ada menyuapi makanan ke mulutku, walau sejak awal ia tak sekamar denganku, tapi sejak saat itu ia menjenguk kamarku hanya sekali dua hari. “Saya mulai dagang di kantin lagi, apa-apa urus sendiri dulu,” katanya padaku.

Tiap dua hari kala istri pengganti istri pertamaku melongok ke dalam kamarku, aku pasti sudah dalam kondisi paling buruk, kadang kotoran sudah berceceran, mengotori seprai, lantai, dan bahkan dinding kamar. Sisa makan sudah berserakan, dan botol plastik tempat minum terpelanting hingga ke mulut pintu.

Aku tahu ia membendung kemarahan, menutup mulut dan hidung dengan masker, agar kesal tak bercampur mual karena aroma apek kotoran menyelubung tubuhku. Ia menggulingkan tubuhku yang tak bisa bergerak sendiri, hingga dipapah duduk di kursi roda, dua hari sekali aku ia mandikan. “Kalau bukan karena baru menikah, aku sudah minta cerai Bapak,” kata istri pengganti istri pertamaku. Aku diam.

Tiga hari jelang akhir bulan, istri pengganti istri pertamaku menunjukan gelagat lebih baik. Ia menceboki dan memandikanku hampir tiap hari, sepanjang hari itu ia ramah penuh senyum. Ia juga tak pergi keluar sebagaimana biasanya untuk mengurus dagangan di kantin sekolah. “Lusa, anak-anak mau datang ke sini Pak,” ia memberitahuku sesudah menyuapi makan. Aku diam.

Sabtu pagi, awal bulan Mei, dua lelaki, satu tampak lebih tua dari anak tertuaku, seorang lagi jauh lebih muda, sudah menghampiri pembaringanku. Dalam lelap yang hampir sirna, perlahan aku membuka mata, mengembalikan kesadaran dan mulai mengingat, siapa mereka. Aku kenali mereka, anak dan cucu kandung istri pengganti istri pertamaku. Dua orang yang sama mendampingi istri pengganti istri pertamaku saat bersama di depan penghulu dulu.

“Sehat Pak?” Tanya lelaki yang lebih tua.
“Bagaimana kabarnya Kek?” Tanya seorang lainnya.
Aku diam.

Istri pengganti istri pertamaku manerabas masuk, ia membawakan segelas teh manis dan dua bongkah roti, makanan rutin tiap pagi. Setelah dibantu menegakan kepalaku oleh dua lelaki itu, istri pengganti istri pertamaku sigap membersihkan wajahku, menyaput kening dan bibirku dengan handuk basah hangat.

“Sekarang sudah bersih, baru sarapan Pak,” ajak istri pengganti istri pertamaku, aku diam menanggapi.

Ia bersama dua lelaki itupun beringsut keluar kamar. Istri pengganti istri pertamaku mendudukan mereka ke ruang tamu, persis sebelah kamar tidur, menghadap ruang keluarga samping dapur, dan ujung tangga ke lantai atas. Mereka bercengkrama, terutama soal keseriusan istri pengganti istri pertamaku untuk meminta cerai. Aku diam dan mendengarkan.
“Memang keadaan Bapak sudah terlalu parah, tak apalah Ibu bercerai meski baru menikah,” sambut lelaki yang lebih tua.

“Jadi nanti dibicarakan juga kepada anak-anak Kakek, mereka akan mengurusnya kan,” simpul lelaki yang lebih muda.

“Ya begitulah, nanti Aku kembali berdagang di kantin, biarlah demikian daripada aku mengurus Bapak, lelah rasanya,” ungkap istri pengganti istri pertamaku kepada dua lelaki itu.

Keempat anakku datang kemudian. Mereka tanpa didampingi para menantu dan cucu, meramaikan ruang tamu, tak satupun sempat menengoku lebih dulu. Mereka mendengarkan baik-baik permintaan cerai yang disampaikan anak lelaki istri pengganti istri pertamaku.

“Sesuai petunjuk kalian, saya sudah siapkan pakaian dan perlengkapan Bapak, tinggal dibawa saja,” kata istri pengganti istri pertamaku.
“Terima kasih Bu, maaf bila selama ini kami dan Bapak sudah menyusahkan,” anak tertua menimpali istri pengganti istri pertamaku.

Sampai istri pengganti istri pertamaku pamit beserta anak lelaki dan cucunya, aku tetap berdiam diri di dalam kamar. Toh, istri pengganti istri pertamaku itu hadir tanpa aku pinta, begitupun bisa pergi tanpa sepatah kata terakhir buatku. Tinggalah aku menunggu hendak berbuat apa keempat anakku ini.

*****

Hari ini, sehari setelah akhir pekan, hari kedua aku meninggalkan rumah warisan sang Ayah. Inilah kediaman anak bungsuku, ia seorang wanita lulusan diploma, sekarang ia bekerja sebagai staf administrasi sebuah klinik dokter spesialis. Suaminya juga bekerja, di mana dan posisi apa, aku tak pernah tahu.

Rumah ini mereka beli saat anak kedua berumur tiga tahun, itu empat tahun lalu, setelah si Bungsu setahun mengawali lagi kesibukan bekerja dan meninggalkan status profesi Ibu rumah tangga. Rumah ini sampai entah berapa belas tahun lagi masih belum lunas, anak bungsu dan menantuku bahu membahu menutup cicilan bulanan.

Di dalam rumah sederhana ini, berdiam kami berlima. Sejak beberapa hari lalu, anak pertama dari bungsuku terpaksa berpindah tempat tidur, ia menempati ruang keluarga, di rumah ini hanya tersedia dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan sebuah ruangan cukup besar yang dibagi menjadi ruang tamu dan ruang keluarga.

Sejak pertama meninggali kamar baru ini, tak satupun cucuku menampakan diri, mereka terlalu sibuk mengurus sekolah serta urusan bermain masing-masing. Tiap pagi, bungsuku menyiapkan sarapan, tanpa sempat menyuapi makan. Selalu ia bergegas ke kantor bersama suami sebelum mentari pukul enam pagi menampakan diri.

Para anak-anak terbiasa menyiapkan diri sendiri untuk berangkat sekolah. Ibu mereka sudah rutin menaruh seragam; sepasang putih biru dan sepasang putih merah, di dekat rak sebelah meja televisi di ruang keluarga. Pagi di sini begitu hening untuk menyambut denting bel sekolah dan masuk kerja. Sedangkan Aku masih terdiam.

Selepas pagi, aku terbiasa lelap kembali hingga datang petang. Pada waktu ini, giliran anak ketigaku yang juga perempuan menengok kamarku. Rumah miliknya cukup dekat dari anak bungsuku, satu RW beda RT. Ia tak bekerja layaknya si Bungsu, kesehariannya sekadar mengurus dua anak remajanya, anak tertua mahasiswa tingkat pertama di sebuah perguruan tinggi negeri yang tak jauh dari daerah sini, satu lagi masih SMP.

Anak ketigaku ini bertugas membersihkan kamar, juga tubuh tuaku. Tida banyak komentar yang ia lempar saat menjalankan tugas tersebut. Setelah selesai semua ia bersihkan, barulah ia menyorongkan makanan di dalam tempat makan plastik. “Makan Pak,” kalimat penutup sebelum ia berlalu menutup pintu kamar, esok siang baru ia kembali.

Saat senja tiba, inipun sudah sejak pertama aku menempati kamar di rumah bungsuku, aku pasti terbangun karena mendengar suara televisi atau komputer menyala. Tiga hari itu, aku seperti terbiasa mendengar lagu-lagu yang dipilih anak tertua bungsuku, kadang bernada keras dengan lirik tak jelas, seringkali bernada mendayu dan lirik merayu. Aku diam.

Sejam kemudian, keadaan selalu bertambah ramai. Cucu-cucuku dari anak ketiga ikut berkumpul di rumah. Mula-mula datang cucu kelas tiga SMP, bergabung main bersama cucu kelas satu SMP, dan enam SD, terakhir barulah cucu mahasiswa hadir. Mereka kadang mendengar dan mendendangkan bersama lagu-lagu yang terputar, atau beramai-ramai bermain PS. Senja adalah dunia mereka.

Cucu lainnya pun ikut berdatangan, mereka sudah hampir menginjak dewasa; dua orang anak dari anak tertuaku sudah hampir lulus kuliah, dua orang cucu dari anak kedua; masing-masing kuliah tingkat akhir dan kelas tiga SMA. Semua kakak-beradik itupun memilih beragam aktivitas, kakak-kakak mereka, paling sering main PS atau mengutak-atik sepeda motor, kalau sudah begitu para adik memilih bermain di dalam kamar utama.

Aku diam seperti menyerahkan senja ini kepada mereka. Satupun enggan menoleh ke kamarku, mereka baru saling berbisik-bisik manakala aku terbatuk atau berdehem. Saat itulah saudara tertua mereka mengambil pengarahan, menyuruh adik-adik mereka tidak membuat gaduh, dan tetap bermain di dalam kamar utama, tepat depan kamar gelap yang aku diami.

Ketika senja kian pudar, berganti tanda-tanda kegelapan dan bulan mulai ambil peranan, rumah berangsur sepi. Bungsuku selalu pulang lebih dulu ketimbang sang suami. Ia masuk ke kamar, keluar lagi saat hendak ke kamar mandi. Tak ada lagi sebuah tanya ataupun derai tawa yang menghidupi rumah. Para anak sibuk menonton televisi ataupun membaca buku pelajaran.

Sebelum beranjak tidur, setelah makan malam keluarga, si bungsu selalu menghampiri kamarku. Ia melihat-lihat meja kecil tempat menaruh sarapan dan makanan di samping pembaringan, memeriksa kalau-kalau makanan tak habis aku santap. Setelah itu barulah ia memboyong perlengkapan makan kotor digantinya dengan serantang makan malam. “Makan Pak,” begitu ia selalu katakan sebelum berlalu menutup pintu, esok pagi baru ia kembali.

Mereka tak menghiraukan seberapa umurku kini, tanggal berapa aku bertambah tua dalam setahun, mereka melupakan keceriaan ulang tahunku puluhan tahun lalu. Malam di tanggal tepat hari ini, belasan tahun lalu itu, mereka berempat menyambutku dengan hidangan kue dan taburan doa. Kini mereka hanya melihatku sebagai senja yang sebentar lagi terbenam, bukan lagi berapa usiaku kini, tapi mereka lebih mempunyai tanya seberapa lama aku masih bertahan.

Waktu berlalu, lantas tiba senja baru, akhi pekan sudah menunggu. Entah telah berapa lama para anak dan menantu berkumpul. Tidak terlihat batang hidung para anak, entah ke mana mereka. Dari pintu kamar tak tertutup penuh, angin semilir memasuki ruangan, tercium bau kencing mengering, menguap segala apek dan amis.

Angin berhembus menembus gorden pintu, seperti berputar-putar sebelum lari melalui celah atas jendela kamar yang selama ini rapat tertutup. Gemericik air turun tetes demi tetes menabuh tempat cuci piring almunium, di dapur sebelah kamar mandi, samping kamarku.

Perlahan aku membuka mata, lebih lambat dari aku menugaskan telinga menangkap nada obrolan dari ruang tamu. Aku menyimpulkan suasana obrolan ruang tamu itu seperti perundingan tanpa kesepakatan, mereka tengah membahas soal siapa bertanggungjawab untuk merawatku. Memang seharusnya mereka semua, sebab akulah Ayah kandung mereka.

Aku membuntuti arah percakapan mereka. Kian kemari, obrolan semakin sengit, tak ada satupun mau mengalah. Aku lama masih terdiam, menelusuri kembali jalan panjang yang lama aku tempuh. “Kehidupan banyak telah berganti rupa,” simpulku dalam hati.

Sebagaimana senja berganti saat hukum rotasi menggelincirkan singgasana matahari. Aku tersisihkan, bukan karena keempat anaku menjadi durhaka, aku mengerti mereka tengah membangun dermaga untuk sebuah bahtera yang nanti tertambatkan pula, di mana kelak mereka dapat bersandar dan berhenti berlayar.

“Aku tak bisa merawat Bapak tanpa bantuan kalian juga,” kata anak ketiga yang selalu membersihkan kamar dan tubuh rentaku.

“Apalagi tanpa bantuan uang, aku tidak sanggup. Aku masih harus mencarikan uang untuk membelikan laptop anaku yang kuliah, memberikan uang bensin, uang pulsa, belum lagi buku-buku kuliah dan uang semesteran,” sambungnya setengah menjerit.

“Anaku juga masih butuh banyak biaya, yang pertama sebentar lagi diwisuda, biayanya mahal. Si bungsu mau menamatkan SMA, butuh uang untuk bimbel UN, daftar seleksi masuk PTN, terus uang kuliah perdana,” sahut anak kedua.

Giliran anak keempat.
“Walau anak-anaku masih kecil, tapi mereka juga menghabiskan biaya pendidikan yang tinggi. Anaku yang pertama, kalian sudah tahu, ia belajar di sekolah berstatus internasional, pakai lima bahasa asing, bahan pelajaran sulit didapat. Belum lagi adiknya, meski SD, tiap kali merengek minta dibelikan HP pintar, komputer tablet, dll, karena teman-temannya di sekolah berstatus atas itu punya semuanya, aku kasihan melihat anak itu,” celetuk anak keempat.

“Jadi semua punya persoalan sama, tidak bisa memberikan tunjangan untuk pengobatan dan makanan khusus untuk Bapak. Aku sendiri kewalahan, untuk merawat dan membersihkan Bapak sendirian, kita juga tidak sanggup. Kalau begitu, kita kirim Bapak ke panti jompo saja,” tutup anak tertuaku.

Semua anaku pun tertegun sebelum mengangguk dengan berat. Aku sendiri diam, namun tersenyum. Aku menanggap inilah jawaban atas diam selama ini, setidaknya di panti jompo, orang-orang seumuranku bisa merasakan kemurahan hidup pada masa sekarang, sebagai hari senja yang lekas hilang.

Sinar rembulan sudah jatuh menyusur tanah halaman depan rumah, namun temaram malam yang seharusnya lebih gelap di dalam sini malah lesap. Dari tiap sudut kamar muncul bergumpal-gumpal awan putih, di atas kepalaku muncul cahaya warna-warni, hidungku mencium bau wangi. Doaku mungkin sudah terkabul.


Bekasi, 29 Agustus 2012


*Penulis adalah kontributor angkringanwarta


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta