Berita Terbaru:
Home » » Pahlawan Kaum Marjinal

Pahlawan Kaum Marjinal

Written By angkringanwarta.com on Monday, October 01, 2012 | 12:37


Mengabdikan diri sebagai guru relawan di sebuah perkampungan pemulung merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Umar Hamdani. Terlebih ada istri, Beti Nurbaeti, yang dengan segenap hati mendampingi. Pasangan suami-istri ini adalah alumnus UIN Jakarta, yang berpegang prinsip bahwa kebahagian adalah ketika mampu berbagi. 

“Saya merasa senang berkesempatan untuk berbagi,” ujar Umar Hamdani kepada Angkringanwarta.com, “terlebih dengan mereka yang membutuhkan,” tambahnya.

Berangkat dari sebuah keprihatinan, timbul sebuah keinginan untuk memasuki dunia anak-anak terpinggirkan melalui jalur pendidikan. Maklum, karena tidak semua anak mampu mengenyam dunia pendidikan yang kian mahal. Tak ayal jika kemudian lelaki paruh baya ini mendirikan sebuah yayasan yang diberinya nama Sanggar Islam Al- Hakim (SIA) Ciputat, sebagai jawaban atas kegelisahan.

Merintis sebuah yayasan memang tak gampang. Setidaknya itu yang dirasakan awal masa berjalan. Dan beban serasa berganda terlebih karena mesti menyesuaikan kondisi psikologi anak yang keras dan sulit ditata. 

“Hambatan terbesar sebenarnya datang dari anak,” tutur Umar, “wajar. Mungkin karena keadaanlah yang membentuk mereka begitu. Justru kondisi semakin memotifasi kami untuk terus belajar (red: memahami),” jelasnya.

Keterbatasan tenaga guru relawan sempat dirasa, seiring semakin bertambahnya jumlah anak kampung pemulung yang bergabung. Ibarat gayung bersambut, jawaban datang ketika para aktifis masjid, Ikatan Masjid Fathullah (IRMAFA), menawarkan diri untuk bergabung menjadi rekan kerja sebagai relawan. Kehadiran mereka membawa angin segar. 

Suka-duka sebagai seorang guru relawan syarat akan kesan. Hal itu semakin bertambah seiring dengan prestasi anak didik yang semakin meningkat dan semakin tumbuhnya kesadaran anak dan orang tua didik akan pentingnya pendidikan. 

“Dulu hampir bisa dipastikan anak didik kami tidak ada yang sekolah di pendidikan formal. Sekalipun ada mungkin satu-dua. Syukur sekarang sebagian ada yang mau sekolah di dunia pendidikan formal. Adapun untuk biaya kebutuhan sekarang juga sudah tidak lagi menjadi beban pikiran, karena ada donatur tetap yang menyumbang,” ungkap pria penggemar buku filsafat ini. 

Pelan namun pasti. Gambaran itu mungkin layak disandang oleh yayasan SIA ini. Tanggapan positif dari semua pihak serta kalangan yang pada akhirnya semakin mengukuhkan eksistensinya. Bukan berlebihan kiranya jika keberhasilan yayasan ini menarik kalangan kampus untuk sekadar melakukan penelitian atau bahkan bekerjasama dalam kegiatan sosial. 

“Tak hanya dari UIN Jakarta saja, mahasiswa dari Yayasan Paramadina, YAI dan UI pernah datang. Sebagian karena tugas penelitian, namun kebanyakan mengadakan kerjasama dalam bidang sosial. Bahkan sudah dua kali kami mendapat kehormatan kunjungan mahasiswa dari Australia,” katanya. 

Sebuah prestasi membanggakan patut untuk memperoleh apresiasi bersama. “Pada akhirnya saya berharap, semoga pendidikan semakin merata dan mudah diakses siapa saja di Indonesia. Hadirnya kami semoga bisa memberi arti dan inspirasi bagi para generasi penerus bangsa kedepannya,” tutup pria paruh baya ini yang pernah menjabat ketua koordinator kajian Lembaga Studi Islam dan Kebudayaan (LSIK). (Abdullah Nuri)





Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta