Berita Terbaru:
Home » » Ketika Petani "Dimiskinkan"

Ketika Petani "Dimiskinkan"

Written By angkringanwarta.com on Saturday, February 02, 2013 | 17:44

Oleh Rizqi*


Bukan menjadi rahasia lagi kalau petani selalu diidentikan dengan kemiskinan, bahkan tidak jarang di lingkungan sekitar kita atau bahkan kita sendiri malu saat mengatakan kita atau orang tua kita berprofesi sebagai petani.

Salah satu yang diindikasikan menjadi penyebabnya adalah minimnya lahan garap yang dimiliki seorang petani, bahkan sebagian besar petani di Indonesia tak memiliki lahan sendiri, alias buruh tani. Fenomena ini jauh berbeda dengan kondisi petani di Negara-negara maju yang luas lahan garapnya mencapai puluhan hingga ratusan hektar.

Pilu rasanya ketika melihat nasib kaum petani negeri ini, dari zaman penjajahan sampai Era Reformasi, anak cucu petani hidupnya tak putus dibikin miskin. Kerja kerasnya diremehkan, kesabarannya selalu dikhianati untuk kepentingan para petinggi, aparat hingga politisi.

Di zaman penjajahan Belanda misalnya, para petani ditindas lewat politik tanam paksa. Di zaman Jepang, para petani dipaksa jadi romusha. Di zaman Orde Baru, puluhan ribu petani mati disembelih lantaran dicap anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) atau organisasi sayap PKI.

Bahkan, di Era Reformasi sekarang ini, ratusan petani rela berjalan kaki ribuan kilometer selama berhari-hari demi mendapatkan hak mengelola sebidang tanah supaya kemiskinan yang sudah terlalu lama mereka jalani dapat dikalahkan.

Kalaupun ada sebidang tanah yang bisa diolah, paling sekadar ditanami singkong dan sayuran untuk dimakan sendiri. Karena gula, beras, kedelai, cengkeh, tembakau, garam, daging sapi, bahkan buah dan sayuran sebagian besar sudah diimpor dari luar negeri. Jutaan petani yang tak punya sawah terpaksa menganggur.

Kondisi seperti ini semakin diperkeruh dengan kebijakan pemerintah yang sangat pro-liberalisasi, termasuk liberalisasi agraria. Di bawah kebijakan liberal ini, pola peruntukan tanah sebagian besar untuk kepentingan kapital. Akibatnya, terjadi praktek perampasan lahan milik rakyat secara massif.

Situasi itulah menjadi pemicu radikalisasi di kalangan gerakan petani. Seperti para petani Jambi, Mesuji, dan Blitar menggelar aksi long-march ke Jakarta mengusung tuntutan yang sama yakni mengakhiri ketidakadilan agraria di Indonesia melalui pelaksanaan redistribusi tanah (land-reform). Dan sebagai pijakannya, mereka menuntut pemerintahan SBY untuk konsisten menjalankan pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960.

UUPA sendiri hanya turunan dari pasal 33 UUD 1945. Dalam UUPA 1960, agrarian tidak diartikan sebatas tanah, melainkan diartikan sebagai tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ada sebuah penegasan yang sangat jelas bahwa rakyatlah pemilik sah keseluruhan kekayaan di bumi Indonesia ini.

Tetapi pemerintahan sekarang justru mengabaikan UUPA 1960 itu. Tanah tidak lagi dikuasai dan dipergunakan oleh rakyat, tapi telah dialihkan kepada segelintir pemilik modal (asing dan dalam negeri). Bahkan melegalisasi berbagai bentuk perampasan tanah itu melalui lusinan peraturan: UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal dan Perpres nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan.

Perjuangan petani Jambi, Mesuji, dan Blitar bisa menjadi langkah awal untuk menandai kebangkitan gerakan tani dan gerakan rakyat pada umumnya dalam menuntut pelaksanaan redistribusi tanah sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa dan termaktub dalam konstitusi bangsa.

Begitu suramkah nasib petani negeri ini? Apakah ini potret petani sesungguhnya di negeri ini? Bukankah Tanah Ibu pertiwi merupakan rahim kaum petani?

Tanah tidak boleh dijadikan sebagai alat eksploitasi. Tanah harus menjadi milik para petani! tanah harus menjadi milik mereka yang benar-benar menggarapnya, bukan mereka, yang hanya ongkang-ongkang, memaksa orang lain bekerja. Hidup petani!!!


*Penulis adalah anak seorang petani



Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta