Berita Terbaru:
Home » » Gadis Itu Masih Menggigil

Gadis Itu Masih Menggigil

Written By angkringanwarta.com on Monday, April 15, 2013 | 19:04

 *Danny Setiyawan Ramadhan

Aku melihatnya malam itu dalam balutan kaos hitam lengan panjang dan celana levis. Ia berdiri di bawah pohon angsana yang mulai gugur diterpa musim. Parasnya mirip Fatin X Factor. Tapi aku tidak tahu apakah ia pandai menyanyi atau tidak. Malam itu angin sayup-sayup meningkap jantung yang berdegup. Ya, semua sedang menunggu. Dalam ketidakpastian. Dalam harap dan cemas. Hati yang gelisah bersikeras bertahan untuk tidak berubah jadi panas.

Aku mulanya sedang berada di kamar kos. Menikmati novel Dari Hari ke Hari besutan Mahbub Djunaidi. Novel paling kocak yang pernah aku baca. Hingga sebuah pesan pendek masuk: harap segera merapat, ada indikasi chaos! Pesan pendek itu sudah barang tentu mengganggu aktivitas membacaku. Aku tidak hiraukan pesan itu. Aku terus membaca. Memamah kata demi kata, cerita demi cerita.

Tiba-tiba ada pesan baru yang masuk ponselku: keadakan genting, tolong kerahkan massa! Aku mulai kesal. Membaca jadi tak khusyuk. Maka kututup novel bersampul kuning itu. Awalnya aku bimbang. Antara datang ke sana atau tidak. Pada akhirnya aku memutuskan datang ke sana, ke Fakultas X. Sebagai bentuk solidaritas. Kuambil jaket kulit warisan kakak. Kusisir rambut ikal yang mulai menjalar sebahu. Saat aku sudah yakin untuk berangkat, kusambar kunci vespa di atas rak buku. Sembari berjalan ke parkiran, kusulut sebatang Dji Sam Soe.

Baru saja vespaku hendak meluncur, satu pesan pendek masuk lagi: chaos!!!.  Senyumku merekah demi membaca pesan itu. Kuputar lagu Dialog Dini Hari di berihitam bututku. Lagu-lagu teduh mengalir lewat earphone memasuki ruang dengar. Jalanan yang mulai sepi karena hari beranjak malam mengeluarkan wangi tanah basah. Tadi hujan. Cukup deras. Tak lama aku telah sampai di gedung Fakultas X. Vespa kuparkir di bawah pohon jambu.

Sial! Tidak ada ribut-ribut. Chaos sekadar wacana! Hanya ada sekumpulan orang dengan wajah merah sedang duduk bergerombol. Seorang teman datang menghampiriku. Tanganku dijabatnya erat. Ups, aku salah. Ternyata ada jendela kaca yang berlubang. Mungkin oleh lemparan batu. Temanku menjelaskan kejadian yang baru saja bisa diredam itu. Dalam pemilu kampus kali ini, Partai A di Fakultas X sedang ketakutan. Mereka yang sekian tahun berkuasa merasa bahwa tahun ini sebuah kuburan telah digali untuk mereka. Salah satu kader mereka diskorsing oleh dekanat lantaran tertangkap basah berbuat mesum di kamar mandi fakultas. Kontan, hal itu mencoreng wajah partai dan elektabiltas partai menurun.

Aku mengangguk-angguk saja mendengar penjelasan temanku itu. Ia kemudian melanjutkan. Partai B hampir pasti bisa mengambil alih kekuasaan di Fakultas X tahun ini. Nah, oleh karenanya Partai A ingin menjegal kemenangan itu. Salah satunya adalah dengan membuat chaos. Jika terjadi chaos, maka BEM akan dibekukan. Itu target Partai A. Mereka yakin akan tumbang, tapi berupaya bagaimana caranya agar Partai B tidak menjabat secara absolut. Lagi-lagi aku mengangguk mendengar uraian temanku.

Aku, kader Partai B yang konon katanya sudah senior. Bagiku, tak ada istilah senior junior. Dari dulu aku mengusung semangat egaliter. Sama rasa sama rata. Aku cuma lebih dulu masuk kampus. Adapun soal kualitas, bisa jadi kader yang baru masuk kemarin hari lebih hebat dari aku. Aku lalu bergabung dengan teman-temanku yang berada di kantin fakultas. Aku memesan kopi. Beberapa wajah tampak tegang. Kusodorkan Dji Sam Soe. Kerutan di wajah perlahan mulai hilang. Namun, cerita mereka tak putus.

Saat menikmati kopi, mataku tertumbuk pada seorang gadis di bawah pohon angsana. Aih, siapa itu? Otakku yang bekerja cepat, langsung menyimpulkan: gadis berkaos hitam itu mirip betul dengan Fatin X Factor. Ia tampak berbincang dengan temannya, seorang gadis yang dari kejauhan tampak manis. Pikiranku mulai iseng. Kapan aku bisa berkenalan dengan gadis itu? Apakah ia dari Partai B sama sepertiku? Apakah ia suka minum kopi? Musik apa yang jadi kegemarannya? Buku sastra apa yang sudah dibacanya? Mendadak aku begitu ingin mengajaknya minum Kopi Toraja di Cho Coffee depan rumah Pak Rektor.

Brengseknya, lamunanku akan gadis itu buyar oleh teriakan-teriakan. Teman-temanku yang duduk-duduk di kantin seketika bangun dan berlari. Kulihat seorang mengacungkan golok. Gila! Macam mana pemilu di kampus pakai golok segala?! Temanku berekasi, ia menantang si pembawa golok berkelahi. Tanpa babibu, si pembawa golok mengejar temanku. Orang-orang berlarian. Batu dan botol berterbangan. Si pembawa golok berhasil menangkap temanku. Golok yang mengkilat itu berhasil melukai lengan temanku. Darah mengucur. Ia mengerang. Kejadian itu tepat di depan gadis berkaos hitam yang sedari tadi kuperhatikan. Ia berteriak kencang dan menangis. Suasana makin panas dan kacau. Aku berlari menuju gadis itu. Kerengkuh tubuhnya dan kubawa berlari menghindari kekacauan.
Kurasakan tubuhnya menggigil. Menggigil  hebat.

Aku membawanya ke belakang kantin yang sepi. Kuambil air mineral dari dalam tasku. Gadis itu meminumnya beberapa teguk. Tapi ia masih menggigil. Sepertinya ia masih sangat trauma dengan kejadian tadi. Golok dan darah. Tatapan matanya nanar. Aku makin kebingungan. Aku membisikkan Al Fatihah ke telinganya. Namun, gadis itu masih menggigil. Masih menggigil.

Gang Jati, 1 April 2013, ketika malam bertambah kelam

 
*Penulis adalah mahasiswa MHU-FIDKOM semester 2

(Ilustrasi:artisreligion.com)


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta