Berita Terbaru:
Home » » Antara Pangrango Dan Gie

Antara Pangrango Dan Gie

Written By angkringanwarta.com on Wednesday, May 08, 2013 | 17:53


Oleh Ester Pandiangan

Bicara tentang keindahan, Gunung Gede (2.958 mdpl) lebih menarik ketimbang Gunung Pangrango (3.019 mdpl). Dari Gunung Gede ada banyak spot yang dilihat. Pemandangan Kota Bogor di ketinggian, kawah bekas letusan serta dataran seluas 50 hektar yang dipenuhi bunga abadi edelweiss di alun-alun Surya Kencana.

Namun pesona Soe Hok Gie membuat Pangrango menjadi gunung yang paling rajin didaki. Puisi-puisi Gie tentang Mandalawangi menciptakan romantisme buat para perempuan dan semacam panutan bagi pendaki pria—mereka ingin menjadi seperti Gie.

Pangrango menjadi legenda hidup, tempat favoritnya ‘sang demonstran’, seseorang yang memilih untuk tersingkirkan ketimbang takluk pada kemunafikan. Mendaki Pangrango menjadi semacam napak tilas bagi Gie mania  untuk melakoni apa yang dilakukan idolanya dulu.

Setidaknya itulah yang saya amati ketika mendaki Pangrango pertengahan April lalu. Wajah-wajah berhias semangat mengisi warung-warung yang ada di seputaran Cibodas. Berjaket tebal dengan carrier tergantung di pundak plus matras yang digulung tersampir di pinggir carrier.

Gaya para pendaki ini luar biasa ciamik. Tidak kalah dengan para pendaki profesional yang sering kita lihat di televisi. Euforia ‘5 Cm’ telah menaikkan level gunung menjadi  beberapa tingkat lebih keren dibanding sebelumnya.

Gunung menjadi objek yang bisa meningkatkan rasa bangga, karena telah berhasil mencapai puncaknya. Bangga karena bisa melihat sunrise di ketinggian 3000-mpdl. Bangga karena bisa lebih ‘tinggi’ dibanding yang lain. Terutama bangga karena bisa menaklukkan gunung.

Saya sendiri, bergabung dengan para pendaki ini bukan karena ingin menjadikan puncak sebagai display picture untuk smartphone atau menghiasi laman jejaring sosial. Lebih kepada magnet Gie yang sangat memuja Mandalawangi dan Pangrango. Sehingga timbul rasa penasaran, seberapa luar biasa Mandalawangi dan Pangrango? 

Apa benar kabut tipis itu turun pelan-pelan di Mandalawangi? Seberapa suram hutan di Mandalawangi sehingga puisinya Gie begitu muram? Sebegitu cantiknyakah, matahari yang mucul di Pangrango? 

Pertanyaan-pertanyaan ini mengikuti saya di sepanjang pendakian. Membuat saya ingin segera menjejakkan kaki di sana dan membuktikan apa-apa yang dituliskan Gie pada puisinya. Namun perjalanan ke menuju Pangrango bukanlah perjalanan yang gampang.


Butuh lebih kurang tujuh jam untuk mencapai Pos Kandang Badak—pos tempat para pendaki biasa berkemah sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak. Dan dalam kurun waktu tujuh jam itu, jalan yang dilewati berundak-undak, mendaki, halangan batang pohon tumbang, ‘sungai’ panas dari sumber Kawah Gunung Gede dan lain-lain.

Dari Pos Kandang Badak menuju puncak Pangrango lebih sadis lagi. Jalannya menanjak, dengan halangan batang-batang pohon tumbang dan tanah yang lembek. Butuh waktu lebih kurang empat jam untuk sampai ke atas.

Sebenarnya kalau dibanding-bandingkan, jalur Cibodas jauh lebih gampang ketimbang jalur yang lain. Ibarat pepatah mengatakan, ‘banyak jalan menuju Roma’ sama halnya juga, ‘banyak jalan menuju Pangrango’.

Masih ada sekira 15-20 jalur lain menuju Pangrango. Namun ada tiga yang umum, biasa dilewati; Cibodas, Gunung Putri (arah Cianjur) dan Selabintana (Sukabumi). Ada juga jalur Geger Bentang yang sering digunakan untuk latihan tim SAR.

Dan di antara semuanya yang cukup ramah adalah jalur Cibodas. Pun begitu, untuk ukuran yang ramah ini juga cukup menguras tenaga. Apalagi buat pendaki pemula. Berhenti beberapa kali, menenggak air mineral, mengulum cokelat, mencecap gula jawa dilakukan untuk untuk menambah tenaga.

Selain lelah ada kekhawatiran kalau saya dan teman-teman tidak sampai sesuai dengan waktu yang ditentukan. Soalnya kami sudah menghitung-hitung waktu, mesti tiba pukul sekian supaya sempat melihat sunrise.

Ternyata kami molor dari waktu yang ditentukan. Ada sedikit rasa kecewa karena sudah pasti tidak bisa mengejar matahari terbit. Namun kekecewaan ini lama-lama pudar karena konsentrasi terfokus pada usaha melewati jalan yang terjal.

Dan saya dan teman-teman secara tidak sadar mulai menikmati perjalanan ini. Menikmati rasa lelah, kaki yang sakit, betis yang kram, keringat yang lengket, tanah yang mengotori kaos dan celana.

Fokus kepada sunrise membuat saya dan teman-teman meluputkan pemandangan embun yang menggantung gendut di ujung daun. Pernahkah kita mencoba mencecapnya? Pernahkah saat istirahat kita sungguh-sungguh memerhatikan sekeliling? Mendengar desau daun yang gemerisik, suara hewan-hewan liar dan gemericik air sungai? 

Membuat saya berpikir, rasa lelah membuat kita sempat menikmati alam sebenar-sebenarnya. Jika hanya sunrise dan puncak saja yang menjadi tujuan kita mendaki gunung, betapa banyaknya hal-hal kecil yang kita lewatkan.

Tak terasa, saya dan teman-teman sampai di 3019 mdpl. Sebenarnya di pertengahan 3019 mdpl, ‘aroma’ puncak sudah mulai terasa. Pohon-pohon, mulai kelihatan ujungnya dan tidak lagi menjadi atap hutan, langit menggantikan tempatnya. 

Gunung Gede mulai terlihat, bentuknya yang melebar mirip perempuan bertubuh bongsor. Sangat berbeda dengan Pangrango yang ramping dan proporsional. Puncak Pangrango tidak begitu luas. Mungkin hanya muat 3-4  tenda. Dari atas yang terlihat hanyalah Gunung Gede dan arakan awan putih dengan latar langit biru. 

Untuk sampai ke lembah cintanya Gie, kita harus turun lagi sekira 2 jam. Hamparan pucuk-pucuk edelweiss yang hampir mekar memenuhi padang yang tak begitu luas itu. Segaris sungai membelah antara padang yang satu dengan padang yang lain.

Sebelumnya, saya sempat mereka-reka, bagaimana reaksi saya ketika sampai di atas. Apakah akan sampai mengalami trance? Ternyata, euforia Pangrango dan Mandalawangi hanya membara di bawah kaki gunung saja. 

Sesuatu yang begitu kita inginkan menjadi hal yang tidak lagi istimewa ketika kita berhasil mendapatkannya. Mungkin benar yang dikatakan filsuf Slavoj Zizek, we don’t really want what we think we desire.

Seorang teman yang sudah mendaki hampir seluruh gunung di Jawa mengatakan itulah yang disebut dengan obsesi. Terkadang obsesi begitu membutakan sampai-sampai kita hanya terpaku pada  tujuan dan mengabaikan proses, “Kita bukan pemburu sunrise, penakluk gunung atau ingin menjadi sama seperti Gie, kita cuma penikmat alam yang mendaki gunung…yah cuma untuk menikmati alam….” 



Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta