“Tjokroaminoto: Guru Para Pendiri Bangsa” bergitulah petikan
judul dalam buku ini. Haji Omar Said (HOS) Tjokroaminoto lahir di Ponorogo 6
Agustus 1882, dan meninggal dunia pada 17 Desember 1934, dan dimakamkan di TMP
Pekuncen, Yogyakarta. Dia dikenal sebagai Ketua Partai Politik Sarekat Islam.
Tjokro adalah sosok yang egaliter, dia menanggalkan gelar
kebangsawanannya. Tjokro yang dibesarkan dalam tradisi keluarga priayi, merupakan nasionalis dan sosialis yang menjunjung nilai-nilai Islam, mampu menyihir ribuan orang dengan pidato dan tulisannya. Bahkan, pemerintaah kolonial belanda menjulukinya “Raja Tanpa Mahkota”, sementara Rakyat jelata menganggapnya "Ratu Adil"
Rumah Tjokro merupakan rumah sarang ideologis, tempat bertemunya tokoh-tokoh yang mempunyai ideologi yang berbeda. Di rumah itu, berkunjung Semaoen, Alimin, dan Tan Malaka yang berideologi Marxis-Komunis, Sukarno yang kemudian hari menjadi pemimpin utama partai yang berideologi nasionalis, dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sebagai pendiri Darul Islam/Negara Islam Indonesia.
Rumah Tjokro merupakan rumah sarang ideologis, tempat bertemunya tokoh-tokoh yang mempunyai ideologi yang berbeda. Di rumah itu, berkunjung Semaoen, Alimin, dan Tan Malaka yang berideologi Marxis-Komunis, Sukarno yang kemudian hari menjadi pemimpin utama partai yang berideologi nasionalis, dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sebagai pendiri Darul Islam/Negara Islam Indonesia.
Dalam sebuah pidatonya, dengan lantang Tjokro mengatakan
“Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberi makan
hanya disebabkan oleh susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri
ini sebagai sebuah tempat di mana orang datang dengan maksud mengambil
hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa
penduduknya, terutama penduduk pribumi tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi
di dalam masalah-masalah politik yang menyangkut nasibnya sendiri….”
Semangat pemberontakan dan pembebasan nampak jelas pada
pidato tersebut di atas. Meski di sisi yang lain Tjokro sangat fleksibel dengan
tetap bergerak di bawah perlindungan pemerintah Belanda. Namun sikap tersebut
di ambil sebagai bagian dari strategi agar Sarekat Islam (organisasi yang
dipimpinnya setelah Samanhoedi) mampu bertahan dan menjadi besar.
Sarekat Islam-pun akhirnya mampu memberi semangat kebangsaan
bagi masyarakat luas. Berbeda dengan Boedi Oetomo yang elitis, Sarekat Islam
mampu membuat rakyat jelata merasakan pengalaman pertama ketika hierarki
Jawa-Belanda dihilangkan.
Para pemimpin Sarekat Islam duduk sama rata dengan pejabat
Belanda, kemudian kesempatan itu dipakai untuk menjelaskan bahwa kaum pribumi
bukan lagi “seperempat manusia” (julukan kaum pribumi oleh Belanda), tapi
sama-sama manusia utuh yang juga memiliki hak yang sama. Sarekat Islam menjadi
besar justru bukan dari pendirinya, Samandoedi, tapi dari Tjokro.
Peran Tjokro dalam menciptakan standar pergerakan dengan
mengekspresikan rasa kesadaran berbangsa melalui surat kabar, unjuk rasa,
pemogokan, serikat politik, dan partai politik merupakan hasil dari ekspresi
politik kontemporer di zaman itu, yang kemudian berakhir sebagai sebuah negara
bernama Indonesia.
Entah kenapa saat membaca buku ini rasanya tak mau berhenti,
saya sendiri asyik menikmati alurnya dan melahap buku ini seharian. Mungkin
karena bukunya tidak begitu tebal, ditambah dengan penulisannya yang bagus dan dari
segi bahasa, buku ini seperti sebuah catatan sejarah.
Bagi anda penikmat sejarah, buku ini bisa dijadikan
referensi. Pengadopsian ruh-ruh perjuangan Tjokro bisa direfleksikan di zaman
sekarang.
Judul : Tjokroaminoto: Guru Para Pendiri Bangsa
Pengarang : TEMPO
Penerbit : KPG
ISBN : 9789799103994
Ukuran : 230 x 160 mm
Halaman :160 halaman